Bab 5. Dia Terlihat Dingin

"Kembalikan anakku." desis Keandra dingin.

"Anakmu? Kau sudah tidak waras?" balas Davina.

"Aku tahu kau tidak menggugurkannya."

Mata Davina bergetar, tapi dia berusaha tetap mempertahankan rautnya. Dia menatap tajam Keandra.

"Apa yang kau bicarakan? Aku sudah menggugurkannya!" bohong Davina.

Maafkan mama, Dave. batin Davina merasa bersalah.

"Jangan membohongiku. Aku tahu anak kecil disampingmu adalah anakku. Dia mirip denganku." tukas Keandra.

Davina berdecih sinis, "Matamu buta? Meski pun dia benar anakmu, dia tidak akan pernah mirip dengan ayah sepertimu!" seru Davina sambil menunjuk Keandra penuh hina.

Keandra menahan emosinya yang sudah ke ubun-ubun. "Berikan saja dia padaku selagi aku meminta baik-baik, dan aku yang akan merawatnya." ucapnya tenang.

"Apa? Berikan? Siapa yang harus kuberikan?" kilah Davina.

"Anakku, Davina. Aku tahu dia anakku!" desis Keandra sudah mulai kehilangan kontrol.

Davina melipat kedua tangannya di depan dada, "Kau sepertinya mengalami ketulian. Sudah kubilang, dia bukan anakmu. Aku sudah menggugurkannya." tekan Davina.

Keandra memajukan langkahnya dengan tatapan mengintimidasi dan itu membuat Davina mulai memundurkan langkahnya. Tapi Keandra terus melangkah dan akhirnya menyudutkan Davina ke dinding di sebelah pintu besar itu. Tangannya menyentuh dinding dan membuat Davina tidak bisa kemana-mana.

"A-apa yang kau lakukan?" tanya Davina panik.

"Kalau dia bukan anakku, maka anak siapa?" desis Keandra menatap Davina dengan matanya yang sehitam jelaga.

"I-itu..." Davina kehilangan kata-katanya. Dia tidak bisa menjawab di posisi seperti ini.

"Kau tidak bisa menjawab?"

"Dia...anakku dan suamiku." tandas Davina cepat. Sial, dia mengatakan itu tanpa berfikir.

Keandra mengangkat satu alisnya, "Dia anakmu dengan suamimu tapi wajahnya mirip denganku?"

"Sudah kubilang dia tidak mirip denganmu. Dia sungguh tidak mirip sedikitpun. Karena dia bukan anakmu." tekan Davina.

"Benarkah?" tanyanya. Davina langsung mengangguk.

"Tapi aku tidak percaya." tandas Keandra.

"Terserah kau mau percaya atau tidak. Aku tidak peduli." balas Davina dingin. Dia menyentak tangan Keandra keras setelah itu keluar dari ruangan itu.

Blam

Keandra tak mengejarnya. Dia terdiam dengan penuh pemikiran.

"Kalau kau tidak mau memberitahunya, maka aku yang akan mencari tahu sendiri." tandasnya.

***

Davina pergi dari rumah Keandra dengan amat emosi. Dia mengambil kasar tasnya yang ditaruh di atas meja ruang tamu sebelum pergi meninggalkan rumah Keandra.

Para penjaga yang ada diluar berusaha menghentikan Davina yang pergi.

"Minggir, lepaskan aku!" seru Davina kesal. Tapi mereka tak bergeming.

"Biarkan dia pergi." titah Keandra dari lantai atas.

Davina mendongak, menatap Keandra dengan kesal. Para penjaga mengangguk, mereka membiarkan Davina pergi. Davina pun pergi dengan hati bergemuruh.

***

Davina naik taksi untuk kembali ke supermarket mengambil mobil Sindi yang dia pinjam. Setelah itu, Davina mengendarai mobil menuju kediaman keluarga Sindi.

Tak lama, Davina sampai di rumah Sindi saat malam menjelang. Perempuan dua puluh lima tahun itu mengetuk pintu rumah.

Tak lama, pembantu Sindi yang dikenal dengan nama Bi Sari datang membuka pintu.

"Eh, mbak Davina toh. Masuk mbak." ucap Bi Sari ramah.

Davina tersenyum, "Terima kasih Bi." balasnya. Setelah itu masuk ke rumah diikuti Bi Sari yang menutup pintu.

"Langsung ke ruang keluarga saja mbak. Dave bersama ibu bapak." ucap Bi Sari. Ibu dan bapak yang dimaksud adalah orang tua Sindi.

"Makasih ya bi." ucap Davina sekali lagi. Bi Sari mengangguk. Dia pun pergi meninggalkan Davina untuk kembali ke dapur.

Davina langsung naik ke lantai dua tempat ruang keluarga yang dimaksud Bi Sari. Dan begitu sampai di atas, Davina langsung mendapati Dave dengan orang tua Sindi. Mereka tampak nyaman duduk lesehan di atas karpet sambil menonton kartun.

"Selamat malam, tante, om." sapa Davina sopan.

"Eh, Davina. Baru pulang, nak?" sambut Devi, mama Sindi dengan ramah.

"Iya tante, tadi ada sedikit masalah jadi terlambat." sahut Davina sambil memangku Dave.

"Masalah apa? Perlu kami bantu tidak?" tanya Rafa, papa Sindi nampak khawatir.

Davina tersenyum sembari menggeleng. "Hanya masalah kecil, saya sudah menyelesaikannya." ucapnya. Davina merasa bersyukur atas perhatian dan sikap baik kedua orang tua Sindi itu.

"Syukurlah, kalau begitu. Kalau ada apa-apa atau perlu bantuan, beritahukan pada kami ya. Jangan memendamnya sendiri." ucap Devi.

Kenanga mengangguk, "Terima kasih tante." ucapnya tulus.

"Eh Davi, kau sudah sampai?" tegur Sindi yang baru keluar dari kamarnya. Aroma sabun menguar dari tubuh gadis itu. Bisa dipastikan Sindi baru saja selesai mandi.

"Iya. Oh ya, terima kasih om, tante, Sindi, sudah mengizinkan Dave disini sebentar." ucap Davina.

"Sama-sama. Tidak perlu sungkan. Tante senang kalau Dave ada disini, serasa bermain dengan cucu sendiri." balas Devi sembari mengusap surai Dave.

"Iya kayak sama siapa saja. Nanti kedepannya kalau kamu lagi kerja, titipkan saja Dave disini sepulang sekolah, ya kan ma?"

"Iya, benar. Kalau perlu, tante bisa menjemput Dave."

"Jangan tante. Itu merepotkan sekali." tukas Davina sungkan.

"Tidak apa-apa. Justru tante senang kalau bisa melakukannya. Tante sudah dari lama ingin menimang cucu tapi Sindi malah hobi pacaran dan tidak menikah-nikah." gerutunya menatap Sindi sebal.

"Loh, kok jadi salah aku?" balas Sindi tak terima.

"Iya, andai kamu cepat menikah maka mamamu tidak akan seperti cacing kepanasan karena iri melihat teman arisannya bawa-bawa cucunya." timpal Rafa.

"Mama ingin cucu hanya untuk dibawa ke arisan? Yang benar saja ma. Kalau mau dibawa, tuh Dave saja. Dia tampan dan cerdas, mama bangga-banggakan Dave ke teman-teman mama."

"Boleh Davina?" tanya Devi penuh harap.

Davina meringis ragu, "Aku tidak terlalu yakin karena Dave bukan orang yang aktif seperti kebanyakan anak seusianya. Dia cukup pendiam."

Devi mendesah pelan sesaat. "Tidak apa-apa. Tante bawa saja dia kesana, siapa tahu karena banyak bersosialisasi, dia bisa lebih terbuka, benar kan Dave?" tanyanya menatap mata kecil Dave penuh harap.

Tapi Dave hanya menggeleng pelan tidak mau. Air muka Devi seketika keruh.

"Oh ya omong-omong bagaimana dengan penawaran temanku? Kau jadi kan menempatkan Dave ke SD Pelangi?" celetuk Sindi.

"Aku belum terlalu memikirkannya. Tapi aoa tidak terlalu membebani Dave kalau dia sudah masuk SD di usianya yang baru lima tahun?" ucap Davina khawatir.

"Jangan khawatir. Aku yakin Dave bisa. Lagipula otaknya sudah berkembang sangat pesat dibanding anak seusianya. Dia bahkan sudah bisa membaca dan menulis. Aku bahkan pernah menyaksikan sendiri dia menghitung angka. Otak jeniusnya terlalu disayangkan kalau hanya masuk TK." papar Sindi.

"Sindi benar, Davina. Jarang bisa menemukan anak secerdas dan seberbakat Dave. Dia sudah pandai melukis di usia muda, bakat yang menurun dari mamanya. Dia juga pandai dalam bidang lainnya. Kenapa kita tidak mendukung potensinya dengan fasilitas yang lebih memadai dan pas?" timpal Devi.

"Om juga setuju, meskipun Dave menjadi anak akselerasi, dia pasti akan mengikuti pelajaran dengan baik." tambah Rafa.

Davina terdiam, dia cukup teryakinkan dengan argumen Sindi dan kedua orang tuanya. Lalu dia menatap Dave.

"Aku bisa saja memutuskan tapi yang akan bersekolah adalah Dave. Jadi biarkan Dave yang memutuskan." ucap Davina menyerahkan keputusannya pada sang anak.

"Bagaimana Dave? Kamu mau bersekolah disana? SD Pelangi adalah sekolah yang sangat luar biasa. Kamu akan bertemu anak-anak yang sama sepertimu. Disana ada yang pandai menyanyi, menari dan masih banyak lagi. Bakat melukismu juga akan ditunjang oleh berbagai fasitas disana. Jadi kamu tidak hanya belajar tapi juga mengembangkan minat bakatmu." jelas Sindi.

Dave menganggukan kepala setuju.

"Benarkah?" seru Sindi senang.

"Kamu yakin, nak?" tanya Davina masih cemas.

Dave kembali mengangguk.

"Tenang saja, Davi. Disana ada kak El, calon bosmu. Aku akan menitipkannya padanya. Lagipula Dave pasti akan baik-baik saja." ucap Sindi menenangkan.

"Pas Sindi masuk sekolah pertama kali, tante juga masih cemas. Khawatir kalau Sindi tidak bisa beradaptasi dengan baik tapi lama kelamaan Sindi nyaman dengan sekolah dan teman-temannya. Ingat, pengalaman adalah guru terbaik." timpal Devi.

Davina akhirnya mengangguk setelah berfikir lama.

"Kalau begitu, besok aku akan mengurus pendaftarannya."

"Kalau soal itu tenang saja, Kak El bilang kalau kamu setuju, dia akan langsung memproses pendaftaran masuk Dave. Jadi tidak perlu menunggu waktu lama bagi Dave untuk bisa bersekolah. Kita hanya perlu menunggu saja."

"Dia terlalu baik, aku jadi tidak enak."

"Kalau kamu merasa seperti itu, bagaimana kalau kau mulai kerja besok?" tanya Sindi penuh harap.

Davina mengangguk, "Baiklah, aku mulai kerja besok."

"Yeay! Terima kasih Davina!" seru Sindi senang.

***

Keesokan paginya, setelah menitipkan lagi Dave pada Devi dan Rafa, Davina melaju menuju tempat kerja barunya. Dia menaiki taksi untuk sampai kesana. Sebenarnya Sindi sudah menyuruhnya memakai mobilnya saja tapi Davina menolak halus karena tidak enak terus merepotkan sahabatnya itu.

Setelah diperjalanan hampir satu jam karena macet, Davina akhirnya sampai di galeri milik Elang. Perempuan itu sudah rapi dengan blazer putih dan rok span selututnya. Dia pun langsung masuk ke galeri.

Begitu masuk, pandangannya langsung terpesona melihat interior menakjubkan galeri itu. Galeri tempatnya bekerja bernama The Chery.

Dia terus berjalan hingga tiba di sayap kanan galeri, ruang kantor terlihat luas disamping tempatnya berdiri. Dan di hadapannya ada kantor direktur galerinya.

Tok tok

Davina mengetuk pintu setelah menenangkan hatinya yang gugup. Sebuah jawaban meminta masuk terdengae. Davina menghembuskan nafas sekali lagi dan setelah itu masuk ke dalam kantor pemimpin barunya.

Elang yang sedang duduk di kursinya langsung mendongak begitu menyadari kehadiran Davina.

"Silakan duduk." ucapnya dingin.

Davina cukup terkejut dengan sambutan bernada tak ramah itu. Tapi Davina cukup profesional untuk tak menunjukkannya. Perempuan itu langsung duduk di sofa yang tersedia.

Elang pun bangkit dan duduk di depan Davina. Tatapannya yang tajam cukup membuat Davina tak berani menatap bosnya itu.

"Saya Elang, direktur galeri The Chery." ucap Elang memperkenalkan diri.

"Saya--"

Belum selesai bicara, Elang sudah memotongnya, "Saya sudah lihat resumemu dan informasi tentangmu sudah cukup. Jadi saat ini kamu langsung mulai kerja. Ada satu kurator lain dan staf lapangan disni. Mereka sedang keluar karena ada janji dengan pelukis baru." ucapnya dengan raut datar tanpa senyum.

"Baik, pak." ucap Davina pelan.

"Saya belum memutuskan kamu menjadi kurator disini karena pengalaman bekerja kamu masih kurang. Anggap saja kamu sebagai pegawai magang."

"Magang pak?" tanya Davine terkejut.

Elang mengangguk, "Kenapa? Kau keberatan?"

Davina seketika menggeleng, "Tidak pak. Saya tidak keberatan sama sekali."

"Baguslah, karena saya tidak suka ada orang yang membantah kebijakan saya. Sekarang tugas kamu ikut dengan saya berbelanja beberapa keperluan untuk pembukaan galeri ini."

"Baik pak."

"Ayo pergi. Kita jangan membuang waktu lagi." titah Elang.

Lelaki itu langsung berdiri dan pergi meninggalkan ruangan begitu saja tanpa menunggu Davina.

Pak Elang cukup dingin dan tak ramah. batin Davina.

Setelah itu Davina pergi menyusul Elang dengan cepat.

***

Di jalan, tak ada sepatah katapun terdengar dari mulut Elang maupun Davina. Mereka asik menatap pemandangan jalan raya ibukota yang penuh kemacetan.

"Saya orang yang lebih peduli dengan kemampuan alih-alih nilai tinggi dari kampus. Tapi bekerja dengan saya haruslah seseorang yang bersih baik masa lalu maupun masa kini." celetuk Elang.

"Saya akan berusaha sebaik mungkin pak. Terima kasih karena sudah memberi saya kesempatan." balas Davina.

"Kita buktikan saja nanti. Kalau kamu bisa bekerja dengan baik dan saya puas dengan hasil kerja kamu, baru kamu ucapkan terima kasih. Tapi andai kamu bekerja dengan buruk, saya tidak segan menendang kamu meski kamu adalah teman Sindi sekalipun." tegasnya dingin.

"Saya berjanji tidak akan mengecewakan bapak dan juga Sindi." tekad Davina.

"Hem baguslah." sahut Elang acuh.

***

Davina dan Elang sampai di sebuah pasar seni. Satu-satunya pasar yang menjual banyak kerajinan tangan dan barang-barang seni. Disinilah banyak studio kecil didirikan. Lukisan, karya seni terapan hingga patung realistis ditemukan di tiap sudut-sudut pasar. Pasar tradisional ini dipelihara langsung oleh departemen kebudayaan dan menaungi puluhan seniman.

"Kita akan beli apa saja pak?" tanya Davina.

Elang dan Davina sedang melihat-lihat karya seni terapan di salah satu kios tepatnya vas bunga dengan aksen motif batik yang mengelilingi vas.

"Tema pembukannya adalah perpaduan antara modern dan zaman dulu." jawab Bagas.

Davina mengangguk mengerti, pandangannya lalu terpaut pada sebuah gelang emas putih dengan liontin wayang kulit. Dia mengambilnya dan menilainya dengan seksama.

"Apa bapak perlu souvernir?" tanya Davina.

Elang mengangguk.

"Bagaimana kalau souvernirnya ini? Gelangnya cukup unik dan jelas sesuai tema." saran Davina menunjukka gelang pilihannya itu.

Elang memerhatikannya dengan seksama. Bentuk gelang itu memang cukup unik dimana terdapat wayang kayu sebagai gantungannya.

"Baik, kita ambil ini." putus Elang. Davina tersenyum senang.

"Pak, saya butuh sekitar seratus buah, apakah bisa?" tanya Elang pada sang penjual.

Kemudian Elang cukup lama berdiskusi dengan penjual hingga mereka akhirnya menemukan kesepakatan.

"Pesanannya sudah dibuat, jangan lupa kamu ambil di hari jum'at." titahnya.

"Baik pak." angguk Davina.

"Ayo pergi." ajak Elang.

Davina dan Elang meninggalkan toko itu. Mereka datang pergi dari satu toko ke toko lain. Dan barang yang mereka butuhkan sudah didapat sebagian.

Tapi kejadian tak terduga datang ketika mereka berada di sebuah toko dan Davina mendapati ada Keandra disana.

Nampak diharuskan terjadi, Keandra juga melihat ke arah Davina. Dahinya mengerut kala melihat Davina dengan seorang lelaki. Keandra pun memutuskan mendekat.

Di sisi lain, Davina berdecak kesal kala Keandra malah hendak menghampirinya. Dia khawatir bila Keandra akan membuat keributan lagi.

"Davina, sungguh kebetulan bertemu denganmu disini. Dia siapa? Suamimu?"

Davina menutup matanya. Sial, belum juga sempat menyelamatkan diri, Keandra malah sudah berdiri dihapannya bagai hantu.

"Kenapa kau tidak menjawab? Malu mengakui atau dia bukanlah suamimu?" tanya Keandra sinis.

"Kau siapa?" celetuk Elang.

"Tidak penting siapa saya. Karena yang terpenting, adalah apakah kau suaminya?" tanya balik Keandra.

Elang terdiam kebingungan. Dia melirik Davina yang rautnya sudah panik itu. Elang lalu kembali menatap Keandra lurus-lurus.

"Kalau iya, memangnya kenapa?"

Raut sinis dan kemenangan Keandra seketika luntur mendengar pernyataan Elang. Sedangkan Davina menatap Elang penuh keterkejutan.

"Kau sungguh suaminya?" tanya Keandra tak percaya.

Terpopuler

Comments

Suci Waty

Suci Waty

Alhamdulillah..untung elang ngaku suaminya Davi...
lnjut thor..

2021-08-12

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!