MISI PERTAMA

"Kenapa kakak tidak pulang? Di mana rumah kakak? Apakah ibunya kakak tidak mencari?" pertanyaan yang beberapa hari ini mengganggu Harin akhirnya bisa ia utarakan.

"Rumahku adalah kamu, jadi aku hanya butuh kamu. Karena kamu tempat aku pulang." jawab Elise disertai senyum manis dari bibirnya.

Meskipun bingung, Harin tetap mengangguk. Bocah berusia 5 tahun itu tidak paham apa yang dimaksud Elise. Kenapa dia adalah rumah? Apakah karena Harin sangat gembul? Tapi, gembulnya Harin tidak sebesar rumahnya.

"Kakak tidak di marah-marah ibunya kakak?"

Elise menggeleng lucu. "Tidak kok."

"Harin, ayo masuk!" seruan Ayudia membuat Harin menoleh sekilas. Detik selanjutnya ia beralih menatap Elise lagi. Saat itu Harin sangat mengagumi sosok Elise. Gadis cantik bergaun putih yang menjadi teman pertamanya.

"Kakak ayo masuk," ajak Harin. Namun Elise menggeleng. Membuat Harin berpikir kembali sebelum akhirnya bertanya. "Kenapa? Kata mama kalau tidak masuk rumah bahaya. Nanti ada setan. Hiii."

"Aku tunggu di sini saja." jawabnya sambil senyum.

"Harin," panggil Ayudia lagi. Perempuan itu segera menghampiri Harin yang sedang bermain di halaman rumah.

"Ma, kenapa kakak tidak mau masuk rumah?" pertanyaan polos itu berhasil membuat Ayudia terkejut.

Ayudia merinding seketika. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri. Nihil, tidak ada orang lain selain dirinya dan Harin.

Tak ingin membuat Harin takut, Ayudia tersenyum dan ikut berjongkok. "Kakak siapa sayang?"

"Ini, Ma, kakak El." Harin menunjuk sampingnya yang kosong.

Ayudia meneguk ludahnya susah payah. "Kita masuk, ya, besok lagi mainnya sama kakak. Kakak capek."

"Kakak disini dingin, sudah mau malam. Ayo masuk, kita main di rumah. Aku punya banyak boneka."

Namun Elise tetap menggeleng.

Segera Ayudia membawa Harin ke dalam gendongannya. Buru-buru masuk rumah dan mengunci pintu.

Sementara Elise tidak beranjak. Gadis kecil itu duduk sendirian di halaman yang sunyi. Memandang kepergian Harin dan mamanya ke dalam rumah.

Mendadak Elise ingin punya ibu juga seperti Harin.

"Harin, aku mau ibu seperti mamamu."

...🎃🎃🎃...

"Rin, tahu dari mana kalau kakek gue bakalan meninggal?"

Entah itu sudah pertanyaan yang keberapa kali Ilham lontarkan untuk Harin.

Sejak kejadian di kelas seminggu lalu Ilham semakin penasaran dengan Harin. Meskipun selalu diabaikan dan dianggap angin, Ilham tidak juga jera.

Harin tidak menyahut. Gadis itu sibuk memasukkan alat tulisnya ke dalam tas.

"Rin, jawab."

Harin berhenti sejenak lalu menoleh. Dengan tatapan dingin milik perempuan itu. "Kepo."

Detik selanjutnya Harin keluar kelas. Disusul Ilham dibelakangnya mengikuti Harin sampai parkiran. Jika dilihat, mereka seperti sepasang kekasih yang sedang merajuk. Harin yang terlalu tidak peduli sementara Ilham yang terlalu ingin tahu.

Bahkan sampai Harin menjalankan motornya dan berhenti tak jauh dari sekolah pun Ilham masih mengikuti.

"Lo ngapain berhenti di sini?" tanya Ilham.

"Nyari sesuatu." Harin berucap dengan dingin. Matanya menelisik diantara rerumputan pinggir jalan.

"Nyari apa? Biar gue bantu." tawar Ilham. Mencoba peruntungan lain. Mungkin jika ia mau membantu Harin, perempuan itu juga mau memberi tahunya.

"Tulang manusia."

"Oh tulang." ujar Ilham santai. "Eh, tulang?"

"Rin, jangan bilang lo—"

"Iya gue indigo, kenapa? Takut?"

Ilham mematung di tempat. Tidak tahu harus merespon seperti apa. Di Jogja dulu ia juga punya teman yang indigo, tapi hanya sebatas bisa melihat, tanpa bisa berinteraksi atau sebagainya.

Lalu sekarang, ia bertemu dengan anak indigo lagi yang lebih indigo dari sebelumnya.

Ilham jadi memikirkan tentang kakeknya yang meninggal beberapa hari lalu. Jadi, Harin tahu kakeknya akan meninggal karena dia anak indigo.

Kalau seperti itu berarti Harin tahu tentang kematian seseorang?

Hah?

Harin tersenyum miring. Selalu saja orang lain bereaksi seperti itu saat tahu dia anak indigo. Salah Harin dimana? Lagi pula Harin tidak pernah meminta seperti ini.

Kenapa dia selalu dipandang berbeda? Kenapa orang lain tidak mau mengerti.

"Lo bisa pergi." kata Harin masih saja datar, tapi tidak sedingin tadi.

Seakan tersadar, Ilham buru-buru menggeleng. Ia sudah bilang ingin membantu Harin dan seorang laki-laki tidak bisa menarik kata-katanya begitu saja.

"Gue bantu."

"Ini bukan urusan lo." tolak Harin. Sejak awal, ini adalah urusannya dan Ilham tidak ada sangkut pautnya sama sekali.

"Tetap gue bantu, Harin."

"Terserah."

Keduanya mulai mencari-cari potongan tulang itu. Sesekali Ilham mencuri pandang ke arah Harin. Wajah datar gadis itu masih saja terlihat.

"Asep, dimana?" batin Harin bertanya pada Asep.

Hantu cowok itu menggeleng kemudian beralih kepada Susi. "Dimana Sus?"

"Aku enggak tahu. Tapi aku yakin banget di sini."

Harin menghela napas. Bagaimana bisa ketemu jika yang punya saja tidak tahu letak pastinya ada di mana.

"Ngomong-ngomong, tulang yang lo maksud itu tulang apa, Rin?"

"Jari kelingking. Tapi cuma pucuknya doang."

Ilham hanya manggut-manggut. Kalau boleh jujur Ilham agak merinding. Masalahnya ini dia lagi mencari tulang manusia, bukan sekedar tulang ayam.

Tak lama kemudian seorang polisi yang kebetulan melintas di jalan itu berhenti dan menghampiri Harin.

"Selamat sore adek. Saya dari Polsek Sayangan. Ini lokasi kecelakaan dua Minggu lalu, ada yang perlu saya bantu?"

Lagi, Harin menghela napas kembali. Bagaimana ia akan menjelaskan kepada polisi di depannya itu jika dia sedang mencari tulang. Bisa dikata gila dia.

"Kita sedang mencari tulang, Pak." jawab Ilham terlampau jujur.

Tahan Harin untuk tidak menimpuk Ilham sekarang juga.

Polisi yang diketahui bernama Yudha itu mengerutkan keningnya. Tidak paham tulang yang dimaksud pemuda itu seperti apa.

"Jadi begini, Pak. Sebelumnya perkenalkan saya Harin. Seperti yang bapak katakan jika disini adalah lokasi kecelakaan dua minggu lalu. Dan seperti yang bapak ketahui jika ada korban seorang perempuan yang meninggal dunia."

Ilham berdecak kagum mendengar ucapan Harin yang begitu panjang. Selama kenal, baru kali ini Ilham mendengar Harin berbicara panjang lebar.

"Bapak, boleh menganggap saya halusinasi atau apalah itu. Tapi, saya ini sebenarnya mendapat informasi jika ada sebagian kecil tulang korban tersebut yang terpisah dari anggota tubuhnya. Tulang kelingking." Harin menunjukkan kelingkingnya sendiri. Berusaha meyakinkan Pak Yudha meskipun Harin tidak yakin.

Polisi selalu bertindak sesuai fakta dan bukti. Lalu apalah Harin yang mengatakan jika ia mendapat informasi, apalagi itu tidak jelas dari mana. Tidak mungkin juga Harin mengatakan jika ia indigo. Semakin rumit.

"Maaf dek, bukannya meragukan kamu. Tapi kami sudah melakukan tugas kami semaksimal mungkin. Apalagi kamu bilang jika kamu mendapatkan informasi. Kalau boleh tahu, informasi dari mana?"

Ilham yang melihat Harin terpojok segera mengambil sikap. Ia mendekati Yudha kemudian berujar pelan. "Pak, boleh saya bicara sebentar dengan bapak."

"Oh tentu." balas Yudha.

Ilham segera memberi kode pada Harin untuk melanjutkan misinya selagi ia menahan Yudha.

Setelah Ilham membawa Yudha sedikit menjauh, Harin mulai mencari lagi. Tidak peduli jika orang lewat menganggap Harin kurang kerjaan.

"Harin, Harin. Ketemu!" pekikan nyaring dari Susi membuat Harin menoleh. Bahkan Elise yang sedang duduk di motor Ilham segera berlari mendekat.

"Di sini." kata Susi lagi.

Demi apapun Harin ngeri sendiri melihat itu. Ia sampai mengerutkan keningnya.

Harin bergegas menghampiri Yudha dan Ilham. Entah apa yang Ilham katakan sehingga Yudha terlihat sangat mempercayai seperti itu.

"Pak, pak." Harin menunjuk sisi dimana tulang Susi berada. "Ketemu."

"Ayo saya tunjukkan."

Mau tak mau Yudha mengikuti Harin untuk memeriksa kebenarannya. Dilihatnya seksama, kemudian Yudha merogoh saku celananya. Mengambil ponsel dan menelpon seseorang.

Jika diperhatikan dari gerak geriknya, Yudha sedang menelepon rekannya.

"Mana sih Rin?" tanya Ilham penasaran.

"Lo jangan lihat." larang Harin.

Menyadari raut wajah Ilham yang berubah Harin berucap lagi. "Nanti lo nggak doyan makan."

Ilham hanya menurut. Mungkin benar apa yang Harin katakan. Lebih baik ia tidak melihat.

Tak sampai 15 menit rekan Yudha tiba. Ada 4 orang. Dan Harin sendiri juga tidak mengerti mengapa Yudha langsung hormat kepada salah satu polisi itu. Mungkin atasan.

Ilham mengajak Harin sedikit menyingkir saat para polisi itu melakukan tugasnya.

Saat ini Ilham melihat sisi lain dari seorang Harin Fatma Yudhistira. Dibalik sifat Harin yang begitu cuek dan judes tersimpan rasa peduli yang begitu besar.

"Dek, bapak minta kalian berdua ikut ke kantor untuk menjelaskan kronologinya. Tulang ini biar saya yang mengurus." ujar polisi yang Harin tahu bernama Diki. Melirik name tag yang dikenakan.

"Baik, Pak."

..._0.0_...

See u next chap ^^

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!