Di meja makan rumah orang tua Benaya...
"Serius kakak tugas ke Manado?"
Rebbeca, adik perempuan Benaya bertanya.
"Iya... minggu depan proyek udah jalan..."
"Hahaha... akhirnya kakak pulang kampung deh..."
Ekspresi muka Benaya entah seperti apa diledekin Beca. Semua keluarga tahu-lah Ben gak pernah antuasias diajak ke Manado. Dalam banyak kesempatan pulang Ben gak pernah ikut, alasan klasiknya dia yang jagain rumah.
"Eh kak... apartemen kakak aku pake ya... kan sayang gak ditinggali setahun dua tahun."
"Gak... nanti apartemen aku hancur, dua anakmu gak tahu aturan."
"Ihh kakak... belum punya anak makanya gak ngerti jiwa anak."
"Aku tuh kalau punya anak akan aku ajarin gimana menghargai barang, ngerusak kok dibilang kreatif. Mereka yang terlalu pintar atau kamu yang bodoh sih... didik anak yang bener bukan dimanjain..."
"Ben!"
Mama menengahi, jika dibiarkan pasti kalau bukan Benaya yang keluar rumah pasti Rebbeca yang menangis.
"Ma... jangan terlalu lembek sama cucu, aku masih ingat gimana didikan mama sama papa, beda banget ma, jangan terlalu banyak toleransinya, anak harus tahu apa yang tidak boleh... Sekarang mereka masih bisa diajar, diarahkan, kalau udah gede kamu nangis darah Beca... mereka gak akan denger kamu..."
"Emang kakak udah punya pengalaman ngedidik anak, punya anak aja belum..."
"Gak harus punya anak dulu untuk tahu gimana mendidik yang bener... Kenapa kalau kamu kewalahan sama mereka kamu bawa-bawa nama aku nakutin mereka, biar apa coba? Artinya apa coba? Artinya kamu mengakui kalau aku turun tangan mereka pasti mau denger... Sekarang belajar gimana supaya mereka mau denger kamu..."
"Aku kasihan kak... mereka udah gak punya daddy..."
"Aku juga kasihan Beca, aku juga sedih buat mereka masih kecil-kecil daddynya udah diambil Tuhan, tapi aku akan lebih sedih lagi kalau mereka gak dididik dengan benar, suka seenaknya bahkan kadang bersikap kurang ajar sama mama, sama kamu..."
"Aku harus gimana kak..."
Rebbeca mulai menangis, kesedihan terasa lagi setelah enam bulan suaminya pergi. Sejak kejadian itu dia pindah tinggal bersama orang tua lagi, kepedihan dan kesedihan membuat dia hampir kehilangan arah.
"Beca, masa berkabung udah lewat, sekarang saatnya kamu kerja lagi, kamu punya banyak keahlian yang bisa menghasilkan. Aku gak bisa terus-terusan bantu kamu, bukannya gak mau tapi nanti kamu akan semakin lumpuh dan semakin bergantung pada mama, pada orang lain. Sementara anak-anakmu semakin lama semakin banyak kebutuhannya. Dan terakhir... didik anak-anak dengan benar, kamu masih ingat gimana kita berdua dididik kan... praktek itu."
"Iya kak..."
"Kita berdua dulu dididik papa mama malahan pakai sapu ingat kan ****** kamu pernah rasain itu... sekarang sih nggak bisa kayak gitu, masuk kekerasan terhadap anak, tapi ada-lah cara membuat mereka mengerti salah mereka apa..."
"Mama ingat opa selalu bilang ke mama, siapa tidak menggunakan tongkat, benci kepada anaknya; tetapi siapa mengasihi anaknya, menghajar dia pada waktunya... makanya mama nggak segan mukul kalian saat kalian salah, itu pun menurut mama masuk kategori pelanggaran berat untuk mama, kayak waktu Ben masih SMP coba-coba merokok mama pukul pakai sapu, kayaknya itu terakhir ya..." mama Litha menimpali.
"Iya ma... aku tahu kok, mama nggak sembarangan mukul, pasti ada alasannya... ya itu... sekarang anak-anak dilindungi undang-undang, nggak bisa sembarangan, kita yang harus bijak-bijak... denger kamu bebek, udah punya dua anak masih aja nggak dewasa..."
"Ihh kakak, kok manggil aku bebek lagi sih..."
"Sini..."
Benaya menarik lengan adiknya masuk ke pelukannya, membiarkan adiknya menangis di dadanya. Mama juga menangis tanpa suara. Benaya bisa bersikap tak acuh pada banyak wanita di luar sana, tapi untuk dua wanita di rumah ini dia akan selalu melimpahkan perhatian dan kasih sayang. Aslinya Benaya berhati hangat dan lembut, tapi tidak pernah dia tunjukkan untuk orang lain, untuk orang yang dianggap tidak penting.
"Kakak ihh, mau pergi malah bikin aku nangis..."
"Aku ke sini memang mau ngomong itu ke kamu, udah lama mau ngomong sebenernya, baru sekarang bisa, eh pas aku harus pergi, ya... sekalian pamit..."
"Aku sama anak-anak boleh gak main ke tempat kakak nanti? Matthew belum pernah ke Manado..."
"Iya lihat sikon ya... Eh mana si Matius, aku bawa Lego yang dia minta kemaren..."
"Matthew kak... Matthew..."
Rebecca protes ke kakaknya yang selalu memanggil Matthew dengan Matius.
"Lebih simple Matius, lebih enak nyebutnya, gak usah sok keren. Nama kamu juga Ribkah pake diganti Rebbeca..."
"Ihh kakak gitu amat..."
"Matius... Mat... Tius..."
Benaya tak menghiraukan protes sang adik, ponakan bungsunya yang berusia 6 tahun datang mendekat dengan ekspresi agak takut.
"Ayo sini..."
Ben mengulurkan tangannya menggapai tangan kecil Matthew dan membantu tubuh kurus itu duduk di kursi di sebelahnya.
"Tadi oma bilang kaca di jendela dapur pecah... siapa yang mecahin?"
Benaya bertanya dengan nada tegas tapi tidak kasar, dia menatap lurus ke wajah ponakannya.
"Mat... Lihat papi Bipi..."
Anak kecil itu mengangkat wajahnya masih takut.
"Siapa yang menimpuk kaca jendela dapur dengan batu?"
"Matthew... papi Bipi..."
"Jendelanya rusak gak?"
"Rusak..."
"Jadi, Mat udah rusakin jendela oma, apa itu bagus?"
"Gak... papi Bipi... itu nakal..."
"Mau buat seperti itu lagi?"
"Gak... papi Bipi..."
"Bagus..."
"Mat salah?"
"Iya... papi Bipi..."
"Jadi, kalau salah harus apa?"
"Minta maaf... papi Bipi..."
"Sana minta maaf sama oma..."
Matthew turun dari kursi dan mendekati oma Talitha yang menatapnya haru...
"Oma... Matthew minta maaf..."
Anak kecil itu menangis, oma Litha juga menangis kemudian menyambut cucunya dengan pelukan.
"Oma maafin sayang... jangan lagi ya nak..."
"Iya oma..."
"Sini... papi Bipi punya sesuatu buat Mat, Lego yang Mat minta kemaren..."
Benaya mengusap kepala ponakannya sebelum menyodorkan sebuah kantong plastik.
"Makasih papi Bipi..."
Wajah Matthew segera berganti warna, dia tersenyum menerima mainan yang dibawakan omnya. Sementara Beca yang memperhatikan interaksi kakaknya dengan anaknya hanya bisa mengusap airmatanya. Dia bertekad untuk bangkit sekarang demi dua jagoannya. Jika dia terus menerus terpuruk dalam dukacita tak berujung, benar kata kakaknya tadi, entah apa jadinya anak-anaknya di kemudian hari.
"Makasih kak..."
Beca berujar lirih disambut anggukan sang kakak.
"De... mau dibantuin gak susun Legonya?"
"Gak ma... Matthew bisa sendiri kok..."
Anaknya berlalu dari ruang makan dengan wajah berseri-seri.
"Ben... kamu udah siap-siap untuk pindah?"
"Belum ma... baru tadi kok dikasih tau sama boss..."
"Perlu bantuan kak?"
"Gak usah, paling bawa baju sama beberapa buku doang... nanti aku pulang juga sekali-sekali jika ada waktu..."
"Dikasih rumah atau apartemen?"
"Belum tahu ma... tapi katanya sudah disiapin kantor sih... Papa biasanya udah nyampe rumah, apa ada tugas luar lagi?"
"Gak... tadi bilangnya mau langsung ke kegiatan kawanua... Ben, papa pasti senang itu kamu ke Manado..."
"Biar aja papa senang, memangnya kenapa kalau aku ke Manado?"
"Mama gak tahu... mungkin obsesi papa kamu punya istri orang Manado, dan dia pikir lebih mudah mendapatkan itu saat kamu ada di sana, bekerja di sana dan bergaul dengan orang sana."
"Absurd banget..."
"Buat kamu seperti itu, tapi buat papa logis aja..."
Benaya hanya senyum kecil, iya dia ke Manado tetapi bukan buat cari istri kan... buat kerja, kerja dan kerja. Memang apa yang akan terjadi di sana, di sini dan di sana sama aja kan... Benaya tidak akan mampu digoyahkan dalam prinsipnya. Dia tahu bagaimana menyikapi urusan yang tidak penting di antaranya urusan wanita.
.
.
Yang menyukai ini... silahkan Like dan comment dan jadikan favorit, juga boleh kasih hadiah...😚😇
.
✴✴✴
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 97 Episodes
Comments
Putri Minwa
benar begitu benaya
2023-02-10
0
Mudhofar Sulton
suka ceritamu yang sederhana dan realistis Thor...😍
2021-09-21
1
Sri Astuti
suka gaya nulisnya.. mengalir ringan
2021-09-06
1