Menjadi Prajurit Hati yang Teguh

Hujan deras mengguyur markas kecil di pedalaman tempat Fahira bertugas. Suara rintik hujan bercampur dengan hembusan angin yang menerobos masuk melalui jendela kecil di kamar asramanya. Ia duduk di meja kayu sederhana, menatap kertas kosong di hadapannya. Di tangannya tergenggam sebuah pena, tetapi pikirannya terlalu bising untuk menulis.

Sudah hampir dua tahun berlalu sejak Doni menghilang dari hidupnya tanpa pesan. Luka itu masih terasa, meski ia berusaha menyembunyikannya dengan kesibukan di medan tugas. Namun, keheningan malam seperti ini selalu membawa kenangan itu kembali, menghantam hatinya tanpa ampun. Mengingatkannya kembali dengan luka yang tak pernah sirna.

Fahira menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Sebagai seorang prajurit, ia telah diajarkan untuk tegar menghadapi segala situasi maupun rintangan, tetapi perasaan ditinggalkan oleh seseorang yang ia cintai adalah ujian yang tidak pernah diajarkan di tempatnya belajar.

Pagi harinya, Fahira bangun lebih awal dari biasanya. Ia mengenakan seragam hijau loreng kebanggaannya, memasang topi dengan lambang militer di atas kepala. Ketika ia menatap dirinya di cermin, ia melihat seorang prajurit yang tegas dan penuh dedikasi. Namun di balik seragam itu, ia masih seorang wanita yang rapuh karena kehilangan. Wanita yang masih menggunakan hatinya untuk merasa.

Di lapangan, anggota timnya sudah berkumpul. Letda Gabriel, sahabatnya yang setia, berdiri di depan, memberikan arahan untuk latihan hari itu.

"Fahira!" panggil Gabriel setelah briefing selesai.

Fahira menghampirinya dengan langkah tegap. "Ada apa, Bri?" tanyanya.

"Ada misi baru. Kita harus patroli di perbatasan desa. Wilayah itu agak rawan, jadi gue butuh lo fokus. Jangan kebawa pikiran lain, oke?"

Fahira mengangguk tegas. "Siap, Komandan!"

Gabriel menatapnya sejenak, mencoba membaca ekspresi di wajahnya. "Lo yakin baik-baik aja?" tanyanya pelan.

"Selalu," jawab Fahira dengan senyum tipis, meski di dalam hatinya ia tahu bahwa ia sedang berbohong. Dan sebagai sahabat di tempat tugas ini, Gabriel sudah paham bagaimana perasaan sahabatnya sebenarnya.

Perjalanan menuju desa perbatasan itu tidak mudah. Jalanan berlumpur, hujan yang terus turun, dan medan yang licin membuat tim harus ekstra hati-hati. Fahira, yang berjalan di barisan depan, memimpin dengan penuh percaya diri.

Namun, di tengah perjalanan, pikirannya melayang lagi ke masa lalu. Ia ingat ketika Doni pernah membantunya melewati jalan setapak yang licin saat mereka melakukan perjalanan di kampung halaman Doni. Ia ingat bagaimana tangan Doni dengan sigap menangkapnya ketika ia hampir terjatuh.

"Fahira, fokus!" suara Gabriel membuyarkan lamunannya.

"Maaf, Bri," jawab Fahira cepat, menyadari bahwa ia telah kehilangan konsentrasi.

Gabriel menghela napas. Ia tahu bahwa sahabatnya itu masih berjuang melawan bayang-bayang Doni. Cintanya yang kuat tak bisa terlupakan meskipun sudah beberapa tahun lamanya.

Setelah beberapa jam perjalanan, tim akhirnya tiba di desa perbatasan. Penduduk desa menyambut mereka dengan hangat, tetapi ketegangan di wajah mereka terlihat jelas. Ada isu tentang kelompok bersenjata yang sering muncul di sekitar wilayah tersebut, dan kehadiran militer memberikan rasa aman bagi mereka.

Fahira segera turun tangan membantu penduduk, dari mengatur logistik hingga memeriksa kondisi medis mereka. Di tengah kesibukannya, seorang anak kecil berlari menghampirinya.

"Kakak tentara, ini buat kakak," ucap anak itu sambil memberikan bunga liar yang ia petik dari ladang.

Fahira tersenyum hangat, menerima bunga itu dengan penuh rasa terima kasih. "Terima kasih, Dek. Siapa namamu?"

"Namaku Rian," jawab anak seusia anak kelas 1 SD itu dengan malu-malu.

Fahira berjongkok agar sejajar dengannya. "Rian harus jadi anak yang kuat dan berani ya. Kalau ada apa-apa, bilang ke Kakak atau Om Tentara yang lain, oke?"

Anak itu mengangguk dengan semangat. Gabriel, yang melihat interaksi itu dari kejauhan, tidak bisa menahan senyumnya.

"Lo memang prajurit hati yang teguh, Ra," ucap Gabriel ketika mereka kembali ke pos istirahat.

"Apaan sih, Bri?" Fahira menatap Gabriel dengan bingung.

"Lo selalu peduli sama orang lain, meski lo sendiri lagi hancur. Itu nggak semua orang bisa lakuin." Apalagi terlihat dari latar belakang loe.

Fahira hanya tersenyum kecil, memilih untuk tidak menanggapi.

Malam harinya, Fahira duduk sendirian di depan pos penjagaan, menatap langit yang gelap tanpa bintang. Suara jangkrik dan desiran angin malam menemani kesendiriannya. Ia merogoh saku seragamnya dan mengeluarkan liontin pemberian Doni.

"Kenapa kamu pergi, Don?" bisiknya pelan.

Ia tidak tahu bahwa jauh di seberang sana, Doni sedang memandangi foto Fahira yang ia simpan di dompetnya. Doni sekarang menjadi bagian dari operasi rahasia, bekerja di bawah bayang-bayang tanpa identitas yang jelas. Ia tahu bahwa meninggalkan Fahira adalah keputusan terberat yang pernah ia ambil, tetapi ia melakukannya demi melindungi orang-orang yang ia cintai.

"Maafkan aku, Fahira," ucap Doni pada dirinya sendiri, suaranya dipenuhi penyesalan.

Keesokan paginya, Fahira kembali fokus pada tugasnya. Ia bertekad untuk menjadi prajurit yang teguh, tidak membiarkan perasaan pribadinya mempengaruhi tugasnya. Ia tahu bahwa penduduk desa mengandalkannya, dan ia tidak ingin mengecewakan mereka.

Namun, di dalam hatinya, ia masih merindukan Doni. Meski ia mencoba menghapus semua kenangan itu, bayangan Doni tetap menghantuinya.

"Lo kuat, Ra. Jangan biarin masa lalu lo ngendaliin dan membayangi kehidupan baru lo," ucap Fahira pada dirinya sendiri, mencoba meyakinkan hatinya.

Gabriel, yang melihat Fahira mulai menemukan kembali semangatnya, merasa lega. Ia tahu bahwa sahabatnya itu masih dalam proses penyembuhan, tetapi ia yakin bahwa Fahira adalah wanita yang kuat. Wanita yang tanggung dan tak pernah takut dengan rintangan apapun. Meskipun ia adalah anak seorang pejabat tinggi, tapi tak menunjukkannya di halayak umum. Hanya segelintir orang yang tahu asal-usulnya.

"Lo prajurit hati yang teguh, Ra. Jangan pernah lupa itu," ucap Gabriel dengan senyuman hangat.

Fahira hanya mengangguk. Dalam hati, ia bertekad untuk terus maju, meski bayangan masa lalu masih menghantuinya. Ia tahu bahwa menjadi seorang prajurit bukan hanya tentang melawan musuh di medan perang, tetapi juga tentang melawan kelemahan dalam dirinya sendiri.

Dan hari itu, Fahira memutuskan untuk tidak lagi menjadi tawanan masa lalu. Ia akan menjadi prajurit hati yang teguh, yang siap menghadapi apa pun yang ada di depannya. Menjadi wanita kuat seperti yang selalu ia tunjukan di khalayak umum.

"Hidup terus berjalan, dan aku harus terus maju ke depan bukan melihat kebelakang sehingga membuatku selalu putus asa dan saki hati. " Ucap Fahira untuk menyemangati dirinya.

Ia menghirup nafas dalam-dalam dengan memejamkan matanya untuk merasakan betapa harumnya hembusan angin yang memintanya untuk maju kedepan. Membuka lembaran baru untuk meraih sebuah kebahagiaan.

#########

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!