"Pa minjem HP"
Aku membanting tubuh di atas sofa, Papa melirik sekilas, menyesap kopi hangatnya.
"Hp mu kemana ?,"
"Papa kan tahu disini gak ada sinyal,"
Aku berdecak berulang-ulang, melipat tangan di dada, memutar bola mata malas. Papa memberikan ponselnya.
"Jangan lama lama, nanti om Adi nelfon,"
"Iya,"
Selepas itu aku pergi keatas kamar, dimana kamar yang sudah di rapikan oleh mama. Mendial nomor Ajil, ponsel anak itu tidak aktif, entahlah kemana perginya. Aku mendegus, mengirimi gambar rumah rumah dari jendela kepada Kayla. Tidak ada balasan dari anak itu.
"Vanda,"
Tiba-tiba Mama membuka pintu tanpa mengetuknya. Dia memberikan seragam SMA, seragam SMA yang digunakan anak-anak SMA normal. Bukan seperti SMA ku dulu, di mana rok kotak-kotak dengan balutan rompi.
Putih abu-abu itu hanya ku pandang tanpa mau menerimanya, aku memiringkan tubuh ke kanan, membelakangi Mama.
"Ini baju buat kamu sekolah besok,"
Aku bangkit saat mendengar kata besok. Mataku hampir membulat sempurna.
"Vanda gak mau sekolah Ma," teriakku.
"Kalau gak mau sekolah kamu mau jadi apa?,"
Aku merampas dengan kasar seragam itu, ku banting disamping dan menenggelamkan diri diatas kasur. Entahlah aku rasa semua akan hancur sampai disini, tidak ada bunyi klakson malam-malam ku, hanya bunyi angin yang berhembus dan hewan yang berbunyi nyaring.
🚕🚕🚕
Sekitar pukul delapan lebih lima belas menit aku baru saja bangun, menggandeng seragam lama dan tas ransel. Mama yang ada di meja makan langsung menoleh, aku yakin sebentar lagi bom waktu Mama akan segera meledak.
"Mau berangkat pa?," Tanya ku pada Papa saat keluar kamar dengan seragam polisinya.
Papa hanya berdehem sekilas, sepertinya tidak terlalu memperhatikanku.
"Seragam barumu mana?," Tanya Mama begitu aku duduk di kursi.
Aku tidak selera menyahut, mengambil nasi goreng dan memakannya.
"Vanda," panggil Mama dengan nada menaik.
"Apa sih Ma?," Aku hampir berdecak, kalau tidak ingat ini Mama ku, mungkin aku benar-benar bedecak.
"Seragam baru mu mana?," Tanya Mama dengan nada menaik.
Aku memutar bola mata "Di kamar," jawabku santai.
"Mama kan udah bilang, pakai seragam baru kamu,"
"Ma, aku kan siswa baru, gak papa lagi gak pakek seragam sekolahannya, "
Dengan malas aku meletakkan sendok diatas piring.
"Pa, buruan," teriakku tak sabaran.
Papa tersedak, tapi entahlah, kenapa Papa begitu menurut padaku, mungkin dia merasa bersalah atas perpindahan dadakan ini.
Kami pergi ke sekolahan menggunakan mobil Papa, ada tiga puluh menitan perjalanan kami. Karena jalannya berlubang, kami kesulitan untuk mengebut. Sudahlah, bukan masalah, toh ini hari pertama aku sekolah.
"Vanda, udah sampe," Papa menyadarkanku dari lamunan.
Aku menoleh, jujur aku syok. Sekolahan ku tidak terlihat seperti sekolahan ku dulu. Bahkan jauh berbeda, halaman gersang tanpa tumbuhan atau sebuat saja taman. Cat warna kuning muda yang sudah mulai luntur.
"Papa serius?," Tanya ku hampir membentak kala Papa membelokkan mobilnya kearah sekolahan
Papa tidak menjawab, dia membunyikan klakson dan menyapa siswa yang menjaga gerbang. Heran deh kenapa siswa yang di suruh jaga gerbang bukannya satpam.
Mobil kami terus melaju sampai diparkiran tamu. Aku rasa sih ini parkiran khusus guru, hanya ada satu buah mobil itupun plat dinas. Aku tebak, ini mobil kepala sekolahnya.
Aku dan Papa keluar dari mobil, tas ransel kugantungkan dibahu. Mengikuti langkah Papa dari belakang sepertinya pilihan bagus.
Hanya ada beberapa siswa-siswi yang berlalu lalang, mungkin karena jam sudah setengah sembilan jadi banyak siswa-siswi yang belajar dikelas masing-masing.
"Pa, Vanda gak mau sekolah di sini," bisikku pelan.
"Jadi kamu mau sekolah di mana?," Tanya Papa juga ikut berbisik
"Dimana aja deh, yang penting gak disini,"
Papa tidak lagi menjawab ucapanku, dia tersenyum kearah lelaki dengan tubuh gemuk yang mengenakan seragam dinasnya.
"Siang pak Abimanyu," sapa lelaki yang bername tag Nafion.
"Siang pak Nafion," sapa Papa .
Aku ikut tersenyum, menyalami lelaki didepan ku yang entah sebagai guru, staf atau kepala sekolah. Aku tersenyum meski sejujurnya sedikit terpaksa, garis bawah terpaksa
"Jadi ini anakmu?," Tanyanya
"Iya, ini Vanda yang akan saya sekolahkan disini," Papa memperkenalkan ku dengan bangga.
"Ha ha ha mari ngobrol diruangan saya," ajaknya.
Kami berjalan mengikuti pak Nafion dari belakang, memasuki ruangan kepala sekolah yang menyimpan beberapa piala di dalam etalase. Tidak terlalu ku perhatikan karena sekolahan ku sebelumnya memiliki piala yang dipajang di koridor utama.
Di dinding ada foto dewan guru yang berjejer rapi, beberapa foto pak Nafion selama menerima penghargaan.
"Vanda, dulu kamu kelas berapa?," Tanya pak Nafion mengagetkan.
Aku menatapnya "Eh" ujarku terjingkat "Kelas dua IPA pak,"
"Bapak dengar kamu cukup berprestasi disekolahmu dulu?" tanya pak Nafion sambil membolak-balikan kertas diatas meja.
Aku memggangguk "Gak terlalu," jawabku tidak mau sombong.
"Papa kamu sudah mendaftarkan sekolah disini tiga hari yang lalu, bahkan sudah mengurus semua keperluan," tukas pak Nafion tersenyum cerah "Kami juga sudah menyiapkan di kelas mana kamu akan belajar nantinya,"
Aku mengangguk lagi. Memangnya selain itu apa lagi yang bisa ku perbuat. Aku sudah pasrah, mungkin ketika aku memasuki desa gelap ini.
"Semoga kamu betah sekolah sini," kata pak Nafion
Sebenarnya aku ingin menjawab "semoga saja, tapi aku tidak yakin" aku tidak tega saja mengatakan itu didepan papa, jadi aku menjawabnya "Iya pasti"
"Kamu boleh pergi, nanti akan ada siswa yang mengantarkan kamu ke kelas," ujarnya.
Maksudnya aku gak diantar sampe kekelas, biasanya kan ada guru yang mengantarkan siswa baru ke kelas.
Lagi lagi aku mengangguk, bersalaman dengan pak Nafion dan Papa, sepertinya mereka akan mengobrolkan banyak hal.
Sampai diluar, aku mengeluarkan kipas mini. Meletakkan dibawah dagu. Panasnya memang tidak sepanas Jakarta tapi udaranya membuatku tidak nyaman. Apalagi melihat lapangan luas tanpa kramik, hanya tanah menghampar di lapangan, ada dua ring di sisi kanan dan kiri.
Aku menghela nafas, haruskah seperti ini menjadi anak polisi. Seseorang menepuk bahu ku, aku menoleh dan yang terjadi selanjutnya diluar dugaan ku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments
Edmundus Ason
orang ibu kota sekolah di ibu dusun hahahahaha
2021-11-07
0
Omar Falah
kepsek dan guru,apalagi di daerah,ga ada yg dikasih mobil dinas..
ga ngerti kalo di jakarta
2019-12-16
2