Aku biasanya terburu-buru mengerjakan banyak hal sejak bangun pagi pada akhir pekan. Tetapi pada hari Minggu ini, aku bisa sedikit bersantai. Aku mencuci pakaian, membersihkan rumah, merapikan kamar, sampai memasak makanan juga camilan untuk anak-anak sambil bersenandung.
Apa yang aku khawatirkan lima tahun yang lalu tidak terjadi. Aku melahirkan si kembar ke dunia dengan selamat. Dengan tekad bulat dari awal kehamilan, aku bahkan bisa melahirkan mereka dengan normal. Aku tidak punya banyak uang untuk melahirkan dengan cara operasi.
Dengan uang tabungan, hasil penjualan perhiasan, dan uang yang jumlahnya sangat banyak yang diberikan pria yang tidur denganku, aku bisa bertahan hidup. Aku tinggal di kamar sewa yang kondisinya tidak buruk, menghemat makanan dengan belajar memasak, dan mengajar vokal secara privat. Tetapi sejak anak-anak lahir, aku tidak bisa mengajar lagi.
Uang menipis, aku memiliki sahabat dan saudara laki-laki yang selalu siap membantuku dalam keadaan yang sulit. Ketika anak-anak berusia tiga tahun, aku mulai mengajar privat kembali. Aku harus membawa mereka ke mana pun aku pergi. Aku tidak bisa mempunyai banyak murid karena tidak banyak orang tua murid yang nyaman melihatku mengajar sambil membawa si kembar.
Aku tersenyum memandang piagam dan piala yang dimenangkan oleh anak-anak yang aku susun dengan rapi di dalam hingga bagian atas lemari. Si kembar bukanlah anak biasa. Mereka mempunyai keistimewaan masing-masing.
Ditha yang lahir lebih dahulu punya suara yang indah, napas yang panjang, dan tipe suara sopran yang sampai sekarang belum aku ketahui akan sanggup meraih nada tertinggi apa. Davin sangat pandai melukis. Perpaduan warna yang dipilihnya, pengambilan sudut cahaya yang tanpa cela pada setiap goresan kuasnya menciptakan sebuah karya yang indah. Lukisannya selalu berhasil membuat orang-orang yang melihatnya berdecak kagum. Dia pandai membuat lukisan aktual hingga abstrak.
Keadaan keuangan kami membaik ketika mereka berusia empat tahun. Usia minimal di mana mereka bisa mengikuti berbagai lomba menggambar dan menyanyi. Uang tunai yang mereka menangkan sangat membantu memenuhi kebutuhan hidup kami. Hanya beberapa bulan saja, kami mempunyai cukup uang untuk menyewa sebuah rumah kecil untuk tempat tinggal kami.
Sebenarnya perlombaan yang diadakan secara daring dengan mengunggah video saat bernyanyi, memberi hadiah yang jauh lebih besar. Namun aku tidak mau semua orang tahu bahwa aku, putri Matias Laksana, mempunyai anak di luar nikah. Walaupun Papa tidak lagi menganggapku sebagai putrinya, Papa tetaplah papaku. Aku ingin menjaga nama baik dan reputasinya semampuku.
Melibatkan anak-anak dalam memenuhi kebutuhan hidup kami bukanlah hal yang membanggakan bagiku. Tetapi keadaan memaksaku melakukan hal ini. Lagi pula mereka menyukai perlombaan yang mereka ikuti. Aku tidak memaksa mereka untuk mendaftarkan diri. Dan setiap hadiah yang mereka dapatkan murni karena usaha mereka bukan karena mereka memaksakan diri untuk menang.
“Ma, bagaimana dengan ini?” Tanpa aku sadari, putraku telah berdiri di sisiku sambil menunjukkan salah satu gambar pada buku sketsanya.
“Ini bagus sekali!” Hanya pujian yang bisa aku ucapkan setiap kali melihat karya indahnya. Aku mengajaknya untuk duduk di sofa. Davin tidak mengikuti perlombaan menggambar selama beberapa minggu belakangan ini karena proyek yang dikerjakannya.
Kreativitasnya tidak mengenal batas sehingga aku harus memahami bahwa dia masih anak-anak agar tidak memarahi secara berlebihan. Aku ketakutan saat mendapati dia melukis dinding rumah kontrakan kami tepat pada hari Tante Nisa, pemilik rumah, menagih uang sewa. Bukannya marah, dia malah kagum melihat sebuah lukisan pohon pada salah satu dinding rumahnya.
Salah satu rumah kontrakannya kosong dan dia masih bingung memilih kertas dinding yang cocok. Maka dia menawarkan Davin untuk melukis dinding pada rumah tersebut. Tentu saja putraku segera mengiyakannya. Dia melukis dinding demi dinding dengan penuh semangat. Tante Nisa tidak main-main membayar jasanya. Dia mentransfer uang sejumlah sepuluh juta rupiah ke rekeningku.
Tepat pada jam satu siang, aku dan anak-anak berangkat menuju lokasi lomba menyanyi. Aku mengendarai sepeda motor lamaku yang masih setia mengantarku ke mana pun aku pergi. Anak-anak memakai alat seperti gendongan bayi yang dikaitkan ke tubuhku sehingga mereka bisa duduk dengan aman di depan dan belakangku.
“Aku deg-degan.” Mila mengusap-usap dadanya. Aku tertawa kecil. Kami menemani Ditha untuk mengikuti babak final lomba menyanyi yang diikutinya. Dua babak sebelumnya dimenangkannya dengan mulus. Alvis dan Mila ikut hadir memberi dukungan moril.
Mila adalah rekan kerjaku di sekolah musik tempatku mengajar dahulu. Dia adalah guru biola. Kami tidak akrab sebelumnya. Tetapi ketika hidupku sedang sulit dengan kehamilanku dan kehilangan pekerjaan, dia adalah satu-satunya rekan guru yang berada di sisiku. Kami bersahabat baik sampai hari ini. Dan semoga untuk seterusnya.
“Tante jangan khawatir. Aku pasti menang.” Ditha menoleh ke arahku. “Iya, ‘kan, Ma?”
“Iya.” Aku memeluk putriku itu. “Kamu pasti menang.” Aku tidak meragukan kemampuannya lagi. Benar, saingannya tidak mudah. Ini adalah babak final, maka lima peserta yang terpilih memang memiliki kualitas vokal yang baik. Tetapi putriku pasti menang.
Semua penyanyi diberi daftar lagu wajib yang harus dinyanyikan. Mereka dipersilakan memilih salah satu lagu, yaitu Indonesia Pusaka dan Tanah Airku. Sudah tiga penyanyi yang tampil dan mereka bernyanyi dengan baik. Mereka pasti telah berlatih dengan keras.
Ditha mendapatkan nomor urut empat. Kami memberinya semangat di belakang panggung saat mengantarnya. Dia tersenyum kepada kami dan menaiki panggung dengan penuh rasa percaya diri. Musik mengalun dan suara bagai malaikat Ditha pun terdengar. Dia menyanyikan lagu Tanah Airku.
“Aida, apakah dia tidak mengambil nada dasar terlalu tinggi?” tanya Mila khawatir. Dia memegang tanganku dengan erat.
“Tidak. Dia masih sanggup naik beberapa oktaf lagi. Aku tahu mengapa dia memulai pada nada tinggi. Dia ingin memberi kejutan pada bagian puncak lagu nanti,” kataku dengan nada bangga.
Dan itu yang dilakukannya. Dia meraih nada tertinggi yang bisa diraihnya dan menahan suaranya selama beberapa detik dengan sempurna. Nada D tinggi yang indah. Tepuk tangan para penonton jelas merusak penampilannya tersebut, tetapi aku bisa mengerti. Mereka melakukannya karena spontan kagum dengan kemampuannya yang luar biasa tersebut.
Putriku mengakhiri lagunya dengan menurunkan intonasi suaranya dan musik ikut mengalun lembut bersamanya. Tanpa terasa aku meneteskan air mataku. Cepat-cepat aku menghapusnya. Davin melihat ke arahku dengan wajah khawatir. Aku hanya menggeleng pelan. Ini bukan air mata kesedihan. Ini air mata haru.
“Luar biasa. Bagaimana dia bisa melakukan hal itu?” gumam Mila nyaris tidak bisa aku dengar di tengah gemuruh tepuk tangan yang memenuhi ruangan tersebut.
“Itu baru keponakanku!!” Alvis yang dari tadi hanya diam saja tiba-tiba memekik bahagia dan menepuk tangannya begitu keras sehingga aku dan Mila menatapnya penuh protes.
“Berisik!” ucap Mila. Alvis tidak peduli dengan itu dan mulai meneriakkan nama Ditha. Tidak lama kemudian, semua orang di ruangan itu ikut meneriakkan nama putriku. Aku mengangkat Davin, lalu memeluk Mila. Kami bertiga saling berpelukan.
Ibu tiriku melahirkan dua orang adikku. Avery dan Alvis. Entah apa yang dikatakannya kepada anak-anaknya, Avery tumbuh menjadi adik yang membenciku. Di sisi lain, Alvis sangat dekat denganku. Tetapi kami hanya bersikap akrab ketika wanita itu tidak berada di dekat kami.
Alvis sangat dekat dengan kedua keponakannya. Dia bahkan hadir dalam setiap tumbuh kembang mereka sejak mereka lahir. Dia ikut mendengar kata pertama mereka, menyuapkan makanan pendamping ASI pertama mereka, hadir menyaksikan langkah pertama mereka, dia juga tidak segan mengganti popok atau memandikan mereka. Anak-anak sayang kepadanya.
Hanya tinggal satu penampilan terakhir. Kami kembali ke tempat duduk untuk menunggu juri berembuk menentukan siapa pemenang lomba. Seorang penyanyi telah diundang untuk bernyanyi menghibur peserta lomba dan penonton sembari menunggu pengumuman.
“Huh. Suara Dithaku jauh lebih bagus daripada penyanyi itu.” Alvis memeluk Ditha yang duduk di atas pangkuannya, lalu mencium pipinya. Putriku itu tertawa geli.
“Apakah aku tadi bernyanyi dengan baik, Om?” tanyanya ingin tahu.
“Sangat baik. Luar biasa!” puji Alvis.
“Aku sempat takut karena kamu mengambil nada terlalu tinggi pada awal lagu, Ditha,” aku Mila.
“Aku masih bisa mengambil nada yang lebih tinggi dari itu, Tante. Mama sudah mengajariku dengan baik. Tetapi Mama bilang, aku harus menjaga kualitas pita suaraku tetap baik dengan tidak bernyanyi pada nada tertinggi yang bisa aku raih terlalu sering. Jadi, tadi aku turunkan satu oktaf.” Ditha melihat ke arahku. “Iya, ‘kan, Ma?”
“Iya, sayang. Kamu masih punya masa depan yang panjang. Kamu perlu menjaga pita suaramu dengan baik. Akan ada lagu-lagu yang penuh kejutan nanti yang bisa kamu nyanyikan dengan meraih nada tertinggi. Aku bahkan yakin kamu bisa memecahkan rekor sebagai penyanyi yang pernah dicatat mengambil nada yang belum pernah diraih oleh penyanyi mana pun.”
“Oke, oke. Pembawa acaranya sudah naik panggung. Saatnya mendengarkan pengumuman.” Alvis mengalihkan topik dan meminta kami semua untuk mengarahkan pandangan ke panggung.
Aku menelan ludah dengan berat. Aku melirik ke arah Davin yang masih santai dengan pensil warna yang dicoretnya ke buku sketsanya. Lalu aku menoleh ke arah Ditha yang masih asyik mewarnai. Mereka berdua selalu saja penuh rasa percaya diri. Tetapi aku tidak bisa bersikap seperti mereka. Jantungku berdebar begitu kencang menunggu nama-nama pemenang diumumkan.
Juara harapan satu, juara tiga, juara dua, dan akhirnya juara pertama, “Ditha Melody,” gumam kedua anakku dengan santai.
“Mari kita sambut peserta dengan penampilan spektakulernya, Ditha Melody..!” pekik pembawa acara tersebut. “Ditha, kamu di mana? Ayo, naik ke panggung!”
Ditha menggeleng-gelengkan kepalanya ke arahku. Seolah-olah dia tahu bahwa aku tidak percaya dia akan memenangkan perlombaan tersebut. Alvis ikut melakukan hal yang sama. Aku memicingkan mataku kepadanya. Dia membawa putriku menuju panggung. Uang tunai yang putriku dapatkan sebagai pemenang pertama sangatlah besar. Dan hadiah tersebut tidak dipotong pajak.
Ditha terlihat sangat bahagia memenangkan lomba yang diikutinya sejak babak penyisihan. Davin juga tidak terlihat lelah setelah lima hari berturut-turut mengerjakan sebuah proyek melukis. Iya. Anak-anakku bahagia dengan apa yang mereka lakukan. Aku tidak perlu khawatir atau merasa bahwa aku sedang memanfaatkan bakat mereka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 95 Episodes
Comments
Gio Booklover
mm.. anak bantu ortu wajar kk
2021-10-06
1
Zahara Letto
semangat..,
2021-10-03
1
Weny Wenefrida
Terimakasih kak Mei.
2021-08-11
1