Serpihan Dirimu

Serpihan Dirimu

Bab 1. Aku Pelukis Rupamu

Selamat Bu Davina, Anda hamil.”

Davina yang sendirian di ruangan dokter kandungan itu hanya bisa membeku. Dia ingin menangis tapi berusaha menahannya. Bukankah dia sangat menyedihkan? Dikhianati kekasihnya dan kini malah mengandung anak kekasihnya.

“Dok, boleh saya meminta bantuan?” pinta Davina pelan.

“Silakan.”

“Saya ingin menggugurkannya.”

Dokter itu nampak terkejut. Dia hendak membuka mulutnya kala pintu terbuka keras dari luar.

Brak

Seorang lelaki tiba-tiba masuk dengan wajah memerah. Dia menarik lengan Davina dengan kasar dan menghadapkan tubuhnya ke arahnya. Davina memalingkan wajahnya.

“Jangan pernah berani membunuh anakku.” Desisnya.

***

Satu minggu sebelumnya...

Seorang gadis cantik dengan rambut semampai dan kulit putih pucat sedang duduk di pinggir danau yang terbentang di tengah-tengah ibukota. Di pangkuannya ada buku gambar yang setengah terisi oleh sketsa. Dia asik menggambar tanpa memedulikan matahari yang hampir tenggelam di ufuk barat.

Perempuan itu Davina Sandrina, mahasiswi jurusan seni lukis yang berasal dari keluarga kurang mampu. Berkat kecerdasannya dan bakat artistiknya, dia berhasil masuk ke Universitas Cakra, salah satu kampus bergengsi yang mencetak banyak lulusan berbakat. Davina berhasil masuk ke jurusan yang dia inginkan dan itu artinya dia bisa selangkah lebih dekat dengan cita-citanya.

Bagi gadis miskin sepertinya, menjadi seniman bukanlah pekerjaan impian yang akan mendatangkan banyak uang. Terlebih lagi dengan banyaknya perjuangan agar karya bisa diakui oleh industri seni. Tapi Davina selalu teguh dengan keinginannya. Dia ingin menjadi pelukis seperti cita-cita ayahnya yang terpaksa harus tenggelam karena ekonomi tak memihaknya untuk terus bermimpi.

Tapi Davina berbeda, meski tuntutan hidup selalu mengejar tepat dibelakangnya, menjadi seniman tetap impiannya yang dia kejar selangkah demi selangkah.

Jemari yang tengah berkutat dengan guratan halus pensil itu terhenti kala pipinya merasakan sensasi dingin. Davina menoleh dan senyumnya langsung tersungging kala melihat seorang yang dia cintainya menatapnya dengan es krim ditangannya.

“Kak Andra! Mengagetkan saja.” Ucap Davina pura-pura kesal namun tak ayal wajahnya merona. Dia senang dengan kedatangan kekasihnya itu.

Kenandra duduk di samping gadisnya, lalu menyerahkan es krim itu ke tangan Davina. Davina menerimanya dengan senang hati.

“Kamu terlalu fokus pacaran dengan buku gambarmu hingga mengabaikan panggilanku.” Ujar Kenandra pura-pura merajuk.

Davina tersenyum, “Maaf Kak Andra, aku terlalu fokus membuat sketsa soalnya ini untuk karya terakhirku di semester ini. Tapi aku janji, aku tidak akan mengabaikan panggilan kakak lagi. Silakan hubungi aku kapan saja.” Ucapnya penuh keseriusan.

Kenandra tak urung terkekeh kecil. Dia mencubit pipi kekasihnya dengan gemas.

“Aw, aku sedang serius, kenapa kakak malah mencubit aku?”

“Habisnya kamu lucu.”

“Lucu? Aku sedang tidak melawak.” Ucap Davina bingung. Ekspresinya sangat menggemaskan di mata Kenandra.

“Benar, jangan pernah melawak di depan lelaki lain kecuali kakak. Karena mereka akan tersihir dengan pesonamu.” Ucap Kenandra.

Davina tersenyum kecil, hatinya menghangat dan jantungnya meletup tak karuan. Lelaki didepannya ini selalu tahu bagaimana cara menyenangkannya.

“Apa aku secantik itu?” tanya Davina iseng.

Kenandra mengangguk.

“Berapa nilaiku dari 10?” tanya Davina penasaran.

Kenandra terdiam sebentar lalu menatap Davina yang menanti jawabannya dengan raut penuh rasa penasaran. Alis gadis itu naik turun.

“Sembilan.” Tandas Kenandra.

Raut Davina seketika mengeruh, “Satunya kemana?” tanyanya.

“Satunya?” Kenandra menjeda ucapannya, “Satunya untuk kusimpan setelah kita menikah nanti.” Pungkasnya dengan senyuman manis.

Davina terdiam. Wajahnya seketika memerah dan memanas. Gadis itu tersipu dengan ucapan lelaki yang dia cintai.

“Kakak akan menikahiku?” tanyanya pelan dan malu-malu.

Kenandra hanya tersenyum.

****

Davina sedang makan dengan tenang di kantin bersama Sindi. Gadis kaya yang mau jadi sahabat orang miskin sepertinya.

Tapi di tengah makan siang, Sindi meletakkan sendoknya dan menatap Davina.

“Tadi aku melihat wajah ular kampus Talitha, dan wajahnya menunjukkan kemarahan padamu. Sepertinya dia kesal lagi karena nilaimu kembali mengunggulinya.” Cerita Sindi.

“Kenapa dia harus kesal? Aku tidak berbuat curang.” Ucap Davina.

Sindi mendengus, “Untuk perundung tipe ular boa sepertinya, kamu adalah hambatan terbesarnya untuk menjadi nomor satu di jurusan ini. Seperti yang kau tahu, ibu tirinya adalah pemiliki galeri terbesar di Jakarta, dia pasti menginginkan anaknya menjadi penerusnya.” Ujar Sindi.

“Lalu apa hubungannya denganku? Kalau dia mau meneruskan usaha ibunya ya dengan bekerja keras, tidak perlu menganggapku sebagai musuh.”

Sindi mengibaskan tangannya, “Ah sudahlah. Jangan membahas dia yang akan membuat nafsu makanku turun.”ucapnya acuh. “Kita bahas saja soal kelanjutan hubunganmu dengan Kenandra itu.” lanjutnya antusias.

“Apa yang perlu dibahas?” tanya Davina.

“Semuanya! Apapun! Sekecil upil pun tidak masalah” Sindi memang sangat tertarik dengan kisah asmara Davina yang menurutnya manis dan tak masuk akal itu.

Davina terdiam sesaat, lalu memutuskan menceritakan kejadian kemarin sore saja.

“Aku bertanya soal kecantikanku dari nilai satu hingga sepuluh dan dia menjawab sembilan.” Cerita Davina. Sindi mendengarkannya dengan seksama.

“Saat kutanya alasannya, Kak Andra bilang, satu poinnya setelah kami menikah. Tapi saat kutanya dia akan menikahiku? Dia hanya tersenyum.”

“Aaa!” jerit Sindi gemas sendiri. “Ya ampun Davina, sampai saat tadi aku masih menganggap bahwa kisah cinta kalian itu konyol dan tidak masuk akal meski sangat manis seperti di drama korea. Tapi tak kusangka akan jadi semanis ini. Davi, dimana kau dapatkan lelaki model Kak Andramu?” tanya Sindi sungguh-sungguh.

Davina tersenyum, “Kurasa itu hadiahku atas hidupku yang sulit.”

***

Davina menghampiri seorang lelaki yang sedang duduk sambil menghadap danau. Begitu berada di belakang lelaki itu, Davina langsung menutup mata lelakinya.

“Tebak siapa?” tanya Davina riang.

Kenandra tersenyum tipis, dia menggapai tangan Davina yang menutup kedua matanya setelah itu menariknya pelan untuk duduk di sampingnya.

“Siapa lagi kalau bukan malaikat cantik tanpa sayap bernama Davina Sandrina?” ucapnya manis.

Davina tersenyum malu-malu mendengarnya.

“Oh ya kak, aku berhasil mendapatkan nilai sempurna lagi untuk tugasku.” Cerita Davina.

“Benarkah?” Davina mengangguk senang.

“Wah, kekasih kakak memang sangat hebat. Selamat tapi jangan lupa pertahankan.” Ucap Kenandra lembut.

Davina mengangguk mantap, “Tentu. Aku harus melakukannya.” Kenandra tersenyum mendengarnya.

“Oh ya kak, aku punya sesuatu.” Ucap Davina. Perempuan itu merogoh tasnya dan mengambil sebuah kotak hadiah kecil yang dihiasi pita diatasnya.

“Untuk kakak.” Ujarnya memberikan hadiah itu pada Kenandra.

Kenandra menerimanya, “Dalam rangka apa?” tanyanya bingung.

“Tidak dalam rangka apapun. Aku memberikannya sebagai ucapan terima kasihku karena kakak sudah menemaniku di masa-masa sulitku. Terima kasih atas semangat dan dukungannya di saat aku hampir menyerah atas mimpiku. Terima kasih karena selalu ada.” ucap Davina menatap Kenandra sedalam-dalamnya.

Kenandra meraih tangan Davina dan menumpukannya dengan tangannya sendiri di pangkuannya, dia tersenyum lembut, “Sebagai seorang seniman, kakak merasa bertanggung jawab untuk mendukungmu atas cita-citamu. Dan sebagai seorang kekasih, kakak harus menemani melewati semua proses pencapaian di hidupmu.”

Davina tersenyum bahagia, “Aku bersyukur. Amat bersyukur karena di hidupku yang penuh kesulitan dan kesedihan ini, ada kakak yang dikirim semesta untuk datang ke hidupku. Aku amat sangat berterima kasih. Tolong, jangan tinggalkan aku. Kalaupun harus...” Davina menjeda ucapannya. Dia nyaris tak bisa mengatakannya. “Tolong beritahu aku sebelumnya agar hatiku bisa bersiap.” Lanjutnya pelan.

Kenandra terdiam, dia hanya mengelus surai Davina dengan lembut.

“Oh ya, boleh kakak membuka hadiahnya?” tanya Kenandra. Lelaki itu tidak membalas ucapan Davina sebelumnya entah kenapa.

Davina cukup terkejut kala Kenandra tidak membalas ucapannya tadi. Tapi Davina memilih berfikir positif dan mengangguk untuk memberi jawaban atas pertanyaan Kenadra barusan.

Setelah mendapat sinyal setuju, Kenandra langsung membuka hadiahnya. Dia tertegun kala melihat apa hadiah Davina untuknya.

“Kakak tidak menyukainya?” tanya Davina khawatir. Dia merasa tidak enak kala melihat Kenandra yang diam saja setelah membuka hadiah darinya.

“Aku bisa menggantinya dengan yang lain, kalau kakak tidak—“

Cup

Kenandra tiba-tiba mencium bibir Davina, memotong ucapan yang keluar dari bibir gadis itu. Dan Davina hanya terdiam. Dia terlalu syok untuk mencerna apa yang terjadi. Hingga Kenandra memundurkan wajahnya.

“Terima kasih. Kakak suka.” Ucapnya tersenyum manis. Dia menatap wajah Davina yang memerah atas ciumannya tiba-tiba.

Davina terkesiap, dia mengangguk patah-patah, “Ba-bagus ka-kalau kakak suka.” Ucapnya entah mengapa ia menjadi gugup.

Hadiah yang diberikan Davina adalah sebuah lukisan mozaik dengan rupa Kenandra sebagai potretnya. Davina menghabiskan waktu hingga tiga pekan untuk membuatnya. Jauh lebih lama dibanding semua tugas-tugasnya. Karena dia ingin menghadiahkannya untuk Kenandra. Jadilah Davina mencurahkan semua waktu, tenaga dan cintanya untuk membuat karya itu.

Lukisan itu adalah karyanya sebagai pelukis yang ingin melukis potret Kenandra, kekasihnya.

“Davina.” Panggil Kenandra setelah hening beberapa saat. Davina yang awalnya melihat danau seketika menoleh.

“Ada yang ingin kakak sampaikan padamu.” Ucapnya. Di telinga Davina, Kenandra tampak berhati-hati dalam mengucapkannya.

“Ada apa kak?” tanya Davina.

“Begini—“ Kenandra berdeham sebentar, dia jelas nampak bimbang. Tapi memutuskan untuk mengatakannya kala melihat raut Davina yang penasaran. “Kakak akan pergi ke luar negeri.” Tandasnya.

“Luar negeri? Berapa lama? Kakak akan kembali kan?” tanya Davina beruntun.

Kenandra diam. Dan itu membuat Davina mulai berfikir aneh-aneh.

“Jangan bilang kakak—“ Davina tak meneruskan ucapannya.

Kenandra mengangguk. Dan itu membuat Davina membeku.

“Kakak ingin belajar seni kotemporer di Prancis dan itu pasti akan membutuhkan waktu bertahun-tahun jadi—“

“Aku akan menunggu kakak.” Potong Davina.

Kenandra menatap Davina terkejut, “Jangan Davina, kamu akan lelah.” Tolaknya.

Davina menggelengkan kepalanya kuat-kuat, “Aku akan menunggu kakak. Selama apapun itu, selelah apapun penantiannya, aku akan menunggu kakak. Tapi kakak harus berjanji, bahwa kakak akan pulang padaku lagi.” Tandas Davina penuh kesungguhan.

Kenandra mendesah pelan, dia juga berat meninggalkan Davina sendirian. Hatinya tak akan pernah tenang bila kekasihnya berada nun jauh dari matanya.

“Aku tahu ini terdengar seperti aku superhero yang pura-pura kuat, tapi aku serius. Aku bisa menunggu kakak sampai kapanpun. Aku tidak khawatir dengan seberapa jauh jarak yang nanti memisahkan kita. Aku hanya takut aku akan kehilangan kakak. Jadi aku akan melakukan segalanya termasuk menunggu kakak.” Ucap Davina.

Kenandra masih nampak ragu. Pasalnya belajar seni bukanlah hal yang mudah. Perlu waktu bertahun-tahun lamanya untuk menguasai suatu bidang seni. Seni bukanlah main-main. Perlu waktu hingga mungkin bertahun-tahun untuknya. Dan Kenandra tahu, Davina hanya akan sedih selagi menunggunya yang pulang entah kapan.

Davina tahu arti dibalik keterdiaman Kenandra maka dari itu gadis itu meraih tangan Kenandra seperti saat Kenandra melakukannya padanya. Dia menatap manik jernih kekasihnya dengan lembut tapi terkandung penuh ketegasan itu.

“Jangan khawatir. Menunggu kakak adalah urusanku sendiri. Dan aku akan bertahan dan tetap kuat. Fokuslah dengan impian kakak disana. Jangan biarkan aku menjadi variabel tak penting yang merusak tujuan kakak.”

“Kamu bukan variabel tak penting. Kamu adalah yang terpenting.” Tukas Kenandra.

Davina tersenyum, “Kalau aku yang terpenting, maka dengarkan perkataanku. Pergilah ke luar negeri dan raih impian kakak disana. Dan aku, akan menunggu kakak disini. Besok, sebulan lagi, setahun lagi atau bahkan sepuluh tahun lagi, aku akan tetap menunggu kakak. Menanti kakak dengan harapan yang tak pernah padam. Jangan khawatirkan aku akan lelah, karena cinta kita akan menguatkanku.”

Kenandra terenyuh mendengarnya, “Kakak berjanji tidak akan membuatmu menunggu lama.” Tandasnya.

Davina menganggukan kepalanya. Dan Kenandra langsung menarik Davina ke pelukannya. Mendekap erat kekasih hatinya yang akan dia rindukan ketika berada di negeri orang. Merasakan kahangatan dan sebesar apa cinta Davina untuknya.

...----...

Aku tahu aku gila publish cerita baru disaat cerita Alfin belum seperempatnya😭 Tapi serius, cerita ini udah lama jadi draft dan aku yang stress dengan kelanjutan cerita Alfin akhirnya mutusin buat publish ini aja. Daripada aku lupa dan akhirnya ini jadi sia-sia, padahal idenya lumayan. Jadi, mohon dimaklumi. Kalau mau dibaca silakan, semoga suka:)

Dann tenang aja, meski aku ngelola dua karya on-going sekaligus, insyaallah gak akan keteteran. Dan semuanya akan tamat. Tapi paling up nya selang-seling, misal hari ini bagian The Love of Guardian, maka besoknya bagian Serpihan Dirimu gitu aja sih:'

Intinya selamat baca, semoga suka😊😉

Terpopuler

Comments

YuWie

YuWie

kubaca semoga terus lanjut ya kak

2025-04-21

1

Rinie Trallatriliie

Rinie Trallatriliie

mampir thor

2022-01-11

0

re

re

Mulai

2021-08-17

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!