Part 3

"Dia sangat menjaga jarak dengan pria, Mas. Sedangkan Ara, sedikit lebih membuka persahabatan dengan pria. Tapi tetap dengan batasan-batasan yang wajar." Zahara meluruskan kata-katanya agar Khairul tak salah mengerti.

"Ara juga takut mendapat laknat Allah jika Ara melakukan yang tidak diinginkan-Nya. Begitulah." Zahara mengakhiri ceritanya.

"Sekarang ceritakan tentang London, Mas! Apa hebatnya London itu, hingga mampu menahan Mas, bahkan hampir menggenapi tahun ke sembilan menetap disana, jika tak dijemput paksa Abi dan Umi. Apa hebatnya memangnya negara itu, Mas? Sepertinya Mas betah sekali di sana. Apa wanita-wanita di sana ada yang menarik hati Mas hingga tak mau pulang?" tanya Zahara antusias.

Khairul menatap adiknya penuh kasih, tersenyum hangat, kemudian melayangkan pandangannya ke langit malam, mengenang masa-masa yang dilaluinya di negeri rantaunya itu.

"Hmm.... bagaimana, ya? Cantik, sih. Cantik-cantik sekali malah. Hanya saja tak ada yang membuat Mas tertarik, Ra. Mereka cantik ala barat dengan pakaian yang kekurangan bahan di mana-mana. Mas paling tidak suka wanita-wanita yang mempertontonkan auratnya pada dunia. Menyedihkan sekali rasanya wanita-wanita itu. Hampir seluruh auratnya telah dipertontonkannya. Kasihan suami mereka, Ra, hanya dapat sisanya," nilai Khairul.

"Mas suka wanita yang cantik ala islam. Bukan berarti di sana tidak ada muslimah, Ra. Ada, Tapi, sekali lagi. Tak ada yang mampu membuat Mas tertarik," cerita Khairul tenang.

"Khairul diam, ditolehnya sejenak Zahara yang tak beralih memandangnya sejak ia mulai bercerita. Ia mengukir senyum andalannya, lalu melempar pandangannya ke langit malam dan melanjutkan ceritanya.

"Kamu, kan, tau, setelah selesai studi MBA, Mas ditawari pekerjaan di salah satu perusahaan dunia di sana. Hitung-hitung sebagai tambahan modal sebelum membantu Abi si perusahaan nanti. Bekerja dengan orang-orang hebat yang mengajarkan ilmu-ilmu berharga yang tidak Mas dapatkan di bangku kuliah. London luar biasa! I miss London!" ungkap Khairul.

"Sekali waktu, Mas berkeliling kota inggris itu. Ketika masih ada Fauzi, jalan-jalan sama Fauzi. Setelah dia balik ke indonesia dua tahun lalu, maka Mas pergi dengan Richard, teman kerja Mas, terkadang juga pergi sendiri. Menikmati empat musim berganti setiap tahunnya dan setiap pergantian musim pula, Mas berdoa semoga di musim berikutnya dapat menikmatinya bersama Kamu, Umi, Abi, dan...." Khairul menahan lidahnya untuk tak menyebutkan satu nama yang lama disembunyikan hatinya, lalu berusaha secepatnya menguasai keadaan.

"Oh ya, Kamu suka salju, kan, Ra? Udah pernah ketemu salju asli, belum? Belum pernah, ya?" goda Khairul.

Zahara manyun. Ia tak dapat membantah pernyataan yang begitu menyakiti harga dirinya itu. Khairul menjepit mulut manyun adiknya dengan tangan kanannya, lalu melempar lagi pandangannya ke langit malam yang begitu memanjakan matanya itu.

Zahara kembali memperhatikan saudaranya yang kembali memandang jauh kelangit malam. Ia beranggapan bahwa Khairul sedang menyusun bintang-bintang guna membentuk satu gugus bintang baru membentuk nama orang yang disembunyikannya itu. Seketika mata Zahara perih, begitu pula dengan hatinya.

Mengapa aku terlalu banyak tahu? tanyanya lirih dalam hati.

"Bagaimana denganmu, Ra? Apa tidak ada pria yang berhasil menyita sedikit waktu adikku ini?" Khairul berusaha mengulik perkara hati adiknya yang tak pernah sedikitpun dibuka Zahara padanya.

Zahara diam sesaat, gantian dia yang melayangkan pandangannya ke langit malam, lalu kembali pada Khairul di sampingnya.

"Sejauh ini hanya rasa kagum saja yang Ara punya atas pria yang keliatannya luar biasa itu, Mas. Sejauh ini belum ada pria yang berhasil menyita waktu Ara yang berharga hanya untuk memikirkan seseorang. Apalagi harus mempertimbangkannya atau membayangkan masa depan dengannya," tambah Zahara seadanya, mengeluarkan watak kerasnya yang tersamarkan oleh sikap periang dan manjanya. Khairul memperhatikan air muka adiknya yang santai tak berbebab.

"Sepertinya yang keras pada diri sendiri itu bukannya Annisa, tapi kamu, Dik." Khairul menanggapi.

"Bukannya begitu, Mas. Memang belum ada saja pria yang berhasil menggetarkan hati Ara." Zahara membela diri.

"Hmmm.... Kamu mau tidak, Mas kenalkan dengan seseorang?" tawar Khairul.

"Boleh. Siapa?" jawab Zahara terbuka.

"Bagaimana dengan Fauzi?" lanjut Khairul.

"Kak Oji! Kalo Ka Oji, Ara, kan, sudah tahu." balas Ara seperti tak mengerti maksud Khairul.

"Apa kamu tidak menyadarinya, Ra?" tanya Khairul menyelidik.

"Apa? tanya Zahara datar dengan wajah bodohnya itu.

"Sahabat Mas itu diam-diam menyukaimu. Kamu tidak sadar?" jelas Khairul.

"Hmmm.... Ara tau, Mas. Tapi Ara tidak mau tau. Ara tidak suka pria pengecut. Apa susahnya mengatakannya pada Ara, Mas. Ara bukanlah monster yang akan menelannya. Seandainyapun Ara adalah seorang monster penyuka daging dan darah manusia, setidaknya dia tetap mengatakannya pada Ara. Pengecut! Bodoh! Ara benci pria pengecut yang bodoh." jelasnya dengan wajah mengeras.

Khairul menelan ludah mendengar penuturan Zahara yang jauh dari perkiraannya, hingga Ia tak mampu memberikan tanggapan apapun.

"Haahhh...." Zahara menghela napas keras.

"Besok Ara wisuda, Mas. Apa Mas seperti ini juga sebelum wisuda?" ucap Zahara tiba-tiba, melupakan pertanyaan Khairul yang sedikitpun tak ingin dipikirkannya, apalagi sampai menganggunya.

"Zahara deg-degan, Mas. Ara saja deg-degan begini, lantas bagaimana dengan Annisa yang akan memberi sambutan besok? Ahh.... Ara tak mampu membayangkannya." Zahara geleng-geleng kepala.

Khairul tersenyum indah, mengenggam tangan adiknya, menyemangatinya, pun melupakan pembicaraan mereka barusan.

"Tidak apa-apa. Nikmati saja! perasaan seperti ini mungkin akan kamu harapkan untuk terulang kembali dikemudian hari. Jadi, dinikmati saja." saran Khairul yang sudah berpengalaman dengan perasaan itu. Khairul mengelus-ngelus lagi kepala Zahara.

"Mas!" Zahara berang.

"Mas rindu padamu, Kecil ( panggilan sayang Khairul untuk Zahara sebab tubuhnya yang kecil)." papar Khairul.

"Ara tau, Mas! Ara ini ngangenin," jawab Zahara begitu percaya diri. Khairu mengelus-elus kepala Zahara mengulang hal yang tak disukai adiknya itu.

"Hentikan, Mas! Jilbab Ara berantakan!" cerocor kesal, mengerut wajah si Kecil dibuatnya.

"Oh ya, Mas. Zahara masih ada waktu empat minggu lagi sebelum internship ke Riau. Ayo kita ke inggris, Mas!" ajak Zahara tak terduga.

"Ahh.... malas! Mas juga baru balik dari sana!" jawab Khairul tak menyenangkan hati lawan bicaranya.

"Ayolah, Mas! Mas belum memberi Ara hadiah kelulusan, kan? Ara minta hadiah Ara. Mas harus jadi tour guide Ara. Kita keliling inggris. Kalau Mas bosen dengan inggris, kita ke negara Eropa lain saja. Terserah Mas saja mau ke mana, yang penting ada saljunya, Mas. Yah?" bujuk Zahara lagi.

"Selama Mas di London, tak pernah sekalipun Ara ke sana, apalagi ke negara Eropa lain. Paling jauh Arab Saudi waktu umroh bareng Umi, Abi, sama Annisa. Di sana cuma ada gurun pasir, Mas. Ngga ada salju, Mas...." Zahara merengek.

"Zahara pengen liat dan pengen tahu gimana rasanya salju turun, Mas. Ya?" Zahara memohon.

"Hmmm...." Khairul menundukkan kepalanya, seperti sadang memecahkan teka-teki tingkat dewa, kemudian mengangkat kepalanya.

"Baiklah! Coba tanya Abi dan Umi dulu. Kalau boleh, kita pergi!" sebut Khairul membesarkan hati Zahara.

Zahara sumringah. "Oke! Nanti Ara bujuk abi! Kalau Abi sudah setuju, Umi nanti ikut setuju. Semangat!" cetus Zahara menyemangati dirinya. Zahara memikirkan cara terbaik untuk membujuk Abinya agar mendapat izin guna melegalkan keinginannya.

"Hmmm.... Ra, meskipun nanti kita jadi pergi, sepertinya kita juga tidak akan berjumpa salju. Sekarang, kan, bukan musim dingin, Ra. Di sana sedang musim semi, Ra. Gimana dong?" ucap Khairul menyirnakan rasa bahagia Zahara.

Zahara menggigit bibirnya menahan kesal. Tangan kanannya segera di arahkannya ke pangkal lengan Khairul, sekuat tenaga melancarkan cubitannya.

"Aauuu.....!" erang Khairul.

"Maaf! Maafkan mas, Ra?" sebut Khairul merasa bersalah, pun berharap jari-jari kecil Zahara segera berhenti mencubit pangkal lengannya.

"Kalau memang mau pergi, Mas akan jadi tour guide Kamu yang setia. Oke?" imbuh Khairul berusaha mengembalikan mood baik adiknya.

"Batal! Tujuan utama Ara ingin ke sana itu karena melihat salju. Kalau tidak ada salju, maka jadi tidak menarik lagi." ungkap sahara kesal. Khairul mengelus-elus pangkal tangannya yang pedih.

"Eropa juga indah meskipun sedang tidak turun salju. Ayolah! Jangan cemberu!" bujuk Khairul.

"Ara mau ke sana jika sedang turun salju saja. Jika tidak ada salju, maka tidak jadi, Mas. Batal!" ucap Zahara bersikeras. Khairul terdiam, tak berani mengusik dr.Zahara Dwi Septiana lagi.

******

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!