Setelah semalaman harus menelan rasa kecewa, dengan mata bengkak, aku berjalan menyusuri lorong sekolah. Membanting tas ketika berada di kelas, menyembunyikan wajah di antara telapak tangan.
"Eh kenapa lo?" suara Kayla terdengar ditelinga.
Aku langsung mendongak, memeluknya dan menumpahkan tangis.
"Papa dipindahin tugas," mungkin hari itu suara ku sangat kencang, sampai teman sekelas langsung mengalihkan arah fokus.
"Kok bisa?,"
"Gak tau, dan gue harus ikut Papa tinggal jauh ditempat yang gue gak tau,"
Itu suara paling berat yang pernah aku ucapkan, hampir mencekik leher. Kayla melepaskan pelukan, menyeka air mataku.
"Jadi elo bakal pindah sekolah?,"
Aku menggeleng, bersamaan dengan itu Ajil masuk kedalam kelas sambil membawa kotak bekal.
"Siapa yang pindah?,"
Sepertinya saat itu dia mendengar pembicaraan kami. Aku berusaha menyembunyikan fakta ini, nyatanya berbohong dengan Ajil hal sia-sia.
"Vanda," kata Kayla.
"Kamu kenapa mau pindah beb?,"
Kayla dan Ajil merubah posisi, kali ini Ajil mengelus punggungku, berusaha menyalurkan kekuatan dari elusan nya.
"Papa pindah tugas,"
Ajil sepertinya shok mendengar kabar ini. Dia bahkan mencengkram ujung meja, aku melihatnya waktu itu. Dan yang dia lakukan selanjutnya adalah pergi. Pergi meninggalkan aku dikelas yang semakin terisak.
Sepertinya, keputusan Papa pindah benar-benar dia lakukan, sore ini tiba-tiba wali kelasku masuk ke kelas. Menyampaikan perpisahan padaku, dan mengatakan berkas sudah diurus. Besok Papa akan berangkat, jujur saat itu aku menangis hebat di depan kelas.
Mereka fikir aku menangis karena berpisah dengan mereka, itu memang sepenuhnya benar, tapi sisanya aku tidak mau pergi dari Jakarta. Jakarta sudah menjadi dunia ku.
Kayla menangis saat itu, Ajil berdiri didekat pintu, setelah bel pulang sekolah, teman-teman langsung memelukku, menyampaikan perpisahan yang manis, ada juga yang memberikan kenang kenangan. Ketika kelas sepi dan hanya ada Kayla dengan Ajil, elaki itu berjalan mendekat, memelukku, seperti pelukan yang benar-benar takut kehilangan.
"Maafin aku,"
Kalimat itu yang mampu aku berikan pada Ajil, selebihnya seluruh kalimat seperti tercekat diantara kerongkongan.
Hari itu hari terburuk disepanjang hidup. Ajil mengantarkan pulang, kami tidak sempat jalan-jalan ke mall, nongkrong atau sekedar berpisah. Selama perjalanan, aku lingkarkan tangan dengan erat di pinggangnya, motor melaju dengan pelan, hampir pelan sekali. Mungkin aku akan sampai di rumah ketika adzan magrib.
Kami tidak banyak bicara, membiarkan waktu berhenti sebentar. Sampai didepan rumah, ternyata Papa sudah mengemasi barang barang, aku melapaskan helm, memberikannya pada Ajil.
"Kabari aku ya, jangan sampai kita kehilangan komunikasi," pesannya.
Ajil pergi setelah mencubit pipiku, dia melenggang pergi meninggalkan aku dengan rasa sakit yang menjalar.
Tidak banyak yang aku lakukan, seperti murung diri di kamar, menangis dan merasa benar-benar kecewa. Besok kami sekeluarga akan pindah rumah. Mungkin aku tidak akan kembali ke Jakarta, tapi aku akan memastikan untuk kembali ke Jakarta lagi, pasti.
🚕🚕🚕
Kami tidak naik pesawat saat itu, hanya melintasi toll arah Lampung. Setelahnya masuk ke perbatasan antara lampung dan Pematang (Palembang), jalanan sudah berlobang-lobang, aku kecewa.
Ketika mobil berbelok kearah kiri, aku menyipitkan mata.
"Pa, berapa jarak rumah yang Papa beli dari sini?,"
Aku mencondongkan diri, merasa was-was kalau-kalau rumah yang ku tinggali masih hutan belantara.
"Sejam lagi,"
Aku masih menilik kearah kanan dan kiri, jalan berbatuan membuat mobil tergoncang. Bahkan aku ingin mutah saat jalan tidak stabil sepeti ini, mobil kesulitan melaju dengan kencang, lama, lama sekali.Di sekelilingku masih ditumbuhi pohon-pohon tinggi dan ini terlihat seperti hutan. Rumah pendudukan yang kecil dengan altar luas, bentuk tidak dinamis serta beberapa anak kecil yang tengah bermain pasir.
Bermain seperti anak-anak itu tidak pernah aku lakukan sebelumnya, mengecek ponsel pun percuma, sinyal sangat sedikit, bahkan saat mengkonfirgurasi ke dalam data seluler media sosial sangat sulit di gunakan.
kubu, kalimat itu menggambarkan kondisi saat ini. Baiklah, aku menarik nafas, mengembuskan perlahan. Sekitar sejam setengah kami sampai dirumah dengan latar luas, pohon mangga serta beberapa rumah tetangga yang sama dengan rumah ku. Sebenarnya aku ingin mengatakan ini, tidak ada mini market yang ku temui sejak tadi, hanya ada warung kecil-kecilan, butik kecil yang terletak tidak jauh dengan rumah.
Aku keluar, menoleh kekanan kiri sambil menggantungkan tas di bahu. Mobil yang mengantarkan barang juga sudah sampai.
Meski rumahnya cukup bagus tapi aku merasakan aura tidak nyaman tinggal disini. Sepi, sangat sepi, hanya ada beberapa kendaraan yang melintas didepan. Anak-anak kecil bermain bola di samping rumah, ibu-ibu tengah duduk bercengkrama menggunakan daster. Serta ada bapak bapak yang tengah memotong kayu.
Aku tidak terlalu paham apa yang sedang dilakukan dua ibu-ibu itu. Mereka tampak memeriksa kepala ibu yang duduk di depannya. Sudahlah memikirkan keadaan daerah ini, aku benar benar pusing.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments
Edmundus Ason
lagi periksa kebersihan rambut hehehehe
2021-11-07
0
De Afekh..
aku mampir lagi kaka...setelah al n el..semangatty
2020-11-17
1
dimpi^ippuni
aku pernah kok tinggal dipelosok aceh ninggalin jakarta n semua duniaku.. tapi sekarang malah kangen berasa jadi kampung ke 2 😍😍
2020-10-11
2