Bab 2. Kaca Harapan yang Pecah

Davina sedang duduk di taman kampus ketika ponselnya bergetar. Dia memeriksa pesan yang masuk dan seketika matanya terbelalak.

Ibu Kost

Davina, kamu belum bayar kost untuk tiga bulan ini. Hari ini terakhir, usahakan kamu bayar atau kamu saya tendang dari kostan!

Davina seketika berdiri. Dia terkejut tatkala membaca pesan yang dikirimkan ibu kost itu. Uang kostan? Bukankah dia sudah membayarnya? Davina yang bingung langsung saja bertanya.

Davina

Bukannya saya sudah bayar selama tiga bulan ini bu? Saya selalu membayar tepat waktu setiap bulan.

Usai mengirim, Davina menunggu balasan dengan gelisah.

Drrt

Pesan jawaban masuk dari ibu kostnya.

Ibu Kost

Bayar apaan, jangan coba mengelabui saya. Cepat pulang dan lunasi segera.

Davina makin bingung dengan situasinya yang terjadi.

“Aku sudah membayarnya lewat Devia, atau apakah dia lupa tidak membayarnya?” gumam Davina.

Davina akhirnya memutuskan menelfon adik tirinya itu untuk bertanya. Tapi sayangnya, telfonnya tidak diangkat oleh Devia. Davina pun memutuskan untuk pulang.

Begitu sampai dikostannya, Davina amat terkejut kala melihat kamarnya berantakan. Barang-barangnya berceceran kemana-mana. Davina merasa perasaannya tidak enak, dia lekas memeriksa lemarinya. Tapi betapa terkejutnya bahwa semua uang simpanannya tidak ada.

“Ada malingkah? Tapi kalau ada maling, ibu kost paling tidak akan memberitahuku.” Gumamnya panik.

Dia pun pergi menuju rumah pemilik kostnya. Dan begitu bertemu, Davina langsung bertanya.

“Apa tadi ada maling bu?” tanyanya panik.

“Maling? Tidak ada. Sebaiknya kamu segera lunasi tunggakan tiga bulanmu. Saya tahu kamu memang anak yang baik tapi kamu tetap harus membayarnya tanpa alasan apapun.”

“Saya sudah membayarnya bu. Saya menyerahkannya pada Devia untuk diberikan pada ibu.” Ujar Davina.

“Devia? Adikmu itu?” Davina mengangguk membenarkan. “Dia tidak memberikan sepeser pun. Kau yakin kau menyerahkannya padanya?”

Davina terkejut. Devia tidak menyerahkan uang yang dititipkannya pada ibu kost?

“Kalau ibu bisa kasih pesan, jangan terlalu percaya pada Devia itu. Dari sejak ibu melihatnya, dia tampak bukan gadis baik. Kamu harus hati-hati meski itu keluargamu sekalipun.”

Mendengar ucapan ibu kostnya, Davina seakan tersadar sesuatu.

“Apa Devia sempat pulang kesini?” tanyanya.

Ibu Kostnya mengangguk. “Dia baru datang, cukup lama dia di rumah tapi setelah itu dia pergi lagi. Dan ada yang aneh.”

“Aneh? Apa maksud ibu?”

“Devia membawa tas besar dan dia pergi terburu-buru.”

Davina terkejut. Kini dia tahu apa yang terjadi sebenarnya. Alasan kenapa rumahnya bisa berantakan dan uangnya hilang.

“Ibu tahu kemana dia pergi?” tanya Davina.

“Dia bilang dia mau ke terminal. Katanya mau kembali ke desa.” Jawab Ibu Kost.

Davina menganga. Adiknya akan pulang kampung? Dengan kabur membawa uangnya?

“Kapan dia pergi?” tanya Davina seketika panik.

“Baru saja, mungkin lima menit yang lalu.”

Davina mengangguk berterima kasih, “Saya berjanji saya akan melunasinya. Tolong beri saya waktu bu.” pintanya.

“Ya sudahlah, karena kamu anak yang baik dan selalu tepat waktu membayar, saya kasih keringanan. Tapi ingat, segera lunasi atau saya tidak punya pilihan selain mengusir kamu.”

Davina mengangguk penuh rasa terimakasih, “Terima kasih bu, sekali lagi terima kasih.”

***

Setelah urusannya selesai dengan pemilik kostnya, Davina langsung menuju terminal terdekat. Dia hendak mencari Devia yang sudah dipastikan mencuri uangnya. Dia harus menemukannya dan membawa uangnya kembali.

Davina sampai di terminal, dia langsung mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Mencari siluet Devia. Dia yakin bahwa Devia belum berangkat.

“Yogyakarta. Yogyakarta.”

Davina menoleh ke sumber suara. Ada bus menuju Yogyakarta, kampung halamannya. Dan Devia pasti akan naik ke bus itu. Davina segera berlari mencari bus tujuan Yogyakarta itu.

Dan dugaannya benar. Di kejauhan, dia melihat Devia mengantri hendak masuk ke dalam bus. Davina mempercepat larinya.

“Devia!” teriaknya.

Dan begitu dia berteriak, tangannya berhasil mencekal Devia yang hendak masuk ke dalam bus. Davina langsung menyeretnya turun.

“Kakak..” lirih Devia ketakutan.

Davina menatap tajam adiknya itu, “Mau kemana kamu? Dan mana uang kakak?” tanyanya.

“Aku ingin pulang ke Yogya. Dan uang? Apa yang kakak bicarakan?” Devia berpura-pura tak tahu. Dan Davina sangat muak melihatnya.

“Jangan pura-pura tidak tahu. Kakak tahu kamu mencuri uang kakak bahkan ikut menggelapkan uang yang kakak titipkan untuk membayar kost!”

“Kak, kenapa menuduhku? Kakak menuduh aku mencuri uang kakak? Uang kakak bahkan tidak seberapa!” sentak Devia kesal.

“Oh benarkah? Jadi kamu tahu berapa nominalnya ya.”

Devia gelagapan, dia berusaha menghindari tatapan kakaknya.

“Intinya aku tidak mencurinya. Sudah, aku mau berangkat. Jangan halangi aku lagi.” Ketusnya. Tapi baru saja hendak pergi, tangannya dicekal kembali oleh Davina.

“Kau boleh pergi setelah mengembalikan uangku yang kau curi.” Desis Davina.

Devia menyentak tangan kakaknya kasar, dia menatap kesal kakaknya. “Sudah kubilang aku tidak mencurinya. Lagipula siapa yang akan mencuri uang receh itu dari kakak?” ucapnya tajam.

“Dan orang itu adalah kamu.” Tandas Davina. Devia tersentak.

“Sekarang, kembalikan. Kembalikan uang kakak.” Davina berusaha mengambil tas Devia tapi Devia melawan.

“Kembalikan, Devia.” Tekan Davina terus berusaha mengambil tas Devia. Dia yakin uangnya ada disana.

“Sudah kubilang tidak ada.” keukeh Devia.

“Kembalikan!” teriak Davina.

“SUDAH KUBILANG TIDAK ADA!” sentak Devia. Dia menyentak Davina dengan keras hingga Davina terjatuh. Setelah itu langsung kabur.

“DEVIA!” teriak Davina berusaha bangun.

Davina mengejar Devia yang kabur. Sambil berlari, dia terus memanggil-manggil nama Devia. Tapi Devia tidak berhenti bahkan sekedar menoleh. Hingga mereka sampai di jalan raya. Devia langsung menyebrang ke seberang jalan.

“Devia, berhenti kamu!” seru Davina. Dia berhenti di pinggir jalan. Menatap kesal Devia yang sudah menyebrang. Davina berusaha menyebrang tapi sialnya lalu lintas tiba-tiba ramai hingga Davina kesulitan menyebrang.

Sedangkan Devia yang berada di seberang jalan, sudah tahu bahwa kakaknya tidak bisa mengejarnya lagi karena terhalang lalu lalang kendaraan.

“AKU MEMANG MEMBAWA UANG KAKAK. TAPI AKU MEMINJAMNYA, NANTI AKAN KUKEMBALIKAN. JANGAN MENGEJARKU LAGI. AKU PERGI.” Teriaknya. Dia tersenyum senang setelah itu berlalu pergi tanpa merasa bersalah.

Davina yang mendengar teriakan Devia berusaha menyebrang lagi tapi gagal.

“DEVIA! DEVIA!” panggil Davina pada Devia yang pergi begitu saja. Davina berlari mengejarnya dari seberang jalan.

“Devia berhenti kamu!” teriaknya. Dan Devia sungguhan berhenti. Dia menoleh pada Devina dan tersenyum kecil. Dia melambaikan satu tangannya pada kakaknya dengan senyum kemenangan. Setelah itu menyetop angkot dan pergi.

Davina yang melihatnya seketika duduk lemas. Dia tidak percaya bahwa adiknya membawa semua uang simpanannya selama ini. Air matanya tiba-tiba meluncur turun. Davina menangis. Kesedihannya amat berkali lipat. Karena bukan hanya kehilangan uang, dia juga kehilangan kepercayaan pada Devia yang dia anggap sudah seperti adik kandung sendiri.

***

Davina melangkah lunglai. Air matanya terus menetes ke pipinya. Dia tidak berniat menyekanya dan membiarkannya mengalir begitu saja. Hatinya sangat sakit dan hidupnya kacau.

Davina memutuskan singgah ke ATM. Dia hendak memeriksa berapa jumlah tabungannya. Tapi begitu diperiksa, dia mendesah pelan. Uangnya hanya cukup membayar uang bulanan selama tiga bulan.

“Aku mungkin harus meminjam dana pinjaman mahasiswa kalau begini. Atau bekerja paruh waktu untuk mencari makan.” Desahnya.

Davina pun menarik seluruh uangnya. Dia hanya meninggalkan lima puluh ribu saja. Jaga-jaga kalau dia butuh, dia setidaknya masih ada lima puluh ribu lagi. Setelah menarik uangnya, Davina pulang ke kostan dengan wajah keruh.

Setelah sampai di kostan, Davina langsung menghampiri ibu kostnya. Dia menyerahkan uang untuk membayar sewa kostnya.

“Kamu sudah ketemu dengan Devia?” tanyanya. Davina mengangguk lalu menggeleng.

“Apa maksud kamu? Kalau sudah bertemu kenapa menggeleng?” tanya ibu kost bingung.

“Tidak ada bu. Hanya bertemu tapi tidak berhasil mendapatkan uangnya.” Lirih Davina.

“Jadi adikmu sungguhan membawa semua uangmu?” kejut ibu kost.

Davina mengangguk pelan.

“Oh ya ampun.”

Davina hanya tersenyum tipis, “Saya hanya bisa bayar sampai bulan ini. Untuk bulan depan, saya akan memikirkan caranya. Tapi tolong jangan usir saya. Saya tidak tahu harus kemana nanti.” Pinta Davina penuh keputus-asaan.

Ibu kost itu pada akhirnya luluh. Dia mengangguk.

“Kau bisa bayar kapanpun asal jangan lupa. Kamu tahu ibu tidak memberi kesempatan kedua pada siapapun. Kalau kamu tidak bisa membayar maka mau tidak mau kamu harus pergi.”

Davina mengangguk mengerti, “Terima kasih bu. Kalau begitu saya permisi ke kamar dulu.” pamitnya.

“Ya sudah istirahat saja. Jangan fikirkan kejadian tadi dulu.”

Davina mengangguk. Perempuan itu lantas undur diri dan pergi menuju kamarnya.

Begitu di dalam kamar, Davina langsung terduduk lemas. Dia kembali menangis. Hidup sulitnya akan dimulai sebentar lagi.

***

Di kampus keesokam harinya, “Davina! Ada kabar bahagia untukmu!” seru Sindi riang. Dia langsung duduk di depan Davina.

“Kabar apa?” tanya Davina lesu.

“Lihat ini. Ada pameran seni di Hotel Tan sebentar lagi. Dan kau tahu, semua karyanya berasal dari Prancis!” serunya.

“Lalu?” tanya Davina acuh.

“Kenapa tanggapanmu acuh dan malas seperti itu? Seperti bukan kau saja.” Ujar Sindi bingung.

Itu karena perasaannya sedang tak baik-baik saja saat ini.

“Tidak ada apa-apa. Aku hanya kelelahan dan kurang tidur karena mengerjakan tugas.” Jawabnya bohong.

“Ah benarkah? Kau sangat rajin. Aku bahkan belum mengerjakan setengahnya.” Keluh Sindi.

“Kau harus segera mengerjakannya. Sebentar lagi ujian semester.” Peringat Davina.

“Ah, jangan bahas hal yang mengerikan itu dulu.” tukas Sindi acuh. Davina hanya memutar bola matanya malas. “Ada yang lebih penting, apakah Kak Andra-mu itu juga akan datang?”

Davina terdiam, dia mengendikkan bahunya, “Entah.”

“Hah? Kau tidak tahu?” tanya Sindi bingung.

“Aku sudah tidak berhubungan lagi dengannya sejak dua minggu yang lalu. Pesanku bahkan belum dibalas. Padahal dia pergi sudah sebulan.” Desah Davina.

“Mungkin ada urusan. Pekerjaannya sangat banyak. Positive thinking saja.” Ujar Sindi menenangkan.

Davina menganggukan kepalanya.

“Nah intinya, bagaimana kalau kita datang? Katanya ini bukan hanya sekedar pameran biasa. Ini adalah pameran untuk menandai debut seni kotemporer dengan konsep lebih segar di Indonesia dengan memperkenalkan karya para seniman terkenal di Prancis. Dan siapa tahu, Kak Andra-mu juga akan datang.”

“Haruskah?” gumam Davina bimbang.

“Kenapa?” tanya Sindi.

“Aku ingin datang, tapi aku tidak punya uang untuk membeli tiketnya.” Jawab Davina jujur.

“Soal itu gampang. Aku mengajakmu bukan tanpa persiapan. Itu karena aku sudah memiliki dua tiketnya. Satu kuberikan padamu.” Ucap Sindi riang. Dia merogoh tasnya dan mengambil tiket yang dia maksud.

Davina menerima tiket itu dan menatapnya dengan senang. Dia menatap Sindi, “Terima kasih. Aku tidak tahu harus membalas perbuatanmu dengan apa.” Ujarnya.

“Alah sudahlah, hanya selembar tiket saja. Tidak masalah untukku.” ucapnya santai.

“Jadi hubungi lebih dulu Kak Andra-mu itu lalu beritahu kau akan datang kesana. Semoga saja kerinduanmu bisa terbayarkan. Kau mengerti?”

Davina mengangguk, “Aku pasti akan datang.” Tandasnya.

“Good. Kalau begitu sampai ketemu Hari Sabtu. Omong-omong, aku harus pergi.” Pamitnya tiba-tiba.

“Kemana?”

“Kencan buta.” Bisik Sindi terkikik. “Aku pergi ya. Sampai jumpa.”

Davina melambaikan tangannya sambil tertawa pelan. Sindi dan kencan butanya memang tidak pernah terpisahkan.

Sepeninggal Sindi, Davina menatap tiket di tangannya. Dia menyunggingkan senyumnya. Semoga dia bisa bertemu dengan kekasihnya di pameran ini. Harapnya.

***

Hari Sabtu tiba. Davina sudah berada di Hotel Tan untuk menghadiri pameran seni. Sebenarnya untuk mengadakan suatu pameran seni tentu harus berada di galeri tapi di hotel juga tidak masalah. Seperti yang dikatakan Sindi, ini adalah pesta sekaligus pameran untuk menandai debut seni kotemporer di Indonesia.

“Davina!” panggil seseorang dari kejauhan. Sindi melambaikan tangannya.

Davina balas melambaikan tangan lalu mendekati Sindi.

“Oh Davina, kau cantik sekali.” Puji Sindi. Davina hanya tersenyum malu.

“Kau juga cantik bahkan jauh cantik.” Puji balik Davina.

“Terima kasih.” Ucap Sindi senang. “Kalau begitu ayo masuk.” Ajaknya.

Davina dan Sindi masuk ke dalam hotel. Mereka meliaht-lihat banyak karya seni mahal yang terpajang.

“Sindi, aku ke toilet dulu.” ucap Davina. Sindi mengangguk mengiyakan.

Davina mencari-cari toilet tapi dia malah tersesat. Ini salah satu kebiasaannya, dia selalu lupa menanyakan arah. Alhasil, dia terus saja berkeliling di lantai itu.

“Kita putus, Kean!” suara seseorang dengan nada amarah terdengar keras di telinga Davina.

Davina berjalan sebentar, dan terlihat di sebuah kamar yang redup, sebuah pasangan sedang bertengkar. Dan alangkah terkejutnya dia kala lelaki itu mencium pasangannya dengan paksa. Perempuan itu meronta-ronta minta dilepaskan. Hingga sebuah tamparan melayang ke pipinya.

“Sebaiknya atasi mabuk-mabukanmu. Dan jangan pernah menghubungiku lagi!” tekan perempuan itu langsung keluar dari kamar. Davina langsung bersembunyi agar tidak ketahuan.

“Davina, kenapa kamu penasaran dengan masalah orang lain?” gumamnya menyadarkan diri.

Davina pun hendak pergi tapi sebuah tangan malah menariknya dari dalam kamar tadi. Davina menjerit tapi mulutnya langsung dibekap.

Blam

Pintu ditutup keras. Davina yang awalnya ketakutan seketika membulatkan matanya kala lelaki yang tadi bertengkar itu dan kini menariknya masuk ke kamar adalah seseorang yang dia kenali.

“Kak Andra?!” pekiknya.

Mata Davina membulat, “Jadi, yang tadi itu kakak? Kakak selingkuh? Kakak mencium perempuan lain. Kakak sungguh selingkuh dariku?!” teriaknya marah.

Tapi kekasihnya tak menggubris ucapannya, “Kau tidak akan bisa kemanapun, Vidya. Aku akan menodaimu agar kau terus terikat denganku.” Ucap lelaki itu dengan smirknya.

Davina langsung ketakutan, “Kak jangan! Aaa!

Davina dibanting ke ranjang. Perempuan itu ketakutan setengah mati kala kekasihnya membuka pakaiannya. Dia menggerayangi Davina dengan wajah nakal.

“You’re mine, Vidya.” Desisnya.

“Tidak!”

***

Davina terbangun keesokan harinya. Tubuhnya remuk tak bertulang. Dia melirik ke sampingnya, kekasihnya masih tertidur pulas dengan wajah tanpa dosa. Seketika air mata Davina mengalir.

Apa yang telah dia lakukan? Bagaimana bisa dia diperkosa oleh kekasihnya sendiri. Davina serasa hancur luar dalam.

Sambil menahan isak, perempuan itu bangun. Area bawahnya sangat ngilu. Dengan tertatih-tatih, Davina memungut pakaiannya dan memakainya secepat kilat. Setelah itu, dia menuliskan sesuatu untuk kekasihnya.

Setelah semuanya usai, Davina keluar dari kamar hotel membawa perasaannya yang terluka.

***

Lelaki itu terbangun tak lama setelah Davina keluar. Dia memijit keningnya kala pusing menyerangnya. Dia mengerang tanpa suara.

Hingga sesuatu menarik perhatiannya. Dia mengambil memo yang tadi ditinggalkan Davina.

Untuk : Kenandra Hammasta

Aku tidak tahu kenapa kakak melakukan ini padaku. Kakak mengkhianatiku selama ini tapi aku bisa menerimanya. Tapi kakak juga menodaiku bahkan berfantasi dengan menyebut nama wanita lain. Aku tidak bisa menerimanya lagi. Kita putus!

^^^Dari : Wanita yang kau sakiti^^^

Lelaki itu terkejut bukan kepalang. Dia memegang kepalanya frustasi.

“Apa yang telah kulakukan?!” rutuknya.

***

Davina sampai di kostannya dengan keadaan kacau hingga ibu kostnya bahkan terkejut saat melihatnya. Davina langsung mandi dan menangis sejadi-jadinya dibawah kucuran shower. Dia meratapi tentang kemalangan demi kemalangan yang terjadi padanya.

Dan satu minggu kemudian, Davina berubah menjadi mayat hidup. Dia tidak tidur dan tidak makan. Kondisinya memburuk kala makanan yang dia makan selalu saja dimuntahkan. Hingga akhirnya Sindi yang sudah sangat khawatir membawanya ke rumah sakit.

Setelah diperiksa cukup lama, Davina malah disuruh ke ruangan dokter kandungan. Sindi yang bingung menurut saja. Dia membawa Davina yang pucat ke ruang dokter kandungan. Dan sesuatu yang tak pernah disangka Davina terjadi.

“Selamat Bu Davina, Anda hamil.”

Davina yang sendirian di ruangan dokter kandungan itu hanya bisa membeku. Dia ingin menangis tapi berusaha menahannya. Bukankah dia sangat menyedihkan? Dikhianati kekasihnya dan kini malah mengadung anak kekasihnya.

“Dok, boleh saya meminta bantuan?” pinta Davina pelan.

“Saya ingin menggugurkannya.”

Dokter itu nampak terkejut. Dia hendak membuka mulutnya kala pintu terbuka keras dari luar.

Brak

Seorang lelaki tiba-tiba masuk dengan wajah memerah. Dia menarik lengan Davina dengan kasar dan menghadapkan tubuhnya menghadapnya. Davina memalingkan wajahnya.

“Jangan pernah berani membunuh anakku.” Desisnya.

“Kau siapa? kau tidak berhak ikut campur!” pekik Davina dengan air mata yang mengalir. Kebencian sudah mendarah daging padanya.

“Aku adalah ayahnya. Jadi jangan pernah memutuskan sesuatu tanpa pertimbangan.” Tekannya dengan wajah dingin.

“Aku tidak sudi mengandung anakmu.” Desis Davina. Dia mengambil gunting yang tergeletak di atas meja dan menusuk perutnya sendiri.

Bless

Seketika Davina terjatuh tak sadarkan diri dengan darah yang mengalir di perut dan juga pahanya.

Terpopuler

Comments

YuWie

YuWie

lho kok

2025-04-21

0

꧁༺Clemira_Ayumna༻꧂

꧁༺Clemira_Ayumna༻꧂

lnjt thor

2021-08-04

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!