...Hari Besar...
Sayup-sayup suara azan mulai terdengar, menerobos hingga ke bilik sederhana kediaman Annisa. Luas rumah warisan orang tuanya itu bahkan tak lebih besar dari kamar Zahara, sahabat karibnya, si anak gedongan. Annisa yang memang tak tidur segera melangkahkan kakinya ke kamar mandi.
Kreekkk.... suara pintu belakang rumahnya bergerak. Annisa membersihkan dirinya, lalu membuka keran. Benda cair bening itu meluncur syahdu. Begitulah salah satu cara benda mati itu beribadah pada Tuhannya, menyucikan manusia yang hendak menghadap pemilik seluruh jagad.
Air mata wanita itu menyatu padu bersama air wudu yang membasuh wajahnya. Kejadian hebat yang menghantam sanubarinya rupanya masih membayang di depan matanya. Pedihnya deraan kata-kata milik si kaya tak mungkin sirna dari semalam.
Annisa bergegas menuju Masjid Baiturrahman di dekat rumahnya. Masjid ini punya arti tersendiri baginya. Tak hanya karena masjid ini begitu nyaman dan menenangkan bagi siapa saja yang berada di dalamnya, tapi juga karena Masjid ini menyimpan begitu banyak kenangannya. Terjadi begitu banyak sejarah di hidupnya, di Masjid ini. Masjid ini adalah saksi sejarah atas kecintaan Tuhannya atas dirinya, saksi kunci betapa ia begitu dicintai oleh ayahandanya. Masjid ini pulalah yang masih merekam tiada cacat atas segala pintanya pada Allah, Sang Maha Penguasa.
Muazin telah memperdengarkan iqamat Subuh, pertanda bahwa salat akan segera ditunaikan. Annisa mengisi saf kosong di barisan depan. Terdapat lima orang jemaah wanita, diantaranya dua orang yang sudah sepuh, ibu RT bersama anak bungsunya, siswi kelas dua Madrasah Aliyah, dan dirinya. Sedangkan jemaah laki-lakinya sedikit lebih banyak.
"Allahu akbar....!" takbiratul ihram pertama dilantangkan oleh imam, Pak Ali Mujiin, dan diikuti oleh makmumnya. Suara Imam satu ini sungguh patut diperhitungkan. Suaranya memang tak semerdu imam Masjidil Haram atau paling tidak, Masjid Istiqlal. Namun ada yang berbeda pada suaranya itu. Ada keteduhan dan kerendahan hati pada suaranya. Suaranya menyiratkan betapa pemiliknya begitu merendahkan dirinya di dihadapan Robb-Nya, teramat sangat mengharapkan perjumpaan dengan-Nya, benar-benar berharap keridaan Allah atas dirinya. Sehingga para makmumnya juga terbawa dan hendak begitu pula. Air mata kerinduan akan pertemuan indah itu terlahir begitu saja di pelupuk mata mereka yang merindu.
Annisa banjir air mata. Betapapun ia mencintai seseorang hendaknya tidaklah melebihi kecintaanya terhadap Tuhan seisi langit dan bumi. Betapapun ia merindukan seseorang hendaknya tidak melebihi besarnya rindu terhadap Allah yang mewarisi rindu di hatinya. Begitulah seharusnya. Adakah dia begitu? Ia bertanya-tanya sendiri. Air matanya tak berhenti menitik, hingga salam. Ia menyapu wajahnya, mengeringkan air matanya sesegera mungkin. Tak ada yg boleh melihat air mata ketololannya, begitu pikirnya.
Ia tersenyum manis sebisanya menyapa Bu RT di sampingnya. Mulut para jemaah komat-kamit melantunkan zikir yang dipimpin Pak Ali. Ada juga beberapa orang jemaah yang langsung meninggalkan saf tak ikut zikir dan doa bersama. Mereka punya zikir dan doa ala mereka sendiri. Jemaah yang tersisa menangkupkan kedua belah tangan mereka. Mengamini doa-doa yang dipanjatkan imam dalam bahasa Arab itu. Kebanyakan dari mereka hanya tahu mengamininya saja tanpa tahu artinya. Mereka yakin dan percaya bahwa apapun doa yang dipanjatkan imam mereka, pastilah mendoakan semua kebaikan.
Walaupun tak mengerti arti dari setiap doa tersebut, setidaknya ada satu doa yang mereka mengerti dengan baik yaitu doa sapu jagad. Sungguh terlalu jika doa itupun tidak tahu. Doa dilengkapi dengan surah Al-Fatihah, lalu para jemaah bersalaman, kemudian bergegas menuju rumah mereka masing-masing. Mungkin diantara mereka ada yang ingin mempersiapkan segala sesuatu untuk memulai aktivitas atau mungkin ada pula yang hendak mengulang tidur.
Bu RT tampaknya tak ingin segera pulang. Ia bahkan menyuruh Della, si bungsu, pulang lebih dulu dengan Nek Ranti dan Umi Ati. Ia menyusul Annisa yang sudah lebih dulu beranjak menuju lemari tempat diletakkannya Alquran, lalu duduk di sujud kanan belakang Masjid. Bu Maryam duduk di samping Annisa. Annisa tersenyum simpul menyapanya, ia belum membuka Alquran berwarna emas yang diambilnya. Apa yang menyababkan Bu Maryam tiba-tiba menghampirinya, seketika menjadi buah pikirannya.
"Selamat, Nak!" ucapnya tak terduga oleh Annisa. Annisa tersenyum sekenanya, tak mengerti mengapa ia diberi ucapan selamat.
"Kamu hebat, Nis! Jangankan orangtuamu, Nis, ibu saja yang hanya teman orang tuamu yang kebetulan tetanggamu turut bangga atas kesuksesanmu. Kamu mengungkir sejarah, Nis. Kamulah orang pertama di daerah tempat tinggal kita yang jadi dokter." papar Bu Maryam berbangga.
Annisa tersenyum penuh syukur, menyelamati dirinya dengan senyumnya itu. Bu Maryam mendekatkan wajahnya ke wajah bersih itu, mengecup pipi kanan dan kirinya. Tak ketinggalan keningnya. Mata Annisa berkaca-kaca, ia berusaha sekuatnya untuk tak menangis.
"Fatimah akan sangat bangga padamu, Nis. Ia tak sia-sia menyerahkan hidupnya untukmu. Tak percuma ia mengganti kehidupannya dengan hidupmu." papar Bu Maryan lembut, mengagalkan usaha Annisa menahan tangisnya.
"Nis, kamu tahu? Seandainya suami ibu setuju, sudah sejak ayahmu meninggal ibu ingin mengangkatmu menjadi anak." Bu Maryam tertawa geli sendiri.
"Maklumlah, Nis. Ekonomi keluarga ibu sulit. Bapak hanya satpam, berapalah gajinya." lanjutnya mengeluhkan keadaannya.
Belum sempat Bu Maryam menuntaskan kalimatnya, Annisa sudah lebih dulu memotongnya. Ia tak ingin Bu RT baik hati itu menyalahi dirinya dan ketidakmampuannya lebih jauh.
"Tidak apa-apa, Bu. Meskipun Annisa tak tinggal dengan ibu, sungguh perhatian ibu dan keluarga terhadap Annisa sudah lebih dari cukup untuk menunjukkan bahwa Annisa bagian dari keluarga Ibu." tutur Annisa menahan haru hatinya.
"Fatimah itu sahabat erat Ibu, Nis. Bisa dikatakan seperti kamu dan Zahara. Tapi bedanya, kami sama-sama miskin." Bu Maryam tersenyum kecil mengatakannya.
"Ibu tahu dengan baik bagaimana dia, siapa dia, darimana asalnya, termasuk siapa saja pria yang mendekatinya. Yang jelas apapun tentang dia, ibu tahu. Begitu juga sebaliknya." jelasnya lagi.
"Kamu tahu, kan?" tambah Bu Maryam menegaskan. Annisa mengangguk, tersenyum tawar kemudian. "Ibu sudah sering sekali mengatakan hal ini." sahut Annisa.
"Iya juga, ya." balas Bu Maryam menyadari.
"Ibu juga tidak mengerti, Nis. Ada kebanggaan tersendiri bagi ibu saat mengatakan ini. Memiliki sahabat seperti ibumu itu siapa yang tak bangga, hanya orang tertentu yang bias." Bu Maryam pamer. Annisa tersenyum tipis karenanya ikut merasakan kebanggaan yang dirasakan Bu Maryam.
"Nis, ciuman tadi itu dari ibumu." ucapnya bergetar. Suara Annisa tercekat mendengarnya, air matanya jatuh seketika.
"Semalam Fatimah datang di dalam mimpi ibu. Setelah 24 tahun lebih berlalu, ibumu datang menjumpai ibu. Wajahnya tampak lebih cantik dari terakhir kali ibu melihatnya dengan sekujur tubuhnya bercahaya. Begini katanya, Nis, "Katakan pada putriku, Maryam, bahwa aku mencintainya. Meskipun aku tak ada, bahkan di detik pertama kehidupannya, bukan berarti aku tak ada. Katakan pada permata jiwaku bahwa aku juga bersedih tak bisa hidup bersama dengannya lebih lama. Tapi Allah tak menghendaki aku memiliki kesempatan untuk hidup bersama putriku. Katakan kepadanya bahwa kehendak Allah lah yang terbaik. Mintalah dia agar lebih bersabar hingga Allah persatukan kami di alam keabadian." Bu Maryam menghela air matanya, menahan haru kalbunya.
"Maryam, bantu aku! Sampaikan ciuman cintaku untuknya!" lanjut Bu Maryam tersendat. "Ibu mencintaimu, Annisa! Begitu kata-kata terakhirnya, kemudian ia berlalu dan menghilang dibalik cahaya." Bu Maryam menyapu wajahnya.
Annisa banjir air mata. Ia terisak lama setelah mendengar penuturan Bu Maryam.
"Ibumu sangat mencintaimu, Annisa." tambah Bu Maryam lalu merangkul Annisa, menepuk-nepuk punggungnya hingga Annisa tenang.
Annisa masih menyimpan haru di ujung hatinya, meski ia sudah terlihat biasa. Ia pandangi Bu Maryam lamat-lamat. Di pandangannya saat itu ialah bahwa yang di hadapannya tersebut bukan Bu Maryam, melainkan Ibu kandungnya sendiri. Ia kecup pipi kanannya lalu beralih ke pipi kirinya, kening yang mulai mengkerut itu kemudian. Pipi Annisa yang tadi sudah dikeringkan dari air mata kembali basah oleh satu bulir air mata lagi.
"Aku mencintaimu, Ibu." sebut Annisa sepenuh hati dengan air mata yang lagi-lagi membasahi wajah halusnya.
"Kalau nanti ibuku datang lagi menemui Ibu, maka sampaikan ciumanku dan ungkapan cintaku ini pada beliau, Bu Maryam." pinta Annisa berkaca-kaca.
Bu Maryam mengangguk paham. Gantian suaranya yang tercekat, penuh oleh tangis dan sesak yang tertahan. Seketika sosok Fatimah dan kenangan lalunya bersama sahabatnya itu membayang di depan matanya.
******
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments
RinNi
😭😭😭
2021-08-29
0
Nur hikmah
sedih
2021-08-29
0