Harin terbangun ketika jam menunjukkan pukul dua malam. Penyebabnya apalagi jika bukan suara tersedu-sedu yang asalnya entah dari mana. Sudah beberapa hari ini suara itu mengganggu Harin, tetapi ia tidak pernah melihat wujudnya seperti apa. Dia pandai bersembunyi.
Menyingkap selimut, Harin berjalan keluar kamar. Mengitari isi rumah. Dimulai dari kamar Ian yang letaknya di depan kamar Harin. Tapi suaranya tidak begitu terdengar.
Harin berpindah turun ke ruang tamu, depan kamar orang tuanya dan kamar mandi bawah. Nihil, suaranya tidak ada.
Beralih ke dapur, samar-samar suaranya mulai terdengar lagi.
Hiks hu hu hu
Semakin mendekat, suaranya semakin menjauh. Jujur, Harin paling tidak bisa untuk mencari arah sumber suara.
Sampai ia merasakan ujung bajunya ditarik-tarik. Harin sempat terkejut, jantung berdegup kencang. Tapi tak berlangsung lama ketika suara Elise mulai terdengar.
"Harin," Elise bersembunyi dibelakang Harin. Gadis kecil itu terlihat sangat ketakutan. Wajah cerianya tergantikan wajah penuh guratan cemas dan gelisah.
"Kenapa?" tanya Harin khawatir. Tidak biasanya Elise seperti ini.
"Ada orang barat. Elise takut." bisik Elise.
Ya, ketakutan terbesar Elise adalah hantu bule atau hantu-hantu orang barat. Padahal, Elise juga termasuk orang barat. Tapi dia takut, terlebih masa lalunya yang begitu mengerikan mengenai orang-orang barat.
"Dimana?" Tanya Harin penasaran.
"Samping rumah,"
Harin segera menuju jendela yang mengarah ke halaman samping. Membuka sedikit gordennya dan mengintip diam-diam.
Perempuan yang begitu cantik. Mengenakan gaun pernikahan lengkap berwarna putih.
Tahu jika sedang diperhatikan sosok perempuan itu menoleh. Ia tersenyum kepada Harin dan Elise. Namun, itu terlihat bukan seperti senyuman, melainkan sebuah seringaian.
Elise semakin memegang erat ujung baju Harin. Keduanya seperti ibu dan anak yang sedang bersembunyi dari kejaran penjahat.
"Ayo, Harin."
"Iya iya."
Harin membawa Elise ke dalam kamarnya. Gadis cilik itu langsung melompat ke tempat tidur. Bersembunyi di antara tumpukan boneka Harin.
"Jangan lupa kunci pintu."
"Lampunya jangan dimatikan. Nanti orang barat itu masuk rumah."
Harin memutar bola matanya malas mendengar ocehan Elise. "Dia gak bisa masuk rumah. Kamu jangan rewel."
Elise mengerucutkan bibirnya, khas anak kecil. Kali ini Elise hanya diam saja, ia tahu jika Harin mengantuk. Maka dari itu ia membiarkan Harin tertidur, lalu mematikan lampu saat Harin benar-benar terlelap.
"Elise teman Harin... Selamanya."
...🎃🎃🎃...
Harin baru keluar dari kamar saat orang rumah sibuk dengan kegiatannya masing-masing.
"Sayang dasi aku tadi kamu taruh dimana?" Arya berteriak dari kamar.
"Di meja rias aku mas." Ayudia yang sedang memasak di dapur pun menyahut.
"Ma, ma, jaket aku yang warna hitam dimana, ya?"
"Lemari nomor 2 kak."
Tak lama kemudian Ayudia datang ke meja makan sembari membawa nasi goreng yang sudah ia buat tadi.
"Selamat pagi sayangnya mama." Ayudia mencium kening Harin.
"Pagi, Ma."
"Gimana tidurnya? Nyenyak?"
"Nyenyak kok, Ma."
Ayudia tersenyum untuk menanggapi itu. Sejak tahu jika Harin memiliki kemampuan melihat makhluk astral, Ayudia selalu khawatir Harin tidak bisa tidur dengan nyenyak.
Pernah beberapa kali Ayudia memergoki Harin keluar rumah dini hari hanya untuk menghampiri makhluk-makhluk astral yang mengganggu tidurnya.
"Ikat rambutnya Harin." suara Ian menggema ke seluruh ruangan.
Cowok dengan jaket warna hitam itu segera mengambil tempat duduk.
Harin yang sedang mengolesi roti dengan selai coklat pun berhenti sejenak. Mengambil ikat rambut di tas dan mengikat rambutnya asal.
"Mau diantar apa ke sekolah sendiri, Rin?" tanya Arya yang baru tiba di ruang makan.
"Berangkat sendiri aja, Pa."
"Yakin?"
"Yakin, Pa."
Seakan teringat sesuatu, Ian menatap Harin serius. "Semalem Elise nangis ya? Kenapa?"
"Elise nangis? Sejak kapan Elise tahu caranya nangis?" sahut Arya.
Keluarga Harin memang sudah tahu lama hal yang terjadi pada Harin. Pernah mereka mencoba untuk menutup mata batin Harin karena takut mengganggu psikis anak perempuan itu namun usahanya sia-sia.
Malahan orang yang disuruh menutup mata batin Harin sempat bilang jika hal itu tidak masalah selagi anaknya bisa mengendalikan diri. Lagi pula Harin mendapatkan itu sejak lahir, keturunan dari kakeknya.
"Bukan Elise, tapi orang barat."
"Baru meninggal apa gimana?" tanya Ian kepo.
"Baru sampai sini. Kalau meninggalnya udah lama."
"Kok lo tahu, dek?"
"Semalam Harin tanyain."
Tidak heran lagi sih Ian. Sudah sering Harin berkeliaran tanpa raga. Yang Ian takutkan hanyalah ketika Harin pergi dan tidak bisa kembali.
"Terus?"
"Dianya nggak mau pergi, jadinya Harin taruh di pohon mangga."
"Besok Papa nanam banyak pohon lagi kalau gitu." ujar Arya. Hampir semua pohon di pekarangan rumahnya sudah ada yang menempati.
Kalau seperti ini, Arya merasa seperti punya banyak peliharaan.
"Mama sampai heran, emangnya nggak bisa apa mereka kamu suruh pergi. Mama tuh takut di rumah sendirian kalau gini, Rin."
"Mereka nggak bakalan ganggu kok Ma. Nggak bisa masuk rumah juga." jelas Harin meyakinkan Ayudia.
"Ya jangan sampai lah. Cukup Elise aja yang bisa masuk rumah. Si Asep Asep itu juga jangan dibolehin." omel Ayudia.
"Iya."
"Ih, padahal Asep suka keliling rumah, terus mainan kulkas. Katanya Asep adem." adu Elise yang sejak tadi berdiri di samping Harin.
"Diem. Jangan buat ulah." batin Harin.
"Iya."
Setelah selesai sarapan, Harin pamit berangkat terlebih dahulu. Tidak lupa bekal yang sudah mamanya siapkan ia masukkan ke dalam tas.
...🎃🎃🎃...
Sesampainya di kelas Harin sudah disiguhi senyum manis milik Ilham. Yang mana membuat kedua pipi lelaki itu muncul kawah kecil di setiap sisinya.
Ilham mengulurkan tangannya di depan Harin. Bermaksud mengajak kenalan karena sejak kemarin hanya Harin yang belum benar-benar ia sapa.
"Gue Ilham." ucapnya pertama kali.
"Udah tau." balas Harin singkat. Tidak bersahabat sama sekali.
Namun Ilham masih mencoba memaklumi. Tidak semua orang ramah kepada orang lain. Lagi pula Ilham masih anak baru.
"Kalau nama lo siapa?"
Sejutek dan secuek-secueknya Harin, ia tidak akan mengabaikan sapaan orang lain. Maka, gadis itu menerima uluran tangan Ilham. Meskipun hanya sebentar tetapi itu cukup membuat Ilham lega. Dia tidak diabaikan.
"Harin."
Keduanya kembali ke tempat duduk masing-masing. Belum semenit, Harin membuka suara lagi. Telinganya terasa berdengung sangat keras.
"Balik?"
"Ha?"
"Jogja."
"Gue? Balik ke Jogja?" tanya Ilham yang dibalas anggukan dari Harin.
Ilham kebingungan sendiri. Baru seminggu di Jakarta, masa sudah balik ke Jogja. Padahal rencananya ia mau ke Jogja saat libur semester.
Harin mengangkat kertas dengan gemetar. Rambutnya yang tergerai menjuntai ke depan.
"Mati?" Ilham membaca tulisan jelek di kertas itu. "Siapa yang mati? Gue? Atau siapa?"
..._0.0_...
Kalau kalian jadi Harin, kira-kira akan diam saja atau mencari sumber suara itu?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments