Aku menganga, lelaki didepan ku ini tersenyum, matanya hilang dibalik senyumnya. Wajah sendu menawan yang belum pernah kujumpai sebelumnya.
Anak desa bisa seganteng ini ya?
Benar benar, apakah dia keturunan dewa?.
Kau harus melihatnya, dia tinggi dengan kulit putih dan mata sipit. Anak Jakarta, aku ingin mengatakan ini, Ajil kalah tampan dibandingkan lelaki yang berdiri di depanku.
"Hai," sapanya
Dari suaranya tidak ada kegugupan yang diperlihatkan, dia tersenyum.
"Hai" ragu ragu aku menjawabnya, mengangkat tanganku dengan gemetar.
"Biasanya pakai aku kamu atau elo gue?,"
Aku tidak paham dengan pertanyaannya, dari yang bisa ku simpulkan dia bertanya biasanya aku menggunakan apa untuk menyebut orang lain.
"Elo gue," jawabku berusaha membuat ekspresi datar.
Aku tidak ingin di kira, sudah jatuh pada pesona lelaki didepan ku ini. Meski dengan menyesal aku harus mengakuinya kalau "ya", aku menyukai dia. Tidak banyak, tidak sebanyak suka ku pada Ajil.
"Lo yang namanya Vanda?," Tanya lelaki didepan ku ini.
"Oh, eh iya," aku terbata-bata, sial.
"Ikut gue, gue anterin ke kelas elo,"
Saat dia mengatakan elo gue, aksennya tidak terlihat medok. Maksudku seperti aku, seperti orang Jakarta pada umunya. Aku ikuti saja langkahnya kemanapun.
Sampai di depan kelas yang tidak terlalu jauh dari ruang kepala sekolah, dia berhenti.
"Ini kelas elo, kalo ada apa-apa lo boleh ngehubungi gue," ucapnya hendak pergi.
"Eh tunggu," cegahku
"Nama lo siapa?," Aku bertanya karena penasaran, tidak aneh kan?
Dia tertawa, apa yang dia tawakan coba? Penampilanku, atau pertanyaan ku barusan. Dia melangkah maju, mencondongkan wajahnya hingga jarak wajah kami sangat tipis.
Aku bisa mencium aroma parfumnya dari hidungku.
"Slamet" ucapnya lalu memundurkan langkah dan pergi.
"Makasih" lirihku, tidak yakin sih dia mendengarnya atau tidak.
Aku menoleh kearah pintu coklat didepan, ku ketuk perlahan, kudorong dan kudapati seorang guru perempuan tengah berdiri mengajar.
Aku menunduk sopan, memberi salam.
"Siswa baru ya?," Tanya guru itu sebelum aku memperkenal kan.
"Iya Bu," jawabku
"Silahkan perkenalkan diri," ibu itu kembali duduk di kursinya.
Aku berdiri ditengah tengah, menatap beberapa anak lelaki yang menatapku, beberapa siswi perempuan yang memberikan wajah jutek.
"Hai," aku ragu-ragu mengangkat tangan, ini pertama kalinya aku menjadi siswa baru
"Nama gue, eh," aku terperajak saat tanpa sengaja menyebutkan kalimat gue, bukan sok jadi anak kota tapi karena sudah terlalu sering menggunakan aksen itu.
"Nama aku Vanda Adelien, panggil aja Vanda. Aku anak pindahan dari SMA 1 JakPut,"
Sudah, aku mengakhiri perkenalan sampai di situ, memangnya apa lagi yang perlu ku perkenalkan.
Satu siswa mengangkat tangannya , seorang lelaki yang duduk dipojokan .
"Udah punya pacar?," celetuknya tanpa tahu malu.
Sungguh, aku kurang suka pertanyaan ini, memangnya harus ya bertanya masalah pribadi seperti itu. Meski tidak suka, aku harus menjawabnya. Ingat aku ini anak baru, jangan sampai gara-gara pertanyaan ini aku jadi siswi bully-an disekolah.
"Sudah," selesai ucapanku semua siswa bertepuk tangan.
Entah apa yang di tepuki, yang jelas aku risih saja seperti ini.
"Silahkan duduk Vanda, perkenalan dilanjutkan setelah jam istirahat," intrupsi guru
Aku hendak melangkah tapi suara guru yang tengah mengajar menghentikan ku "Nama ibu Tasya, panggil bu Tasya ya"
Aku mengangguk, memilih bangku kosong nomor dua di sebelah gadis dengan rambut terurai
"Hai," sapaku basa-basi sebelum duduk
Dia tersenyum "Seneng deh akhirnya punya temen sebangku," ujar nya.
Seketika itu bulu kuduk ku merinding, duh gimana kalo ini kayak cerita-cerita hantu itu. Bangku kosong? Omg, aku kesini bukan untuk kesurupankan.
Aku diam, memilih mendengarkan Bu Tasya yang sedang menjelaskan materi alogaritma. Ini mah disekolah ku dulu sudah dijelaskan.
Pukul dua belas, bel berbunyi. Awalnya aku tidak berniat untuk keluar kelas, duduk didalam saja sudah banyak yang memperhatikan apalagi kalau aku keluar.
"Istirahat yuk," ajak Dian
Oh sejam yang lalu kami sudah berkenalan, nama teman sebangku ku adalah Dian. Dia tinggi dengan kulit sedikit hitam, rambut hitam legam yang di gerai. Dia cukup manis bagiku, badannya juga wangi, sepertinya aku nyaman duduk sebangku dengannya. Aku jadi rindu Kayla, biasanya gadis itu selalu membujukku untuk pergi ke supermarket depan sekolahan sambil merayu mang Paijo untuk membukakan gerbang.
"Enggak deh, malu," ujarku lirih sekali.
"Udah, ayok sekalian mejeng,"
Mejeng? Aku tidak tahu kalimat apa yang diucapkan Dian barusan.
"Mejeng?," Ulangku bingung.
"He he," Dian tertawa sambil mengusap tengkuk "Mejeng tu artinya cari perhatian,"
Lha kenapa aku harus cari perhatian? Aku memutar bola mata malas.
"Enggak deh," tolakku secara halus
"Keluar aja Van," sahut teman yang berada didepan kelas.
Aku menatapnya sekilas, belum terlalu mengenalnya
"Itu namanya Sofia," kata Dian memperkenalkan gadis berkuncir satu yang duduk diatas meja guru.
Aku mengangguk sambil mulut membuat huruf "o".
"Biasanya jam segini, banyak siswa-siswi yang mojok," tukas Sofia lagi.
Mojok? Apalagi coba itu. Sebenarnya istilah apa sih yang mereka pakai.
"Mojok?," Aku meminta penjelasan pada Dian.
"Itu pacaran,"
Oh pacaran. Ngomong aja pacaran gak usah di sembunyikan dengan istilah gak jelas deh. Gumamku dalam hati. Akhirnya aku bangkit, mengikuti Dian dari belakang sambil memainkan ponsel.
Dia menoleh, ikut memperhatikan ponsel yang tengah kumainkan.
"Besok jangan bawa HP, disini sering razia," Tutur Dian memberi tahu.
"Lho kenapa? Bukannya sekarang sistem berbasis alat komunikasi ya?," Tanya ku masih tidak paham
"Belum diterapkan," jawab Dian menambahkan. Kantinya terletak diujung, sudah ramai.
Seperti gubuk kayu yang berbaris. Ada enam buah kantin, seperti rumah yang terbuat dari kayu hanya saja tidak memiliki dinding. Aku menoleh ke kanan kiri memperhatikan kantin yang di maksud Dian.
"Uhuk" aku sedikit terbatuk saat kumpulan debu dari antrian mengenai hidungku.
Tidak ada lantai kramik dan kursi serta meja yang terbuat dari kramik, atau kebersihan yang terjaga. Disini semua serba sederhana, dimana hanya ada dua orang penjual kantin dari masing masuk gubuk, menjajakan Snack ciki-ciki serta kursi memanjang yang terbuat dari kayu. Mejanya pun juga sama, bahkan sudah berubah warna menjadi hitam. Aku yakin ini benar benar kotor.
"Mau makan apa?," Tanya Dian saat kami berhasil menemukan kursi untuk duduk.
Kursi disini terbatas, banyak siswa-siswi yang makannya harus lesehan dibawah pohon. Tapi kulihat mereka nyaman duduk disana.
"Adanya apa?," Tanya ku basa-basi.
"Lontong sayur, pecel, mie ayam , bakso"
Dian berhenti menyebutkan daftar menu, itu artinya hanya ada itu disini. Aku tidak selera makan, karena tempatnya juga tidak nyaman untukku.
"Minum aja deh," kataku.
Aku tidak mau kepedean, tapi disini sedari aku berjalan ke kantin semua mata memandang ku, bahkan ekspresinya terlihat kagum. Disini pun ketika aku duduk dan memainkan ponsel semuanya berbisik membicarakan ku. Ada yang terang -terangan mengatakan aku cantik.
"Mau minum apa?," Tanya Dian terlihat benar-benar memanjakan.
"Terserah kamu," kataku malas.
"Eh itu kak Saga kan,"
Seorang siswi disebelahku terllihat tengah berbicara dengan temannya, aku menoleh, ikut melihat siapa yang tengah dibicarakan.
"Ita bener kak Saga,"
Aku ikut terkejut, bukannya itu Slamet ya. Dan Slamet tengah berjalan ke arahku.
"Elo, ikut gue," kata nya padaku,a ku melongo dan bingung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments
Endang Winarsih
lanjut thooor
2023-02-12
0
Edmundus Ason
selamet,pono,sumantoro,sukijan, dlll hihihi
2021-11-07
0
Cya_yang
dari awal perkenalan nama nya slamet, aku udah gk percaya Thor 😂😂😂
2020-09-14
3