Bab 3. Meninggalkanmu dan Kembali dengan Serpihanmu

Kedua kelopak mata Davina terbuka. Dia sadar setelah lima jam terbaring. Davina meringis dan itu membangunkan Sindi yang sedang tidur nyenyak di sampingnya.

“Davina?” lirihnya dengan mata memerah. Ada bekas air mata di pipi gadis cantik itu.

“Minum.” Bisik Davina.

Sindi langsung mengambilkan minum dan meminumkannya pada Davina yang langsung meminumnya dengan tandas. Setelah itu Sindi meletakkan kembali ke tempat semula.

“Bagaimana keadaanmu?” tanyanya khawatir.

“Maafkan aku Sindi. Aku tidak jujur padamu dan kau harus mengalami ini semua.” Ucap Davina lirih.

Sindi menggeleng, “Tidak, jangan salahkan dirimu. Aku sudah mengerti apa yang terjadi. Kekasihmu itu sangat brengsek. Aku menyesal telah memujinya sebagai kekasih idaman.” Rutuknya.

Davina tersenyum kecil.

“Kau masih bisa tersenyum?” seru Sindi tak percaya. “Kalau aku, aku pasti akan langsung membunuhnya. Seharusnya kau menusukkan gunting itu ke tubuhnya bukan pada dirimu!” gerutunya kesal.

“Aku tidak bisa berfikir jernih saat itu. Aku terlalu kacau.” aku Davina.

Sindi mendesah pelan, “Jangan ulangi lagi.” Pintanya. Davina mengangguk.

“Jadi bagaimana kondisiku?” tanya Davina.

“Entah semesta membantumu atau mendorongmu makin jatuh, tapi janinnya selamat. Dia baik-baik saja.” Jawab Sindi.

Davina mendesah kasar, “Aku tidak tahu harus bahagia atau kecewa.” Lirihnya.

“Kau membencinya?” tanyanya dengan nada hati-hati.

Davina hanya terdiam.

“Davi, ini bukan kesalahan calon anakmu. Kau tidak pantas membencinya.” Ucap Sindi.

“Tapi kenapa dia harus hadir di waktu yang tidak tepat?” seru Davina pilu.

Sindi mengelus bahu Davina menenangkan, “Aku yakin selalu ada hikmah dibalik setiap cobaan.” Hiburnya.

“Tapi apa yang harus kulakukan Sindi?” tanyanya frustasi.

“Kau membenci kekasihmu jadi aku yakin kau pasti tidak ingin hidup dengannya. Jadi bagaimana kalau kau kabur saja?” usul Sindi.

“Kabur?” tanya Davina.

Sindi menganggukkan kepalanya, “Aku sudah memikirkannya dari lima jam yang lalu. Kita kabur saja ke luar negeri. Ada flat tidak terpakai milik salah satu sepupuku yang pernah berkuliah disana. Kau bisa tinggal disana dengan bayimu sambil menenangkan dirimu. Dan aku jamin, lelaki bajingan itu tidak akan menemukanmu.”

“Dimana itu?” tanya Davina mulai penasaran.

“Hungaria.”

***

Di sisi lain, seorang lelaki sedang tertidur di kursi tunggu. Lelaki itu sedang menunggu keadaan Davina yang masih tak sadarkan diri tanpa tahu apa yang sudah terjadi.

“Tuan Keandra.” Panggil seseorang membangunkan lelaki itu dari tidurnya.

Lelaki yang disebut Keandra itu terbangun. Dia menatap sekretarisnya yang membangunkannya tadi.

“Andre, kau sudah datang.” Ucapnya sambil menguap. Dia meregangkan tubuhnya yang terasa kaku karena tidur dalam posisi duduk.

“Ada telfon dari Tuan Pertama.” Ucapnya menyerahkan ponselnya pada Keandra.

Keandra membeku. Dia ragu-ragu menerima ponsel itu, jantungnya berdegup cepat.

“Halo, dik, kenapa lama sekali?” tanya kakaknya dari seberang telfon.

“A-ada apa?” tanya Keandra tergagap.

“Kamu sudah bertemu dengan Davina kan?” tanyanya.

“Su-sudah.” Balas Keandra.

“Bagaimana keadaannya?” tanya kakaknya itu dengan antusias.

Keandra terdiam sesaat. Sial, dia harus berbohong saat ini.

“Dia baik-baik saja.” Bohongnya.

“Ah benarkah? Kalau begitu apa yang sedang dia lakukan saat ini?” tanyanya lagi.

Keandra bangkit dari duduknya. Dia melangkah menghampiri ruang rawat Davina.

“Dia...”

Ceklek

Begitu Keandra membuka pintu, dia membeku. kamar Davina kosong. Tangannya terkepal erat.

“Kean?”

Satu tangan Keandra terkepal erat, “Dia sedang berlibur dengan temannya.” Desisnya menahan emosi.

“Ah benarkah?”

“Kak, aku akan menelfonmu kembali.” tiba-tiba Keandra memutuskan sambungan. Dia melemparkan ponsel itu keras.

“Sial, dimana perempuan itu?!” teriaknya.

Andre yang melihatnya seketika menghubungi bawahannya. Dia langsung memerintahkan untuk melacak kepergian Davina.

“Saya sudah memerintahkan untuk mencarinya tuan.” Lapor Andre.

“Kalau sampai kita kehilangannya, aku akan kehilangan semua saham kakakku.” Desisnya penuh emosi.

Dan Keandra amat marah kala mengetahui kepergiaan Davina tanpa izin. Lelaki itu akan kehilangan kesempatannya menjadi pewaris tahta perusahaan keluarganya kalau sampai kakak kembarnya tahu bahwa kekasihnya menghilang. Iya, Keandra dan Kenandra. Dua kakak beradik kembar yang berbeda kepribadian. Dan Keandra lah yang telah menodai Davina bukan Kenandra. Kakaknya itu sedang berada di Prancis dan dia kesini karena ditugaskan untuk mengecek kondisi kekasihnya.

Keandra tahu dia sudah melakukan dua kesalahan fatal: menghamili kekasih kakaknya dan membuat kekasih kakaknya melarikan diri.

***

Lima tahun kemudian...

“Lukisan ini adalah perwujudan dari gairah para pelukis muda yang masih belum tahu tentang jati dirinya. Digambarkan dengan abstrak dengan perpaduan warna yang gelap menjurus terang untuk memberikan harapan bahwa proses melelahkan itu akan menuju titik akhir yang bahagia.”

Prok prok

Suara tepuk tangan menggemuruh di aula gedung. Seorang anak kecil yang tadi menjelaskan membungkukkan badannya dan turun dari panggung. Saat ini ada sebuah perlombaan lukis anak yang berusia lima hingga delapan tahun dari salah satu klub lukis bergengsi di Hungaria.

“Pemenang lomba lukis klub PaintArt adalah Davandra Michel Rembrandt!”

Anak lelaki tadi kembali maju ke panggung. Dia menerima hadiah tropi dan uang tunai. Dia tetap tersenyum tenang kala dia dan lukisannya dipotret. Nampak tak ada kegugupan atau rasa senang. Hanya raut datar yang berbingkai senyuman saja.

Usai perlombaan itu, Davandra Michel Rembrandt atau yang biasa dipanggil Dave itu pulang menemui sang ibu. Dia berlari pulang dengan satu tangan menggengam tropinya. Meski wajahnya datar, dalam hatinya dia bersorak bahagia. Ibunya pasti akan bangga padanya.

“Anya! Anya!” (Ibu! Ibu!) teriaknya dengan kencang.

Seorang perempuan muda nan cantik keluar dari dari dalam rumah. Dia langsung tersenyum lebar kala melihat anak sulungnya berdiri sambil memegang tropi. Dia langsung memeluknya.

“Apakah anak mama kembali juara?” tanyanya padahal sudah tahu jawabannya.

Dave mengangguk.

“Kali ini tema lukisannya apa?” tanya perempuan itu.

“fiatal festő szenvedély." (Gairah pelukis muda)

“Apa lukisan itu sedang membicarakan tentangmu?” tebak perempuan itu.

Dave kembali mengangguk, “Aku meniru gaya lukis Rembrandt, antara cahaya dan bayangan. Aku memasukkannya sebagai proses mencari jati diri pelukis muda yang akan menemui titik akhir.” Jelasnya.

Sang ibu tersenyum bangga, “Bagaimana bisa kau sejenius ini, Nak? Untung mama memberikanmu nama Rembrandt dan Michel. Ternyata darah seni sungguh mengalir di tubuhmu.”

“Davina! Dave!” Seseorang memanggi-manggil keduanya dengan antusias.

“Tante Sindi?” tanya Dave ragu. Dia kurang bisa mengenali rupa.

“Yap, ini tantemu datang! Sini peluk dulu.” ucapnya. Dia langsung memeluk Dave dengan erat.

Perempuan yang tenyata Davina hanya tersenyum kala Dave meronta-ronta ingin dilepaskan. Akhirnya Sindi pun melepaskannya kala Dave terlihat ingin menangis.

“Kau sungguh pelit, Dave. Masa tante peluk saja sudah mau menangis.” Gerutu Sindi sebal padahal kan dia kangen.

“Setidaknya itu membuktikkan bahwa anakku masih kecil.” Komentar Davina geli.

Sindi mengangguk setuju.

“Dave, gantilah bajumu setelah itu makan siang ya. Mama sudah menyiapkannya di meja makan.”

Dave mengangguk.

“Good boy.” Puji Davina lantas Dave masuk ke dalam rumah.

Lalu Sindi mengisyaratkan agar mereka berbicara berdua. Davina pun membawanya ke studionya tepat di samping rumah.

“Kabarmu baik? Bagaimana pekerjaanmu?” tanya Davina sambil membawa teh untuk sahabatnya. Setelah itu dia duduk di depan Sindi.

“Aku baik dan pekerjaanku jelas melelahkan. Ada banyak dokumen yang harus kuperiksa. Dan sialnya selalu saja tidak sesuai. Kurang seribu lah, kurang sejuta lah, masih mending kalau aku menghitung ada wujudnya, lah ini uang gaib!” keluhnya.

Davina tersenyum tipis, “Seharusnya kau ambil yang sesuai jurusanmu. Kenapa malah banting setir ke akuntasi.” Ucapnya.

“Tentu saja karena papa kesayanganku itu mengharuskanku mewarisi bisnis keluarga. Aku bisa apa selain menganggukan kepala?” balas Sindi lelah.

“Hem, aku lupa kau terlahir sebagai sendok perak.” Ucap Davina santai.

“Lupakan soal itu. Aku muak kalau harus mengingatnya lagi.” Ucapnya mengibaskan tangannya. “Tujuanku kesini selain untuk menjenguk kalian, juga ada yang ingin kusampaikan.” Lanjutnya menatap serius sahabatnya itu.

“Apa? Kau akan menikah?” canda Davina.

“Bukan, Davi. Tapi aku ingin membawamu kembali ke Indonesia.”

Muka Davina langsung berubah keruh, “Aku tidak mau.” ucapnya dengan nada tak suka.

“Ayolah Davi, ini sudah lima tahun, mana mungkin juga lelaki brengsek itu akan bertemu denganmu lagi, kan? Mungkin saja dia sudah menikah atau syukur-syukur dia sudah mati.” Jawab Sindi.

“Tapi aku tetap tidak mau kembali. Untuk apa kembali ketika kehidupanku disini sudah nyaman?”

“Karena aku membutuhkan kurator baru. Temanku membuka galeri baru di Jakarta dan dia sedang membutuhkan kurator. Dia meminta bantuanku karena dulu aku anak seni.”

“Dan kau membawa-bawa namaku?”

Sindi mengangguk.

“Aku tidak bisa menolaknya dan lagi diantara semua orang yang kukenal, hanya kamu yang memenuhi kualifikasi.”

“Kau tahu bahwa aku tidak lulus kuliah, apa maksudnya dengan memenuhi kualifikasi?” tukas Davina tak habis fikir.

“Maksudku, tentang perjuanganmu. Kau datang tanpa bekal apa-apa saat kesini, berusaha diterima di studio keramik meski tidak lulus kuliah. Dan lihat, seiring waktu berlalu, kau bahkan sudah punya studio sendiri. Itu sudah sangat memenuhi kualifikasi berpengalaman dan hebat dalam standarku.” Jelas Sindi.

Davina tersenyum geli, “Ini hanya studio kecil-kecilan.”

“Tidak. Kau membangun semuanya dari nol dan menurutku itu luar biasa. Dan aku menceritakan ini pada temanku, tentu saja temanku juga setuju dengan pendapatku kalau kamu memang hebat.”

“Tapi tetap saja aku tidak bisa. Selain karena hatiku yang masih menolak, aku juga tidak tega pada Dave kalau dia harus berpisah dengan teman-temannya. Dia juga harus pindah sekolah. Kau tahu bahwa Dave tidak bisa bergaul dengan banyak orang.”

“Tenang saja. Aku yakin Dave bisa beradaptasi dengan baik. Dia anak jenius, aku yakin dia akan nyaman dengan sendirinya. Dan Dave harus tahu dimana kampung halamannya. Kau tidak bisa terus tinggal di Hungaria.”

Tapi Davina nampak masih khawatir.

“Aku yang akan mengurus semuanya. Kau tinggal bereskan keperluanmu disini dan setelah itu ikut denganku ke Indonesia. Rumah, akomodasi, bahkan sekolah baru Dave akan kusiapkan.” Tandas Sindi.

“Fikirkan baik-baik ya? Fikirkan demi kebaikanmu dan juga Dave.” Pinta Sindi.

Davina hanya diam saja.

***

Waktu makan malam tiba. Davina, Sindi dan Dave sedang makan bersama. Di tengah makan malamnya, Sindi melirik Davina. Dia lalu menyenggol tangan Dave membuat Dave menoleh padanya.

“Dave, kamu tahu kalau mamamu bukan orang sini?” tanyanya.

“Sindi..” tegur Davina. Tapi Sindi hanya tersenyum santai.

“Tahu tidak Dave?” tanya Sindi lagi. Dave akhirnya mengangguk.

“Tahu mamamu dari negara mana?” tanya Sindi lagi.

“Indonesia.” Jawab Dave singkat.

“Pintar. Sepertinya mamamu pernah menceritakannya.” Puji Sindi.

Dave mengangguk, “Mama bilang dia dari Indonesia, salah satu negara kepulauan yang diapit dua benua dan dua samudera. Saah satu yang termasuk ke dalam negara berkembang dari Asia Tenggara. Dan termasuk ke dalam negara dimana mama pernah terluka karena cinta.” Papar Dave.

Davina menganga mendengar penjelasan Dave sedangkan Sindi terkikik geli.

“Wah sepertinya mamamu juga menceritakan kisah cintanya.” Sindir Sindi melirik Davina yang menutup wajahnya karena malu.

“Jadi Dave, kamu mau ke Indonesia tidak?” tawar Sindi.

Dave mengangguk.

“Mau?” seru Sindi terkejut. Dave sekali lagi mengangguk.

“Aku pernah melihat di berita soal Indonesia. Kufikir, sejauh manapun kita pergi, kita tetap akan kembali ke tanah kelahiran kita.” Ucap Dave.

Sindi tak percaya mendengar ucapan sedewasa itu dari mulut anak berusia lima tahun. Dia menatap Davina.

“Davi, kau beri dia makanan apa hingga secerdas ini?” tanyanya penasaran.

“Kuberi dia makan buku sejarah, puas?” balas Davina sebal. Sindi hanya mengendikkan bahunya acuh.

“Karena kamu sangat cepat dalam memahami informasi maka tante akan langsung bicara saja. Jadi mamamu diberi tawaran menjadi seorang kurator di salah satu galeri seni di Jakarta. Dan kamu pasti tahu bahwa mamamu dulunya mahasiswa seni yang sangat hebat. Dan menjadi kurator adalah impiannya.” Jelas Sindi.

“Aku tahu. Kita pulang saja ke Indonesia.” Ucap Dave serius.

“Dave, jangan asal setuju saja. Kenapa kamu mudah sekali dicuci otaknya oleh Tante Sindi?”

“Aku serius ma. Menjadi kurator adalah impian mama. Dan sekarang sudah ada kesempatannya. Mama harus mengambilnya kalau tidak ingin menyesal.”

“Wah, keponakan tante memang sangat bijak. Sini peluk dulu.” Sindi memeluk Dave gemas tapi langsung dilepaskannya karena Dave meronta-ronta.

“Kamu yakin mau kesana?” tanya Davina serius.

Dave mengangguk.

Akhirnya setelah lama menimbang-nimbang ditambah dengan Dave setuju, Davina pun menganggukan kepala.

“Aku setuju. Ayo kita pulang, Sindi.” Ucapnya.

***

Di Jakarta, di sebuah ruangan besar dengan banyak peralatan mahal, seorang lelaki dewasa sedang melihat-lihat berita melalui tabnya. Dia adalah Keandra Hammasta, presdir baru HM Group setelah kakaknya lengser setahun yang lalu.

Dia mentap-tap berita luar negeri, membacanya dengan bosan hingga sebuah berita menarik perhatiannya. Dia tertegun kala melihat rupa anak kecil yang dipotret di samping lukisan itu mirip dengan dirinya saat kecil. Keandra tanpa sadar membuka berita itu.

Keandra membacanya dan tertegun dengan isinya. Dia lalu menatap potret anak kecil tadi yang difoto dari jarak dekat. Semakin dilihat, semakin mirip dengannya di saat kecil. Dan entah kenapa hal ini membuat Keandra teringat dengan Davina.

Tok Tok

Andre muncul menghampirinya. Keandra pun langsung menunjukkan foto anak kecil asing itu.

“Bagaimana menurutmu?” tanyanya.

“Kenapa tuan memberikan saya foto masa kecil tuan?” tanya balik Andre bingung.

“Benarkan! Ini mirip denganku.” Ucap Keandra.

“Apa maksud Anda?” tanyanya.

“Ini bukan aku. Ini seorang anak kecil bernama Davandra Michel Rembrandt, seorang pelukis cilik jenius dari Hungaria.” Jelas Keandra.

“Tapi kenapa sangat mirip dengan Anda?” tanya Andre.

“Aku juga berfikir demikian. Ini tidak mungkin sebuah kebetulan. Tidak mungkin ada kemiripan sesempurna ini.”

“Ini seperti duplikat Anda.” Timpal Andre. Keandra terdiam bingung. Padahal bisa saja dia menganggap ini hanya kebetulan tapi entah kenapa dia tidak bisa melakukannya.

“Tuan, hari ini Anda akan melakukan kunjungan ke TK Bina International School.” Ucap Andre.

“Kenapa aku harus ke TK itu lagi? Seperti tidak punya kerjaan.” Decak Keandra.

“Itu harus tuan. Ketua menginvestasikan dana untuk membangun ruang seni berstandar internasional disana. Jadi kita harus melihatnya.”

Keandra berdecak, “Seharusnya kalau dia punya uang, investasikan membangun galeri bukannya ruang seni TK!”

***

Tapi Keandra mau tak mau melakukannya. Dia berkeliling TK yang sering disebut BIS itu dengan wajah datar. Terakhir, dia dibawa ke ruang seni yang ayahnya bangun itu. Dan wajah bosannya langsung berubah kala melihat sebuah lukisan tak asing terpajang di salah satu sandaran kanvas.

“Itu...”

Belum selesai Keandra berbicara, seorang anak menerobos masuk ke dalam ruang seni. Dia berdecak sebal kala melihat lukisannya dipajang di dinding tanpa seizinnnya.

“Dave!” panggil seseorang dari belakang. “Permisi.” Ucapnya meminta jalan untuk masuk ke ruang seni. Keandra terdiam, dia seperti mengenal suara itu.

“Dave! Sudah mama bilang jangan main pergi begitu saja. Kalau kamu tersesat bagaimana?!” omelnya.

Keandra sudah tidak salah lagi menebak. Dia benar-benar seseorang dengan suara yang dikenalinya lima tahun lalu. Keandra menatap punggung kecil itu hingga akhirnya si pemilik punggung itu berbalik.

Davina terkejut karena dia kembali bertemu dengan orang yang sangat dia benci itu. Begitupun Keandra yang tak menyangka bahwa tebakannya benar. Dia kembal bertemu dengan kekasih kakaknya lagi. Dan lagi tadi Davina mengatakan apa? Mama? Davina adalah ibu dari anak yang digandengnya itu?

“Kau Davina kan?” tanya Keandra.

Davina membeku. Jemarinya menggenggam erat jemari kecil Dave.

Terpopuler

Comments

YuWie

YuWie

langsung sat set ya

2025-04-21

0

ダンティ 妹

ダンティ 妹

bagus bngt ceritanya, kok sepi ya

2021-09-24

0

Suci Waty

Suci Waty

serruuu...
syuka..syuka..syuka..

2021-08-06

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!