Hari itu, langit di perbatasan tampak lebih cerah dibanding biasanya. Matahari memancarkan sinarnya dengan lembut, menghangatkan desa yang seolah selalu dibayangi ketakutan. Penduduk mulai beraktivitas seperti biasa, meski di mata mereka masih tersirat kekhawatiran akan ancaman kelompok bersenjata yang beberapa kali meneror desa.
Fahira berdiri di tepi pos penjagaan, matanya memandang ke arah hamparan ladang dan bukit di kejauhan. Ada ketenangan dalam pemandangan itu, tetapi ia tahu bahwa ketenangan di daerah ini bisa berubah menjadi ketegangan kapan saja.
“Ra, lo kenapa bengong terus? Tuh anak-anak kecil di sana ngajak main,” ujar Gabriel sambil menunjuk beberapa anak desa yang sedang bermain bola di dekat lapangan kecil.
Fahira menoleh dan tersenyum tipis. “Gue lagi menikmati pemandangan, Bri. Tenang aja, gue tetap waspada kok.” Jawab Fahira.
Gabriel mengangguk. Ia tahu bahwa meski terlihat tenang, Fahira adalah salah satu prajurit paling sigap dan cerdas di tim mereka. Meskipun ia perempuan, tetapi ia punya taktik yang luar biasa hasilnya.
Setelah makan siang, Fahira memutuskan untuk berkeliling desa bersama beberapa rekannya. Mereka ingin memastikan bahwa situasi tetap aman. Desa itu kecil, dengan rumah-rumah kayu sederhana yang tersebar di sepanjang jalan tanah. Tetapi tetap asri lingkungannya. Penduduk menyapa mereka dengan ramah, meski terlihat jelas bahwa mereka menggantungkan harapan besar pada kehadiran tim militer di sana.
Saat berjalan, Fahira melihat seorang ibu tua yang sedang membawa tumpukan kayu bakar. Ia segera menghampiri dan menawarkan bantuan.
“Bu, biar saya bantu bawakan,” ujarnya ramah sambil tersenyum.
Ibu itu awalnya ragu, tetapi akhirnya menyerahkan kayu bakar itu pada Fahira. “Terima kasih banyak, Nak. Kalian semua sudah banyak membantu kami di sini.” Jawab si ibu dengan raut bahagia.
“Ini sudah menjadi tugas kami, Bu,” jawab Fahira.
Sambil berjalan, ibu itu bercerita tentang kehidupan di desa. Ia bercerita tentang bagaimana mereka sering hidup dalam ketakutan, tetapi juga tentang kekuatan dan ketabahan mereka untuk tetap bertahan. Cerita itu menyentuh hati Fahira.
“Semua yang ada di sini adalah keluarga kami. Kami harus saling menjaga, meskipun ancaman selalu ada setiap saat.” kata ibu itu sebelum mereka berpisah di depan rumahnya.
Fahira merenungkan kata-kata itu. Ia merasa ada sesuatu yang bisa ia pelajari dari keberanian penduduk desa ini.
Sore harinya, Fahira memutuskan untuk membantu anak-anak desa mengajar membaca dan menulis di balai desa. Anak-anak itu terlihat antusias, meskipun mereka hanya memiliki beberapa buku tua dan papan tulis kecil yang sudah tak berwarna.
“Kakak Tentara, kalau besar aku mau jadi seperti Kakak!” seru seorang anak perempuan bernama Sinta yang tersenyum menampilkan gigi ompongnya.
Fahira tersenyum, merasakan semangat yang tulus dari anak itu. “Kamu pasti bisa. Tapi kamu harus belajar dengan sungguh-sungguh, ya. Jadi pintar dulu, baru nanti jadi seperti kakak.”
Anak-anak lain pun ikut berseru, menyatakan cita-cita mereka dengan semangat. Suasana di balai desa itu menjadi ceria, seolah tak ada ancaman yang mengintai di luar sana.
Namun, di tengah kegembiraan itu, Fahira merasa ada yang mengawasinya. Ia menoleh ke arah jendela, tetapi hanya melihat dedaunan yang bergoyang ditiup angin. Perasaan itu terus menghantui, tetapi ia memilih untuk mengabaikannya.
Malamnya, setelah tugas hari itu selesai, Fahira duduk di depan pos penjagaan, menikmati secangkir kopi hitam. Gabriel duduk di sebelahnya, menggoda dirinya seperti biasa.
“Gue heran sama lo, Ra. Lo kayak punya energi nggak habis-habis. Udah patroli, bantu warga, sekarang malah masih nongkrong di sini.”
Fahira tertawa kecil. “Gue cuma menikmati malam, Bri. Suasananya tenang.”
Gabriel mengangguk. Ia tahu bahwa meski Fahira terlihat tegar, ada banyak hal yang sedang ia pikirkan. “Eh, Ra. Kalau ada apa-apa, jangan dipendem sendiri ya. Kita semua di sini saling dukung.”
Fahira tersenyum tipis. “Gue tahu, Bri. Makasih.”
Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki mendekat. Salah satu prajurit datang dengan wajah serius.
“Lapor Komandan, ada laporan dari warga. Katanya ada orang asing terlihat di dekat hutan tadi sore,” lapor prajurit itu.
Fahira langsung waspada. “Orang asing? Apa ada yang mencurigakan?”
“Belum jelas, Komandan. Tapi warga bilang dia hanya mengamati dari jauh, lalu menghilang.”
Gabriel mengangguk. “Oke. Besok pagi kita periksa area itu. Pastikan semuanya tetap siaga.”
Fahira merasa perasaan aneh yang ia rasakan tadi siang kembali muncul. Namun, ia memilih untuk tetap tenang dan fokus pada tugasnya.
Keesokan paginya, Fahira dan Gabriel memimpin tim kecil untuk menyisir hutan di sekitar desa. Mereka berjalan dengan hati-hati, memastikan setiap sudut diperiksa.
Ketika mereka mencapai sebuah bukit kecil, Fahira menemukan sesuatu yang membuatnya tertegun. Di antara semak-semak, ia melihat sebuah kalung yang sangat familiar. Kalung itu adalah liontin sederhana yang pernah ia berikan pada Doni sebagai hadiah ulang tahunnya.
“Ra, lo nemu apa?” tanya Gabriel, menyadari wajah Fahira yang berubah.
“Ini... nggak mungkin,” bisik Fahira, suaranya gemetar.
Gabriel melihat liontin itu dan menyadari apa yang membuat Fahira begitu terkejut. “Doni?” tanyanya pelan.
Fahira hanya mengangguk, mencoba menahan gejolak emosi yang tiba-tiba meluap. “Dia di sini, Bri. Gue yakin dia ada di sekitar sini.”
Gabriel menatap Fahira dengan ragu. “Tapi, Ra... kalaupun dia di sini, kenapa dia nggak muncul?”
Fahira tidak bisa menjawab. Ia hanya menggenggam liontin itu erat, seolah mencoba merasakan kehadiran Doni melalui benda itu.
Hari-hari berikutnya, Fahira menjadi lebih pendiam. Ia terus memikirkan kemungkinan bahwa Doni masih hidup dan mungkin berada di dekatnya. Namun, ia juga sadar bahwa ia tidak bisa membiarkan emosinya mengganggu tugasnya sebagai prajurit.
Malam itu, saat ia duduk sendirian di depan pos penjagaan, ia mendengar langkah kaki di belakangnya. Ketika ia menoleh, ia melihat bayangan seseorang di kejauhan.
“Siapa di sana?” seru Fahira dengan suara tegas.
Namun, bayangan itu segera menghilang ke dalam kegelapan. Fahira merasa hatinya berdebar kencang. Ia yakin bahwa ada orang disana, tetapi Siapakah itu, apakah Doni datang?
Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Dalam hatinya, ia berjanji bahwa ia akan menemukan kebenaran, tidak peduli seberapa menyakitkan itu.
Fahira tahu bahwa tugasnya di perbatasan tidak hanya tentang menjaga keamanan, tetapi juga tentang menemukan kembali keteguhan hatinya. Meski kenangan masa lalu terus menghantuinya, ia bertekad untuk menjadi cahaya bagi orang-orang di sekitarnya, seperti cahaya matahari yang menyinari desa itu setiap pagi.
“Gue akan terus maju,” ucap Fahira pada dirinya sendiri. “Karena itulah yang seorang prajurit harus lakukan.”
######
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments