*Zivon*
Setelah semalaman berusaha, akhirnya aku bisa tertidur juga. Wajah kedua anak itu tidak bisa keluar dari kepalaku. Aku benci setiap kali aku tidak mendapatkan informasi yang aku inginkan secepatnya. Hal sesederhana ayah dari anak-anak itu bisa saja aku tanyakan langsung kepada mama mereka. Tetapi aku harus memperkenalkan diriku sebagai siapa? Alvis juga pasti heran melihatku mendadak datang dan bertanya tentang ayah kedua anak itu.
Getaran di atas nakas memaksaku untuk mengangkat tubuhku pada posisi duduk. Aku tidak bisa melanjutkan tidur lagi sekalipun aku masih mengantuk. Semalaman aku menunggu kabar dari Riko. Aku berharap setidaknya dia bisa mengumpulkan informasi mengenai wanita itu dan anak-anaknya dalam waktu beberapa jam saja. Ternyata sampai aku tertidur, dia belum juga mengirim apa pun.
Aku mengambil ponselku dari atas nakas dan membuka kunci layarnya. Ada sebuah surel baru yang masuk ke surel pribadiku. Aku segera membukanya. Dari Riko. Ada sebuah berkas yang dikirimnya untukku. Aku segera mengambil tabletku dan membuka surel pribadiku, lalu mengunduh lampiran tersebut. Akan lebih mudah bagiku untuk membacanya pada layar yang lebih besar.
Lampiran itu berisi pindaian beberapa dokumen. Aku membuka dokumen pertama. Sebuah Surat Keterangan Lahir yang diterbitkan oleh sebuah rumah sakit. Ditha Melody, lahir pada tanggal 28 Februari dengan berat badan dua ribu empat ratus lima puluh lima gram dan panjang empat puluh enam senti. Hanya nama ibu yang terisi, sedangkan nama ayahnya kosong. Pada dokumen kedua tercantum nama Davin Adrian yang lahir pada tanggal yang sama, dengan berat badan dua ribu dua ratus delapan puluh tiga gram dan panjang empat puluh enam senti.
Berikutnya adalah KTP Aida. Aku tidak membutuhkan informasi apa pun dari tanda pengenal tersebut. Aku sudah mengetahui nama lengkap dan tanggal lahirnya. Beberapa dokumen berikutnya adalah sertifikat guru terbaik bulanan dan tahunan yang diterbitkan oleh sebuah sekolah musik dan tercantum nama lengkap Aida. Perempuan ini bukan perempuan biasa.
Saat melihat pindaian Kartu Keluarga Om Matias, aku berdecak pelan. Riko dan semua rekannya tidak main-main dengan jasa yang mereka tawarkan. Mereka sampai bisa mendapatkan semua dokumen pribadi yang sifatnya rahasia tersebut?
Pindaian dokumen kemudian berganti dengan foto. Foto pertumbuhan kedua anak itu dari bayi hingga foto mereka memenangkan berbagai perlombaan. Anak perempuan itu memenangkan banyak perlombaan menyanyi, sedangkan yang laki-laki lomba melukis. Wajah mereka berdua begitu mirip. Aku hanya melihat mata dan rambut mereka yang mirip dengan Aida. Tetapi mata wanita itu lebih besar dari mata mereka.
Sebentar. Aku membuka salah satu foto yang ada pada album di tablet. Aku membuka sebuah aplikasi dan menyejajarkan fotoku dengan foto kedua anak tersebut. Bentuk wajah mereka, mata, alis, hidung, bibir, hingga telinga seolah-olah mereka adalah versi kecilku. Mungkinkah ini terjadi?
Teringat pada sesuatu, aku segera keluar dari kamar dan bergegas menuju ruang keluarga. Mama menyusun foto kami sekeluarga di atas salah satu bufet. Aku mengambil fotoku saat masuk TK. Aku bergegas kembali ke kamar. Aku menarik napas panjang sebelum membandingkan foto masa kecilku dengan foto kedua anak tersebut. Aku melihat ketiga foto itu secara bergantian.
Oh, Tuhan. Tidak salah lagi. Kedua anak itu adalah anak-anakku.
Aku harus menemui mereka. Tetapi aku harus mengatakan apa? Jika aku mendadak muncul dan mengatakan kepada mereka bahwa aku adalah ayah mereka, apakah itu tidak akan menimbulkan masalah? Aku juga tidak tahu apa yang dikatakan wanita itu mengenai ayah mereka. Semoga saja dia mengatakan hal yang baik, bukan hal yang buruk.
Aku berjalan mondar-mandir di kamarku sendiri dan tidak menemukan alasan apa pun yang masuk akal untuk menemui wanita itu dan anaknya sekarang. Oh, Tuhan. Aku punya anak! Bukan hanya satu, aku punya dua anak sekaligus! Anak-anakku.
Ah, iya. Aku belum selesai memeriksa semua informasi yang dikirim oleh Riko. Aku kembali duduk di tempat tidur dan mengambil tabletku. Sudah tidak ada lagi pindaian dokumen atau foto apa pun. Aku kembali memeriksa surel darinya dan membacanya dengan saksama. Dia memberiku nomor ponsel Aida juga nomor ponsel seseorang bernama Nisa. Oh, mungkin ini nomor pemilik rumah tempat tinggal Aida yang aku minta semalam.
Tidak tahu apakah rencana ini akan berhasil, aku menelepon wanita itu dan berpura-pura mencari rumah kontrakan. Dia wanita yang suka bicara sampai akhirnya dia menyebut tentang Davin dan proyek lukisan dinding yang dikerjakannya di salah satu rumah yang disewakannya. Aku kembali melihat kumpulan foto tadi dan menemukan yang aku cari.
Iya. Yang bisa melukis adalah Davin. Entah mengapa, menyebut nama salah satu anakku membuat rasa sayangku kepadanya perlahan-lahan tumbuh. Aku menyentuh wajahnya pada foto tersebut. Dia tersenyum bahagia sambil memegang hadiah untuk pemenang pertama.
Hatiku sangat ringan sepanjang pagi itu. Lukisan dinding. Apa yang bisa aku tawarkan kepada Aida agar aku bisa menggunakan jasa Davin? Sudah sebulan lebih aku menawarkan kepada para pegawai untuk memikirkan fasilitas baru yang mereka butuhkan untuk aku sediakan di gedung kantor. Tetapi belum ada yang memberikan ide yang kreatif.
Aku membuka salah satu peramban yang ada di ponsel. Aku mengetik kata lukisan dinding. Lalu ada begitu banyak contoh lukisan yang sangat indah. Lukisan itu mengingatkan aku pada kafe, restoran, juga hotel yang memiliki lukisan dinding pada beberapa sudut lobinya.
Oh, iya! Mengapa aku tidak memikirkan hal itu dari awal? Ada satu fasilitas yang pasti sangat dibutuhkan oleh sebagian besar karyawanku. Mengapa mereka tidak berpikir untuk mengajukan hal itu kepadaku? Aku sudah katakan bahwa mereka bisa meminta apa saja, asal bukan untuk membuat waktu istirahat mereka lebih menyenangkan.
“Selamat pagi, Pak,” ucap seorang pria yang aku harap tidak akan aku lihat lagi wajahnya pada pagi ini menyapaku. Tetapi tentu saja keinginanku itu tidak digubris.
“Apa yang sedang kamu lakukan di tempat ini?” tanyaku menahan amarah.
“Saya akan melakukan apa pun agar Anda tidak memecat saya, Pak,” kata Wastu bersikeras.
“Aku sudah menerima setengah uang terakhir yang kamu transfer pagi tadi, tetapi itu tidak akan mengubah apa pun. Kamu sudah bukan asistenku lagi.” Tentu saja dia bergeming dan tetap berdiri di tempat. Aku mendesah pelan.
Kemudian aku teringat dengan sesuatu yang sangat mendesak. “Apakah masih ada masukan baru mengenai fasilitas yang diinginkan oleh karyawan?” tanyaku.
“Tidak ada masukan yang berbeda dari ide yang sebelumnya Anda tolak, Pak,” jawabnya.
“Baik. Aku sudah menemukan apa yang akan aku bangun di lobi.” Aku mengirimkan nomor telepon Aida kepadanya. “Hubungi wanita ini dan minta kesediaannya untuk mengizinkan putranya yang bernama Davin untuk melukis dinding di lobi. Beritahu dia bahwa nomornya didapat dari seorang wanita bernama Nisa.”
“Melukis dinding lobi?” tanyanya pelan. “Apa yang akan Anda bangun di lantai dasar, Pak?”
“Tempat penitipan dan bermain anak-anak,” jawabku singkat. “Jika kamu bisa mendapatkan kata iya dari wanita itu. Aku akan mempertimbangkanmu untuk tetap bekerja di sini.”
“Terima kasih, Pak. Terima kasih banyak, Pak.” Dia menunduk-nundukkan tubuhnya kepadaku. “Saya tidak akan mengecewakan Anda. Saya akan menghubunginya sekarang.”
Aku memasuki ruang kerjaku. Melihat tumpukan dokumen yang harus aku periksa dan tanda tangani, aku mendesah pelan. Aku membuka jas dan meletakkannya di sandaran kursi. Pakaian itu hanya akan membatasi gerakku saat bekerja.
Aku duduk dan mengambil salah satu dokumen yang ada di tumpukan teratas. Tidak lama kemudian pintu diketuk. Wastu muncul dari balik pintu. Aku menyandarkan tubuh dan mengabaikan dokumen yang sedang aku periksa. Aku mempersilakannya untuk bicara.
“Ibu Aida setuju untuk mengizinkan putranya melukis pada dinding lobi, Pak. Tetapi dia tidak bisa memulainya segera karena ada proyek lain yang sedang dikerjakan putranya,” lapor Wastu. Aku tersenyum puas mendengarnya.
“Tidak apa-apa. Ruangan itu perlu disekat agar tidak terlihat satu ruangan dengan lobi. Tolong hubungi kontraktor yang membangun pabrik baru kita. Aku ingin mereka melihat apakah ruangan itu lebih baik disekat menggunakan kayu atau dinding bata. Aku ingin ruangan permanen karena perlu dipasang alat kedap suara.”
“Baik, Pak. Apakah Anda menginginkan mereka datang pada hari ini atau hari lain?” tanyanya. Dia memang selalu bekerja dengan detail.
“Hari ini, pada jam berapa saja sebelum jam kerja usai,” jawabku. “Dan kapan kita bisa bertemu dengan wanita itu untuk membicarakan proyek bersama anaknya?” Aku menjaga intonasi suaraku agar tidak terdengar terlalu antusias akan segera bertemu dengannya.
“Pada hari Sabtu ini putrinya akan mengikuti sebuah lomba. Bila Anda tidak keberatan, kita bisa menemui mereka di sana. Mereka tidak ingin meninggalkan lokasi sebelum pengumuman pemenang dibacakan,” jawab Wastu. “Atau Anda ingin bertemu pada hari Minggu? Kita tidak bisa menemui mereka pada hari kerja karena proyek yang sedang dikerjakan putranya.”
“Baik. Hari Sabtu saja,” kataku setelah berpikir sejenak. “Di mana lokasi lombanya?” Mendengar jawaban Wastu, aku tertawa kecil. Tempat pertemuan pertama kami justru akan menjadi tempat pertemuan kedua? Hidup ini kadang-kadang lucu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 95 Episodes
Comments
Gio Booklover
bisa minta no hp riko? aku mau stalking mantan
2021-10-06
1
Weny Wenefrida
Terimakasih kak Mei
2021-08-11
1