...Hai...
...Jam berapa kalian baca bagian ini?...
...Berdoa dulu sebelum baca :v...
.......
.......
.......
"Tadi pagi Ian bingung nyari handphone ada dimana. Sampai bawah kasur dia cari tapi nggak ketemu. Padahal cuma ada di meja. Tapi aku dudukin. Hihihi." Elise terkikik mengingat kejadian pagi tadi. Ketika Ian kebingungan mencari ponselnya yang sebenarnya ada di meja.
"Siapa suruh mindahin boneka aku yang ada di kamar Ian. Ya udah, handphonenya aku umpetin."
"Ian takut sama Nina." balas Harin melalui batinnya. Bisa dikata gila jika Harin menyahuti Elise seperti biasa.
Nina, boneka milik Harin saat masih kecil dulu. Bentuknya memang tidak menyeramkan, tetapi bagi Ian apapun yang sudah tersentuh atau sudah diklaim milik Elise semua jadi serba horor.
"Tapi Nina lebih takut sama pacarnya Ian yang kaya Anabelle."
"Serem. Kalau pakai tepung di wajah tebel banget. Mana dibibirnya ada cabai merah lagi. Hiii serem."
Sepanjang koridor Elise terus saja mengoceh. Dia adalah tipe anak yang cerewet, ceria, juga usil. Ya, meskipun yang sering kena usil Elise hanya Ian.
Sejak Harin sadar jika Elise bukan anak kecil pada umumnya, Harin selalu bertanya-tanya. Dari mana Elise? Siapa Elise? Ada perlu apa Elise? Dimana keluarga Elise?
Dulu waktu kecil, setiap Harin bertanya seperti itu kepada Elise. Gadis itu selalu mengalihkan pembicaraan. Entah itu mengajak main, entah dia mau pergi atau dia beralasan lupa.
Tapi lama kelamaan Elise mau bercerita. Bahkan, Elise pernah menunjukkan rupa aslinya ketika gadis itu meninggal.
"Aku nggak suka tahu sama kakak yang ada di pohon itu." tunjuk Elise pada sosok perempuan berwajah datar di bawah pohon beringin pinggir lapangan upacara.
"Dia galak, tapi kadang nangis-nangis. Kayaknya ditinggal nikah, deh." adu Elise.
"Kamu diam aja. Jangan ganggu." ingat Harin.
Meskipun hantu, terkadang Harin lupa jika Elise masih anak-anak. Dia masih polos, tahunya hanya main dan bersenang-senang.
Terakhir kali saat Elise terpisah dengan Harin seharian, gadis itu ternyata dibawa kuntilanak perempatan komplek.
Beruntung Harin ketemu Asep. Hantu cowok yang kadang datang kepada Harin saat butuh cerita. Asep mengatakan jika Elise lagi digendong sama kunti.
Kalang kabut Harin maghrib-maghrib ngajak Ian untuk menjemput Elise.
Saat itu Ian bilang. "Gue iket juga tuh bocah pecicilan amat."
"Aku mau jalan-jalan dulu. Nanti kalau butuh aku panggil aja."
Belum sempat Harin menjawab, Elise sudah lebih dulu berlari menjauh. Tidak tahu mau kemana.
Sesampainya di kelas Harin segera meletakkan tasnya ke meja. Kalau kalian pikir Harin akan terbebas dari makhluk ghaib kalian salah besar. Karena sekarang ada 3 hantu yang mengerubungi Harin.
"Rin, ini hantu baru yang minggu kemarin meninggal." kata Asep.
"Rin, bantu dia mau cari tulangnya masih ada yang ketinggal." Yuli ikut menimpali.
"Kalau nggak bilangin aja ke keluarganya biar mereka yang cariin."
"Dimana lokasinya?" tanya Asep.
"Di rumput-rumput." sahut si cewek yang satunya.
"Diam!" bentak Harin.
Seketika seisi kelas menoleh kepada Harin. Tentu saja dengan tatapan yang sulit diartikan.
Harin tidak merasa malu atau sebagainya. Gadis itu malah menatap tajam orang-orang yang saat ini berbisik-bisik. Membuat nyali mereka seketika menciut.
Kalau sudah seperti ini Asep dan Yuli memilih kabur. Hawa tidak enak langsung menyergap ke sekitarnya.
Dunia Harin memang lebih berisik dan lebih sibuk dari pada yang lainnya. Terkadang malah jauh lebih menyeramkan dan menjijikkan karena harus melihat makhluk-makhluk tak kasat mata.
Harin tidak pernah mau menutup mata batinnya karena Harin mau Elise. Temannya yang begitu setia.
...__0.0__...
Hari berikutnya masih sama saja. Seputar Elise dan hantu-hantu lainnya. Tidak ada yang menarik.
Tapi kali ini ada yang sedikit berbeda. Elise, gadis cilik yang Harin kita begitu polos berlari kencang kearahnya.
"Ada cowok ganteng." Kata Elise heboh.
"Anak baru." katanya lagi saat tak kunjung mendapat respon dari Harin.
"Terus?" tanya Harin.
"Elise senang. Yeeee!" Elise melompat-lompat seperti anak kecil yang baru saja mendapat hadiah di hari ulang tahunnya.
"Elise mau gulali." pekik Elis riang. Setiap kali merasa senang, Elise selalu meminta gulali.
"Minta sama Ian." ucap Harin kemudian berlalu.
"Ian terus Ian terus." gerutu Elise.
Ya karena mau berteriak dan merengek seperti apapun Ian tidak akan pernah membelikannya. Karena sampai saat ini Ian belum pernah melihat Elise secara langsung.
Karena Ian berbeda dengan Harin.
...__0.0__...
"Harin, ini Bara nitip buku catatan kamu." Echa—teman sekelas Harin—menyodorkan buku tulis kepada Harin.
Dua hari lalu, Bara anak kelas sebelah sempat meminjam buku catatan bahasa Indonesia kepadanya. Padahal kalau dipikir, teman sekelasnya pasti punya. Kenapa harus repot-repot nyeberang kelas?
"Makasih." balas Harin seadanya. Ia tidak suka basa-basi.
Echa hanya tersenyum. Memaklumi Harin karena dia tahu Harin itu seperti apa. Ia juga tidak mempermasalahkan nada bicara Harin yang selalu ketus.
"Oh, iya. Tadi Bara minta kamu buka chat dia." ucap Echa.
"Iya. Nanti gue buka."
Setelah itu Echa kembali ke tempat duduknya nya berada di belakang bangku Harin.
Sementara Harin, gadis itu memilih membuka ponsel. Lebih tepatnya membuka room chatnya dengan Bara.
Bara
|Catetan lo lengkap. Kapan-kapan gue pinjem lagi
07.33
^^^Iya, sama-sama|^^^
^^^08.14^^^
|Hehehe
|Makasih
08.14
Tak lama kemudian Bu Hayu memasuki kelas. Bersama seorang laki-laki yang mungkin dimaksud Elise tadi pagi.
"Anak-anak kalian kedatangan teman baru dari Jogja." ucap Bu Hayu.
Seketika kelas menjadi gaduh. Terutama para perempuan. Siapa yang tidak senyum-senyum jika mendapat teman sekelas yang begitu tampan.
"Silahkan perkenalan."
"Nama saya Ilham Marselino Biasa dipanggil Ilham. Mohon bantuannya."
"Baik Ilham. Kamu boleh duduk di situ." Bu Hayu menunjuk bangku kosong seberang meja Harin.
"Terimakasih, Bu." ucap Ilham yang dibalas anggukan dari Bu Hayu.
"Oke anak-anak kita mulai pembelajaran pagi ini."
Pelajaran berlangsung dan Harin sama sekali tidak tertarik. Kalau boleh milih, ia lebih memilih mendengar cerita Elise.
Tapi mengingat ia bukan akan jenius seketika Harin mengerjabkan matanya beberapa kali, mencoba untuk fokus.
"Jadinya gimana? Kamu mau kan bantu cari tulangnya?" Asep tiba-tiba sudah muncul di samping Harin.
"Enggak, Sep. Gue sibuk."
"Kasihan dia kejebak disini karena tulangnya belum ketemu."
"Bantu orang itu perbuatan baik, Rin."
"Tapi dia bukan orang lagi."
"Harin,"
Harin berdecak sebal. Membuat Ilham yang mendengar itu menoleh. Pandangan keduanya bertemu. Ilham tersenyum kepada Harin sebagai bentuk sapaannya kepada teman barunya itu.
Tapi Harin tetaplah Harin. Jangankan tersenyum barang sedetik. Perempuan yang rambutnya dibiarkan tergerai itu malah melengos.
Yang mana malah membuat Ilham penasaran. Apakah dia terlihat menyeramkan? Atau menyebalkan? Kenapa teman barunya tidak tersenyum juga saat ia tersenyum?
..._0.0_...
Jangan lupa komentar ya gais. Aku suka kalian spam :3
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments