*Aida*
Pekerjaanku dari pagi seolah-olah tidak ada habisnya. Aku jera membawa anak-anak berlibur. Pakaian kotor tidak juga berkurang setelah aku mencuci menggunakan mesin cuci. Belum lagi rumah kotor dan anak-anak berulah karena sedang bahagia. Lantai yang baru aku sapu, kotor lagi karena remahan makanan ringan yang mereka makan. Rumah yang sudah rapi, berantakan lagi karena mereka membuka semua kantong oleh-oleh.
Namun di sisi lain, aku senang melihat mereka begitu bahagia setelah perjalanan kami. Mereka mendapatkan uang yang besar dari melukis dinding dan hadiah lomba menyanyi. Tetapi mereka tidak mau membeli apa pun, malah memintaku untuk menggunakannya membayar uang sewa rumah dan uang sekolah mereka nanti.
“Ma, ada Om Alvis!” ucap Davin sambil menunjuk ke arah rumah. Kami baru saja pulang dari rumah murid les privat vokalku.
“Om Alvis! Om Alvis!” sorak anak-anak.
Alvis yang semula duduk di atas sepeda motornya, mendekati pagar dan membukakannya untukku. Aku memasukkan sepeda motor ke pekarangan, sedangkan dia menutup pagar kembali lalu menggemboknya. Dia menolong menurunkan anak-anak setelah aku melepaskan pengait pada setiap gendongan mereka.
“Aku sudah memberikanmu kunci rumah, mengapa kamu tidak menunggu di dalam saja?” tanyaku heran. Dia pasti sedang bertengkar dengan ibunya sehingga datang ke sini dan membawa tas yang aku tahu pasti berisi pakaiannya.
“Aku memesan makanan dan menunggu pengantarnya datang. Sebentar lagi sampai.” Dia menoleh ke arah jalan ketika mendengar bunyi mesin kendaraan. “Nah, itu dia!”
Dari merek pada kotak makanan di bagian belakang sepeda motor itu, aku tahu bahwa dia memesan piza kesukaan anak-anak. Aku menyentuh perutku, aku lapar. Semoga dia membeli dua kotak piza berukuran besar. Aku memasuki rumah lebih dahulu untuk bisa segera lepas dari jaket dan helm yang aku kenakan, kemudian meletakkan tas ranselku ke kamar.
Saat kembali ke ruang depan, aku terkejut Alvis membeli tiga kotak piza. Anak-anak bersorak senang sambil tidak sabar menunggu om mereka membuka kotaknya. Mereka bahkan belum melepas jaket dan helm mereka.
“Davin, Ditha, lepaskan helm dan jaket kalian. Mandi dahulu, baru boleh makan.”
“Yaa, Mama. Kami sudah lapar.”
“Jangan membantah mama kalian.” Alvis berdiri dan membantu melepaskan helm Davin. Melihat itu, aku membantu Ditha. “Kalian harus menuruti apa pun kata kakakku. Apa kalian mengerti?”
“Om sering membantah Mama, mengapa kami tidak boleh?” protes Ditha.
“Sesekali saudara kandung bertengkar itu hal biasa. Bukankah kamu dan Davin juga kadang-kadang bertengkar?” tanya Alvis. Aku tersenyum mendengarnya.
“Benar juga.” gumam Ditha setuju. “Jadi Om tidak pernah membantah mama Om?” Aku mengulum senyum melihat Alvis tidak menjawab pertanyaan itu dan hanya menggandeng Davin menuju kamar mandi. Ditha mengikuti mereka. Aku tertawa kecil mendengar putriku masih mengajukan pertanyaan yang belum dijawab tersebut.
Setelah anak-anak mandi dan memakai piyama mereka, aku membiarkan mereka makan bersama Alvis. Aku membersihkan badan terlebih dahulu sebelum bergabung bersama mereka. Aku menyediakan air minum untuk mereka, lalu mengambil satu potong piza dan memakannya.
“Mama, boleh aku ambil oleh-oleh untuk Om Alvis?” tanya Ditha.
“Boleh, sayang. Kamu tahu di mana letaknya?” tanyaku.
“Tahu, Ma.” Ditha segera berdiri dan memasuki kamarku. Tidak lama kemudian, dia keluar sambil membawa sebuah kantong plastik.
“Oleh-oleh dari Yogya?” tanya Alvis. Ditha menganggukkan kepalanya. “Waahh! Piyamanya bagus sekali. Siapa yang pilih?”
“Aku, Om. Mama memilih piyama untuk Tante Mila,” jawab Ditha. Alvis memicingkan matanya.
“Kak Mila juga dapat oleh-oleh?” tanyanya tidak suka. Mereka berdua tidak saling menyukai. Aku tidak pernah tahu apa alasannya. Tetapi setiap kali mereka bersama, mereka bersikap layaknya kucing dan anjing yang tidak bisa akur.
“Selama kami tinggal di sana, yang mengantar kami ke sana kemari adalah sopir adiknya dan menggunakan mobil mereka. Meskipun aku tidak membeli apa-apa untuk Mila, tetap saja dia akan mendapatkan oleh-oleh dari Tiffany. Apakah kamu juga akan protes?” tantangku. Alvis merapatkan bibirnya, tidak bisa lagi membantahku.
“Mengapa Om selalu bertengkar dengan Tante Mila? Apakah Tante Mila pernah nakal kepada Om?” tanya Davin yang masih asyik menikmati pizanya.
“Aku hanya suka bertengkar dengannya. Dia lawan seimbangku.” Alvis tertawa kecil.
“Jangan sampai membuat Tante Mila menangis, ya, Om,” ucap Davin dengan nada mengancam. Aku tertawa mendengarnya. Alvis tertegun sejenak.
“Jadi, bagaimana liburan kalian selama akhir pekan? Apa saja yang kalian lakukan?” tanya Alvis, mengalihkan topik pembicaraan.
Anak-anak segera berebut untuk menceritakan setiap hal yang kami lakukan di sana. Mereka menceritakan mengenai pantai, candi, pasar malam, setiap tempat yang kami datangi, termasuk rumah makan. Aku memberikan ponselku agar Alvis bisa melihat setiap foto yang aku ambil. Melihat mereka tidak menambah piza lagi, aku mengumpulkan setiap piring dan gelas kotor, lalu mencucinya di wastafel.
Ketika aku kembali ke ruang depan, anak-anak masih bicara dengan om mereka. Aku mengambil kotak piza yang sudah kosong, lalu menggabungkannya dengan sampah yang ada di dapur. Aku mengikat kantong tersebut dan membawanya ke depan.
“Oh, biar aku yang lakukan, Kak,” cegah Alvis. Dia segera berdiri dan mengambil kantong itu dari tanganku. “Sudah malam, tidak baik seorang wanita memakai piyama setipis itu keluar rumah.”
“Piyama ini tidak tipis,” protesku. Dia hanya tertawa. Anak-anak ikut berdiri dan keluar bersamanya menuju tempat sampah yang ada di depan rumah. Aku memerhatikan piyamaku baik-baik. Iya, kainnya tidak tipis. Alvis hanya menggodaku saja.
Kembali ke rumah, Alvis dan anak-anak ke kamar mandi dan bersiap untuk tidur. Adikku mengambil alih tugasku membacakan buku untuk anak-anak di kamar mereka. Aku duduk bersantai di ruang depan dan memeriksa akun media sosialku.
“Kak, tolong bukakan pintu,” pinta Alvis yang membopong Ditha. Aku meletakkan ponselku ke atas meja lalu membukakan pintu kamarku. Alvis membaringkan putriku di atas tempat tidur. Ditha segera bergerak mencari posisi nyaman.
Setiap kali Alvis menginap di rumah kami, dia akan tidur bersama Alvis di kamar anak-anak, sedangkan Ditha akan tidur bersamaku. Meskipun kami adalah kakak dan adik, tidak etis bila aku dan Alvis tidur pada satu tempat tidur. Maka lebih baik bila dia bersama Davin dan aku bersama Ditha.
“Saat aku menunggu kalian pulang tadi, tetangga sebelah datang dan memberikan ini kepadaku.” Alvis menyerahkan sebuah amplop cokelat kepadaku.
“Apa ini?” tanyaku bingung. Tidak ada nama pengirim pada amplop tersebut, hanya ada nama dan alamat penerima.
“Aku tidak tahu. Aku tidak memeriksanya.” Alvis berjalan menuju dapur. “Aku ingin membuat teh hangat, apa Kakak juga mau?”
“Tidak, terima kasih.” Aku membuka amplop tersebut dan mengeluarkan isinya. Beberapa lembar fotokopi Kartu Keluarga dan sebuah surat yang diberi stempel dan tanda tangan asli. Oh. Ini dokumen yang aku minta dari Papa. Syukurlah. Akhirnya, selesai juga.
Pertemuanku dengan Papa setelah bertahun-tahun terpisah tidaklah menyenangkan. Dia begitu membenciku bahkan tidak sudi terlihat sedang berbicara denganku. Anak-anakku yang berdiri di kedua sisiku pun seolah-olah tidak terlihat baginya. Aku segera menepis bayangan itu. Tidak ada gunanya memikirkan hal yang hanya akan membuatku bersedih.
“Apa isinya, Kak?” tanya Alvis sambil datang membawa sebuah mug yang mengepulkan asap.
“Fotokopi KK dan Surat Keterangan Pindah.” Aku memasukkan kembali semua berkas tersebut ke dalam amplopnya. “Aku ingin mendaftarkan anak-anak masuk TK.”
“Ah, iya. Ditha dan Davin sudah berusia empat tahun, sudah saatnya masuk TK A. Mereka pasti akan senang bisa punya banyak teman seusia mereka.” Davin membuka kotak piza dan mengambil satu potong. Aku mengangakan mulutku.
“Kamu masih lapar?” tanyaku tidak percaya. “Atau kamu sedang ada masalah?” Alvis punya kebiasaan buruk yang sangat tidak aku sukai. Setiap kali dia punya masalah, dia akan lari pada makanan. Aku selalu mengajarinya untuk tidak lari dari masalah.
“Aku bertengkar dengan Mama, karena itu aku minggat dari rumah.”
“Alvis,”
“Aku tidak membutuhkan nasihat Kakak. Saat ini aku hanya ingin makan, menonton, bermain gim daring, lalu tidur.” Dia menggigit piza tersebut dan tidak memedulikan laranganku.
“Kamu dan ibumu mempertengkarkan apa?” tanyaku. Dia tertawa kecil.
“Aku suka sekali dengan cara Kakak memanggilnya. Ibumu. Pasti sulit bagi Kakak untuk menerimanya sebagai ibu, ‘kan?” tanyanya.
“Aku hanya punya satu mama, dan dia sudah meninggal dunia. Wanita itu tidak pernah sekalipun menunjukkan kepadaku bahwa dia layak dipanggil Ibu, Mama, atau apalah, jadi, untuk apa aku memanggilnya begitu?” Aku mengangkat kedua bahuku.
“Mama bersemangat sekali mendekatkan Avery dengan seorang pria kaya raya. Sebenarnya itu bukan masalah, tetapi caranya membuatku malu. Papa hanya diam saja, sepertinya Papa juga senang andai Avery menjadi istri pria tersebut.” Alvis memulai ceritanya.
“Kakak bayangkan saja. Seorang ibu membawa putrinya mengikuti seorang pria dan membuat seolah-olah pertemuan mereka tersebut hanyalah sebuah kebetulan. Bukankah itu memalukan?” tanya Alvis. “Aku tidak tahu apakah mereka jadi melakukannya tadi. Aku memilih untuk pergi saja dari rumah daripada mendengar Mama bercerita mengenai kelancaran rencana mereka.”
“Rencana itu bukan yang pertama kali ibumu lakukan?” tanyaku mencoba mencerna ceritanya.
“Bukan. Malam ini adalah rencana yang kedua. Mama sudah pernah melakukannya satu kali. Dan pria itu tidak terlalu memedulikannya. Tentu saja. Dia seorang yang sibuk, tidak punya waktu untuk meladeni seorang ibu yang ingin memperkenalkan putrinya kepadanya.”
“Usia Avery masih sembilan belas tahun, mengapa terburu-buru begitu?”
“Kakak belum bertemu dengan pria ini, sih. Kalau Kakak sudah melihat dia, Kakak akan mengerti. Dia adalah seorang pengusaha yang sukses, cerdas, kaya raya, dan tampan. Aku yakin ada banyak wanita di luar sana yang berlomba untuk menjadi istrinya,” puji Alvis. Rasanya aku mulai mengerti mengapa wanita itu ingin menikahkan Avery dengannya.
Walaupun usianya masih tergolong muda, Avery sudah memasuki usia pernikahan minimal yang diizinkan secara hukum. Jadi tidak ada salahnya baginya untuk menikah. Menunggu sampai usianya cukup untuk menikah, belum tentu masih ada calon yang sesempurna pria incarannya itu. Ibu tiriku memang selalu tahu bagaimana memanfaatkan kesempatan yang ada. Seperti yang dilakukannya dahulu kepada Papa.
“Aku sempat khawatir kamu bertengkar dengan ibumu karena aku,” ucapku pelan.
“Kami sudah sering bertengkar setiap kali membicarakan Kakak. Tidak usah Kakak pikirkan. Sampai kapan pun Mama akan tetap seperti itu. Entah mengapa dia tidak menyukai Kakak, aku tidak bisa mengerti. Kakak adalah anak yang baik, lalu masalahnya di mana?” Dia menggeleng heran.
“Mungkin dia pikir aku adalah ancaman baginya. Jika Papa terlalu mencintaiku, maka Papa akan mengabaikan dia juga kamu dan Avery. Meskipun Papa menjauhiku, dia masih merasa tidak aman karena kadang-kadang Papa masih menunjukkan perhatiannya kepadaku.” Aku mencoba menebak.
“Kalau dari apa yang aku dengar setiap kali aku dan Avery memperdebatkan mengenai penerus Papa, Mama pasti khawatir bahwa perusahaan Papa akan jatuh ke tangan Kakak. Sekalipun Kakak tidak pernah menunjukkan keinginan menjadi penerus Papa,” ucapnya.
“Biasanya Avery tidak selalu menuruti semua perkataan Mama, tetapi kali ini dia bersikap berbeda. Setahuku dia sudah punya pacar, untuk apa lagi dia mau didekatkan dengan pria lain? Aku curiga bahwa dia tidak yakin akan dipilih Papa untuk meneruskannya memimpin perusahaan. Supaya hidupnya tetap terjamin, dia harus menikah dengan pengusaha yang lebih kaya.”
“Wah, wah. Apakah kamu begitu yakin bahwa Papa akan memilihmu untuk menggantikannya?” Aku menyentuhkan bahuku ke bahunya, menggodanya.
“Kakak masih meragukan kemampuanku?” tanyanya retorik.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 95 Episodes
Comments
Gio Booklover
cuma bertengkar? aku jambak2an dgn kakakku ^^v
2021-10-06
1
Zahara Letto
semangat..,,
2021-10-03
1
Doersdey Silalahi
semangat kak mei,walaupun sudah baca cerita sebelumnya dan membaca ulang dr awal tetap bikin deg-deg kn.dan alurnya lebih menarik ini kak mei👍👍👍
2021-09-06
1