Part 5

Mentari sepenggalan naik, langit di dunia itu bersih dan cerah sekali. Annisa sudah rapi dengan kebaya cantik berwarna hijau lembut yang ia beli bersama Zahara dan Umi Rahman. Hari ini adalah salah satu hari paling bersejarah dalam hidupnya. Hatinya tak henti bertasbih memuji-muji Tuhannya. Sungguh Maha Agung dengan semua ciptaan-Nya yang terpapar nyata di hadapannya.

Pintu rumah sudah ia kunci. Ia hanya tinggal menunggu mobil keluarganya menjemput. Keluarga yang diberikan Allah padanya di dunia tanpa hubungan darah lewat Zahara Dwi Septina Wahab. Annisa meraih tas tangannya, berdiri anggun menyambut kedatangan jeluarganya. Mobil mewah itu memasuki pekarangan sederhana rumahnya.

Zahara membuka pintu mobil, tersenyum riang menyambut sahabatnya. "Assalamualaikum, Bu Dokter." sapanya menyenangkan telinga.

Annisa tersenyum tipis di ujung bibir. "Waalaikumsalam." jawabnya tenang, lalu naik ke mobil.

Zahara manyun. Bukan jawaban sesingkat itu yang diinginkannya. Si sopir dengan sigap berputar, kembali menaklukan jalanan agar dapat sampai di tujuan tepat waktu. Ini 'hari besar'.

Annisa duduk di tengah, diapit Umi Rahmah dan Zahara. Tanpa aba-aba, Annisa langsung mencium Uminya, sebuah kebiasaan yang dilestarikannya.

"Umi wangi sekali." katanya ringan.

Umi Rahmah tersenyum kecil. Entah yang sikatakan Annisa adalah sebuah fakta atau hanya sekedar untuk menyenangkan hatinya, yang ia tahu ialah, ia bahagia.

"Memangnya bau apa?" sahut Umi Rahmah, tak ingin pujian itu berhenti di situ saja.

"Bau surga!" jawab Annisa tanpa pikir panjang.

"Huuuu..." sorak Zahara yang sedang tak enak hati, "Ada maunys, tu, Mi." tambah Zahara ketus.

"Tidak. Aku serius, Ra. Cobalah kalau tidak percaya!" bantah Annisa.

"Gombal! Jelas-jelas cuma bau parfum saja." sengit Zahara.

"Sudah!" pinta Pak Rahman tak terbantahkan.

Zahara dan Annisa terdiam, namun satu sama lain masih saling berdepat dengan gerakan mulut yang tak dapat dimengerti oleh orang lain selain mereka sendiri.

Annisa merapat ke Umi Rahmah, bersandar di bahunya, bermanja.

"Umi, sudah minum obatnya?" tanya Annisa perhatian.

Umi Rahmah mengangguk, didekapnya tubuh langsing itu.

"Kaki Umi sudah tidak sakit lagi, kan, kalau bangun tidur?" tana Annisa lagi.

"Tidak, Dokter." jawab Umi Rahmah lembut.

Pak Rahmat dan Putranya sesekali melihat kemesraan ibu dan anak itu dari kaca depan, menyenangkan mata mereka. Sedangkan Zahara yang ganpang tersulut emosi, makin maju bibirnya.

"Ra...." panggil Annisa. Zahara tak menyaut.

"Zahara!" panggil Annisa lagi. Zahara masih tak menyaut.

"Dokter Zahara!" panggil Annisa untuk ketiga kalinya.

"Hmm..." sahut Zahara masih kurang senang.

"Dokter Zahara Dwi Sepina Wahab!" panggil Annisa lengkap.

"Ada apa?" sahut Zahara lebih baik dari sebelumnya.

"Katamu Mas Khairul sudah pulang dari London? Mana dia?" tanya Annisa yang sama sekali tidak mengetahui si sopir adalah orang yang ia tanya.

"Kenapa tanya-tanya? Kamu rindu pada masku itu?" Zahara balik bertanya.

"Iya!" jawab Annisa spontan.

Khairul berdebar-debar mendengar jawaban itu, taman jiwanya serasa dipenuhi bunga-bungaan dengan aroma semerbak, menyebarkan kebahagiaan ke seliruh pembulu darahnya.

"Itu dia di depan. Sudah terbang ke langit ke tujuh Mas Irul mendengar jawabanmu tadi, Nis." cerocos Zahara tak bisa di tahan.

Wajah Annisa seketika bersemu merah, malu benar ia jadinya.

"Ada Mas Khairul rupanya. Kapan Mas sampai?" tanya Annisa basa-basi berusaha menguasai keadaan.

"Iya, Nis. Kemaren siang." jelas Khairul singkat dengan suara yang ia paksakan senormal mungkin, tak ingin ketahuan betapa bergetar jiwanya.

"Betah banget di London, ya, Mas? Kalau tidak disusulin Abi sama Umi ke sana, apa tidak akan pulang?" tanya Annisa agak menyindir.

Umi Rahmah dan Pak Rahmat tersenyum kecil menanggapi pertanyaan Annisa.

"Tidak. Bukan begitu." jawab Khairul pendek.

"Jangan-janga ada wanita London yang bikin Mas malas pulang!" duga Annisa bercanda.

"Ahh.... tidak, Nis!" tukas Khairul cepat.

"Kata Mas Khairul, dia tidak tertarik dengan wanita barat. Semuanya seba terbuka, hilang selera katanya, Nis." sergah Zahara.

Khairul cemberut, adiknya sepertinya masih marah dengan peristiwa semalam.

"Zahara balas dendam." bisik Khairul kesal.

"Trus kata Mas Khairul, kadang-kadang dia keluar jalan-jalan. Waktu masih ada Kak Oji. Terus kadang sama Richard, teman bule setianya. Dan terkadang sendiri. Sendiri? Nggak mungkin banget, kan, Nis? Nikmatin salju pertama turun sendiri? Momen seindah itu, sendiri? Iiiiiihh... bohong banget.

Sepertinya Mas Khairul memang punya teman wanita di London. Tapi nggak berani saja bilang ke kita. Ya, kan, Mad?" tuduh Zahara seenaknya, berkata-kata sesuka hatinya.

"Jangan percaya, Nis! Dia masih marah karena sekarang ini sedang musim semi di sana, sementara dia ingin ke sana. Pengen liat salju katanya." Khairul membela diri.

Annisa senyum-senyum menyaksikan perkelahian mulut kakak beradik itu. Kemudian Tom and Jerry itu diam, menghentikan adu mulut mereka.

"Annisa juga pengen kesana, Ra. Nanti kalau sudah akhir-akhir musim gugur atau awal musim dingin kita kesana, ya?" celetuk Annisa tiba-tiba mendukung sahabatnya.

"Pasti seru, Ra! Gimana rasanya, ya?" Annisa membayangkan indahnya saat-saat itu.

Zahara tersenyum. "Sahabatku...." gumamnya dengan menggenggam tangan Annisa.

"Oke! Saat ada waktu luang nanti, kita pergi ke sana." sambut Zahara.

Annisa mengangguk, kemudian mereka bersitatap. "Tapi kapan kita ada waktu luangnya, Ra? Empat minggu lagi kita ke Riau buat internship, paling cepat setahun, terus lanjut PPT dua tahun lagi, lalu studi spesialis. Kapan kita perginya?" ucap Annisa menggores nestapa di tengah rencana indah mereka.

Zahara membulatkan matanya, menyemangati dirinya sendiri dan Annisa.

"Pasti bisa, Nis. Kita juga harus menyisihkan waktu buat liburan, paling lama juga dua mingguan. Oke! Semangat! Kita pasti bisa ke Eropa!" ungkap Zahara optimis.

"Setuju!" seru Khairul menyemangati.

"Tapi, kalau memang agak sulit ke Eropa, ke Australia saja. Di sana juga 4 musim, Ra. Ada saljunya juga, kok. Lebih dekat dan hemat." seru Khairul mengusik Zahara.

"Abi....." rengek Zahara.

"Mas Khairul, Bi...." tambah Zahara hampir putus asa menghadapi Khairul seorang diri.

"Rul....." tegur Pak Rahmat.

"Zahara puas, lalu menjulurkan lidahnya mengejek Khairul.

******

Terpopuler

Comments

Nur hikmah

Nur hikmah

gemes ma babang khairul.....g brani terus terang ,,...

2021-08-29

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!