Harin dan Ilham berjalan beriringan keluar dari kantor polisi. Setelah memberikan penjelasan yang begitu panjang tadi akhirnya Harin bisa bernapas lega. Seperti ada beban berat yang tiba-tiba hilang.
"Setelah ini langsung pulang, Rin?" Ilham mencoba mengakrabkan diri dengan Harin.
"Iya." balas Harin apa adanya. Sudah tahu kan jika Harin tidak suka basa-basi.
"Oh." kali ini Ilham yang kebingungan untuk mencari topik pembicaraan seperti apa.
Akhirnya baik Ilham maupun Harin hanya saling diam. Sampai keduanya menaiki motor masing-masing dan bersiap untuk pulang.
"Gue duluan ya, Rin." kata Ilham. Ia cukup sadar diri untuk tidak menawarkan Harin pulang bareng atau mengantar gadis itu sampai rumah.
"Ham." panggil Harin.
"Hm?"
"Terimakasih."
Kedua sudut bibir Ilham terangkat sehingga menimbulkan lesung pipi milik Ilham yang begitu menawan.
Laki-laki itu mengangguk sebagai balasan. Selanjutnya Ilham melajukan motornya dari pekarangan kantor polisi.
Dan hal yang baru saja ia sadari setelah motor Ilham agak jauh adalah tangan kecil Elise melambai-lambai ke arahnya.
Iya, Elise sekarang sedang membonceng motor Ilham.
...🎃🎃🎃...
"Elise dari mana aja jam segini baru pulang?" omel Harin kepada hantu bocah itu.
Sementara yang dimarahi hanya menunduk sembari memilin ujung gaunnya. Merasa bersalah karena pergi dari sore dan baru kembali.
"Nemenin Ilham pulang, nemenin Ilham makan, nemenin Ilham man- eh tidak, tidak. Mengunggu Ilham selesai mandi, nemenin Ilham belajar."
Gila! sejak kapan Elise menjadi centil kepada cowok seperti ini.
"Besok-besok jangan diulangi. Kalau masih nekat nggak usah pulang sekalian." omel Harin lagi layaknya emak-emak yang sedang memarahi anaknya karena pulang larut malam.
"Tidak mau. Mau sama Harin." balas Elise memelas.
Harin tidak merespon. Ia berlalu menuju kamar dengan Elise yang mengekor dibelakangnya. Sesampainya di kamar, Elise tidak melompat-lompat di kasur seperti biasanya. Perempuan cilik itu memilih duduk di sofa kamar.
Sungguh, jika Elise adalah manusia mana tega Harin melihat wajah penuh sesal seperti itu.
"Harin maaf." cicit Elise ketika Harin sudah bersiap ingin tidur.
Merasa diabaikan, Elise memilih keluar dari kamar Harin dan masuk kamar Ian. Tidur di ranjang milik lelaki yang masih sibuk berkutat dengan laptop.
...🎃🎃🎃...
Harin bukan perempuan populer di sekolah, tetapi ketika ia lewat semua mata tertuju pada gadis itu. Saling berbisik mengomentari penampilan Harin yang menyeramkan dan aura yang suram.
Rambut selalu tergerai dan menjuntai ke depan serta kulit putih pucat. Irit bicara dan sadis. Lantas, siapa yang mau berteman dengan perempuan seperti itu.
Mungkin, hanya Bara yang setiap bertemu Harin akan berteriak dan sok akrab. Seperti saat ini. Harin baru saja tiba di sekolah, bersamaan dengan Bara. Lalu cowok itu berjalan mendekati Harin sembari mengangkat tangannya. Bermaksud mengajak high five.
"Hoi, Rin."
Namun, Harin tetaplah Harin si perempuan bermuka datar. Bukannya segera ikut mengangkat tangan tetapi ia malah diam saja. Menatap Bara dengan tatapan yang mungkin jika disuarakan seperti ini. Ini orang ngapain sih, sok kenal banget.
Dan bukan Bara namanya jika begitu saja dia malu atau menyerah.
"Rin kelas lo udah sampai materi laju reaksi belum?" tanya Bara berbasa-basi.
Harin hanya mengangguk sebagai jawaban.
"Boleh nggak gue pinjam catatan lo? Nanti gue titip Echa buat balikin."
"Kenapa gak pinjam Echa?" tanya Harin.
"Karena catetan lo lebih lengkap."
"Oh."
"Boleh nih?"
"Iya."
Bara tersenyum lebar. Bedanya selebar apapun senyum laki-laki itu, Harin tidak akan menemukan sepasang lesung pipi seperti milik Ilham.
"Bar,"
"Apa?"
"Lo tahu cewek itu siapa?"
Bara mengikuti arah pandang Harin. "Cewek yang kacamatanya tebel itu?"
"Iya."
"Oh itu Selin anak kelas IPS 2. Pinter anaknya, tapi ya gitu."
"Gimana?"
"Tertutup."
"Oke."
"Hah? Oke apaan nih. Jangan-jangan lo ada maksud terselubung lagi." tuding Bara kepada Harin.
"Wah, Rin. Nggak boleh kaya gitu, Rin." Bara geleng-geleng kepala seolah heran dengan apa yang Harin lakukan. Padahal Bara sendiri juga tidak tahu maksud dari kata 'oke' yang terlontar dari bibir tipis Harin.
"Tapi saran gue lo jangan deket-deket dia, deh. Soalnya—"
Sibuk dengan kehebohannya, Bara sampai tidak sadar jika Harin sudah menghilangkan dari pandangannya. Gerakan perempuan itu terlalu cepat.
...🎃🎃🎃...
"Rin, barusan Pak Yudha telepon gue. Kalau potongan tulangnya Susi bakalan di serahkan ke keluarganya. Terus rencananya mau dikuburkan gitu." Ilham langsung memberikan kabar kepada Harin begitu Pak Yudha meneleponnya baru saja. Bahkan Ilham harus mengurungkan niatnya untuk pergi ke kantin.
"Sekarang?"
"Iya. Eh, eh Rin mau kemana?"
"Lobi!" seru Harin tanpa menoleh.
Ilham segera menyusul. Mengikuti Harin pergi ke lobi yang ternyata ingin meminta surat ijin.
"Kamu juga mau ijin? Bareng Harin?" Pak Feri beralih menatap Ilham. Cowok itu mengangguk tanpa pikir panjang.
Dan itu sukses membuat Harin terkejut. Sampai-sampai ia menatap Ilham tidak percaya. Ada apa dengan Ilham? Mengapa ia dengan cuma-cuma mau melibatkan dirinya dengan masalah Harin?
"Memangnya siapa yang meninggal?"
"Teman saya, Pak." jawab Harin.
Teman beda alam maksudnya.
"Ya udah, hati-hati di jalan. Jangan ngebut. Ingat kalian masih pakai seragam sekolah. Bapak nggak mau terima laporan kalau siswa siswi SMA Galaksi keciduk polisi gara-gara ugal-ugalan di jalanan."
"Baik, Pak." jawab Ilham.
Setelah itu keduanya berjalan ke parkiran. Ilham yang mendadak canggung dan Harin yang tidak terlalu peduli.
"Kita satu motor aja." tawar Ilham. "Tujuan kita sama, dari pada bawa motor sendiri mending bareng aja. Gue nggak akan ngebut." anak laki-laki itu berusaha meyakinkan Harin.
Setelah berpikir sejenak, Harin menerima tawaran itu. Hanya kali ini saja karena selanjutnya Harin tidak akan membiarkan Ilham maupun orang lain ikut dalam urusannya.
"Kita kemana dulu? Ke kantor polisi atau rumah Susi?"
"Pemakaman."
"Oke."
Ilham melajukan motornya dengan kecepatan sedang. Sesuai ucapannya jika lelaki itu tidak akan ngebut di jalanan.
"Lo tahu tempatnya, kan?" Harin sedikit mendekat kepada Ilham. Antisipasi jika Ilham tidak dengar karena jalanan cukup bising.
"Enggak. Tapi tadi Pak Yudha kasih alamat rumahnya Susi."
"Ya udah rumah Susi."
Lalu Ilham merogoh ponselnya di saku celana dan memberikan kepada Harin. "Buka chatnya Pak Yudha."
Harin menerima ponsel itu. Baru saja ingin bertanya passwordnya apa tapi ponsel Ilham sudah terbuka. Nampaknya lelaki itu sengaja tidak memasang password pada ponselnya.
Ya, apa bedanya dengan dirinya.
Sekitar satu jam kurang mencari rumah Susi akhirnya mereka tiba di depan pekarangan rumah bercat serba ungu itu.
Mereka langsung disambut Yudha dan keluarga Susi di depan rumah.
"Kok lama banget, Ham?" tanya Yudha.
"Iya, Pak. Tadi muter-muter, salah jalan beberapa kali." terang Ilham yang diangguki oleh Harin.
"Ya sudah langsung saja kita ke pemakaman." ujar Yudha kemudian semua mengangguk setuju.
...🎃🎃🎃...
"Ibu berterimakasih sama nak Harin dan nak Ilham yang sudah membantu Susi menyelesaikan urusannya di sini. Ibu sudah mengikhlaskan kepergian Susi. Ibu mau Susi pergi dengan tenang." jelas Mayang dengan mata yang berkaca-kaca.
Bagaimanapun kehilangan seorang putri jauh lebih menyakitkan dari apapun. Kalau saja Mayang bisa menukar nyawanya, maka ia akan melakukan itu.
"Tidak masalah, Bu. Kami senang bisa membantu Susi." jawab Ilham dengan sopan. Harin mengakui jika tata bicara Ilham yang begitu lembut dan lugu kepada Ibunya Susi patut diacungi jempol.
"Padahal sebelum pulang kerja Susi telepon ibu. Susi bilang kangen masakan ibu, kangen pengen dipeluk ibu. Pengen tidur dipangkuan ibu." isakan Mayang tidak bisa dibendung lagi mengingat hal itu.
"Ibu harus ikhlas, saya yakin Susi sedih melihat ibu terus menangis seperti ini."
Mayang mengusap air matanya. Benar yang dikatakan Ilham, dengan menangis, ia hanya akan memberatkan langkah putrinya.
"Nak Harin, boleh tidak ibu peluk kamu?"
Harin hanya mengangguk sekali. Masih dengan raut wajahnya yang datar, Harin mendekati Mayang.
Pelukan hangat langsung Harin rasakan. Seolah-olah dia ikut merasa sedih yang teramat dalam. Ikut merasakan sakitnya kehilangan seseorang yang paling berharga.
Tangan Harin terangkat, mengusap punggung wanita paruh baya itu beberapa kali.
"Sekali lagi ibu berterimakasih sudah membantu kami."
Setelah pelukan terlepas, Ilham pamit pulang karena hari semakin sore. Di tambah lagi cuaca mendung takutnya kehujanan di jalan.
Sampai motor yang ditumpangi Ilham dan Harin memasuki gerbang sekolah. Disambut tatapan dari banyak orang karena memang sudah jamnya pulang sekolah.
Keduanya berjalan ke dalam kelas untuk mengambil tas. Namun, entah mengapa Ilham merasa punggungnya sangat pegal. Seperti mengangkut beras 20 kilo.
Menyadari itu, Harin segera membuka suara. "Kenapa? Pegal punggungnya?"
Ilham menggeleng. "Gapapa, mungkin karena abis jalan jauh."
Jalan jauh apanya. Gendong Elise baru iya. Batin Harin.
"Ilham." lelaki berlesung pipi itu menghentikan aktifitasnya merapikan buku. Dipanggil Harin seperti itu membuat bulu kuduknya meremang. Jantungnya berdetak cepat. Tiba-tiba semilir angin berhembus menerpa kulit tangannya membuat Ilham merinding.
"Iya?"
"Elise suka sama lo."
..._0.0_...
Semoga kalian suka ^^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments