Pagi-pagi sekali, Kaila sudah bergelut di dapur dengan peralatan masaknya. Yah, inilah keseharian ibu tunggal itu, selain mengurus usaha kuenya dia juga harus mengurus tiga malaikat kembarnya.
Beberapa menit kemudian, sarapan nasi goreng selesai di masak. Wanita berparas menawan itu pun, mulai menghidangkannya pada tiga piring yang sudah siap di atas meja.
"Kembar!!" Kaila berteriak saat dia masih menyendok nasgor ke piring terakhir.
"Twinss!!" Sekali lagi Kaila berteriak memanggil ketiga anaknya, setelah beberapa menit tak ada jawaban.
"Mana mereka? Apa mereka belum bangun?" gumam Kaila saat sedang membuat tiga gelas susu.
Kaila mengaduk gelas dengan raut wajah bingungnya. Rasanya tidak mungkin ketiga anaknya itu belum bangun.
Kaila sangat mengenal triple twinsnya, mereka sangat rajin bangun pagi untuk bersiap ke sekolah. Namun, sampai detik ini, kenapa mereka belum muncul ke ruang makan.
Wanita itu lalu melirik jam tangannya. Sudah jam enam lewat lima menit. Kemana mereka? Apa jangan-jangan mereka benar belum bangun, akibat semalam mereka tidur sangat larut karena belajar.
Kaila menghela napas berat. Inilah kebiasaan mereka yang Kaila tidak suka. Mereka terlalu semangat dalam belajar sampai lupa untuk istirahat.
Namun pada kenyataannya, ketiga anak kembarnya itu sudah bangun dan bersiap sejak tiga puluh menit yang lalu dan sekarang mereka sedang nongkrong di toko kue bundanya. Berdebat di depan etalase kaca roti.
"Hari ini aku akan membawa yang rasa nanas sepuluh, keju sepuluh, coklat dan pisang sepuluh. Jadi tolalnya empat puluh."
"Tidak bisa Far! Masing kita hanya bisa membawa sepuluh bungkus. Fer sepuluh, aku sepuluh kau juga sepuluh!"
"Sejak kemarin jumlahnya selalu sepuluh! Sekali-kali jumlahnya di tambah. Agar jualan Bunda cepat habis." Protes Farika lagi.
Di ruangan persegi itu, mereka dalam formasi lengkap. Fau dan Far sedang sibuk memilah-milah roti yang akan mereka bawa untuk mereka jual di sekolah. Sementara si tengah Far, dia sama sekali tidak tertarik dengan perdebatan unfaedah itu. Anak laki-laki berparas judes namun sangat tampan itu, memilih duduk dengan bersandar di depan lemari, sibuk dengan ponselnya.
"Lagi pula, rotinya kan selalu habis setiap hari." Sambung Farika lagi.
Faustine menghela napas jengah, "Ya sudah kalau begitu, kita tambah lima bungkus. Jadi lima belas bungkus. Setiap rasa dicampur aja."
"Itu masih sedikit Fau." Farika masih bersikeras pada pendiriannya.
"Tetap tidak bisa Far," tegas Fau. "Target yang harus habis selama kita berada di sekolah hanya segitu. Jika kau membawa masing-masing sepuluh bungkus perjenisnya, tak akan ada waktu untukmu belajar. Yang ada kau hanya akan berjualan di sekolah...."
"Bagaimana menurutmu, Fer?" Faustine menunduk menatap Ferdinan.
"Huh? Terserah," singkat Ferdinan tanpa mengalihkan pandangannya dari layar. Anak laki-laki itu tak peduli sama sekali, sejak tadi dia hanya mendengar dan menunggu keputusan dari Faustine saja.
"Ya ampun!!" Kaila berseru sambil menggelengkan kepalanya saat memergoki ketiga anaknya malah berdebat di toko rotinya.
Seketika tiga spesies kembar itu tersentak dan langsung menoleh ke sumber suara. Wanita paruh baya berparas anggun itu sedang berjalan masuk ke arah mereka.
Ferdinan yang sejak tadi fokus dengan gamenya langsung mematikan ponselnya lalu beranjak dan mengambil tempat di samping Farika.
"Sedang apa disini? Bunda berteriak memanggil kalian sejak tadi, tapi tak ada satupun yang menanggapi Bunda." Kaila sudah berdiri di depan anak-anaknya.
"Maaf Bun, kita nggak denger Bunda manggil," cetus Faustine.
"Terus kalian ngapain di toko pagi-pagi?" Kaila menatap mereka satu persatu.
"Kita lagi kepengen makan roti Bun." Farika tersenyum kikuk.
Kaila menghela napas pelan, "rotinya sebentar setelah sarapan. Sekarang kalian ke ruang makan, nasi goreng sama susu kalian udah siap."
"Tapi rotinya—"
"Biar bunda yang siapin! Kalian habiskan sarapan kalian. Semakin lama disini, kalian bisa telat ke sekolah." Wanita itu tersenyum lembut dan mengelus pucuk kepala mereka.
"Baik bun." Jawab mereka serentak, lalu berjalan pelan keluar dari toko itu.
Kaila menatap kepergian anak-anaknya, setelah itu dia pun mengambil kantong plastik berukuran sedang lalu memasukkan beberapa bungkus roti ke dalamnya.
Dua bungkus roti coklat untuk Faustine. Dua bungkus keju untuk Ferdinan dan dua bungkus rasa pisang untuk Farika.
Kaila sama sekali tidak tahu, jika ketiga anak kembarnya itu diam-diam berdagang roti di sekolah. Wanita itu berasumsi, jika mereka hanya akan memakan saja, sebagai jajan. Namun ternyata tidak.
"Good Morning everybody."
Faustine, Ferdinan, dan Farika yang baru saja duduk di meja makan, serentak menoleh ke sumber suara dengan berbarengan.
Wajah mereka juga tampak berkerut berbarengan saat melihat sosok pria bertubuh kekar berjalan ke arah mereka dengan tangan yang penuh hadiah.
Pria itu adalah Niko, seorang pria yang sudah sangat dekat dengan Kaila sejak wanita itu menetap di Bali. Bisa disimpulkan bahwa pria itu adalah teman pertama Kaila hingga detik ini.
Awal cerita tentang pertemuan mereka adalah, saat pria itu datang ke toko kue Kaila untuk mengantar pesanan wanita itu dari toko langganan yang menjual bahan-bahan kuenya dan Niko merupakan salah satu karyawan dari toko tersebut. Sejak saat itulah Kaila menjadi kenal dengan Niko.
Saat satu tahun berlalu, Kaila masih bersikap biasa saja dengan pria itu. Dia tidak ingin terlalu membuka diri terhadap pria asing, namun ketulusan yang selalu di tunjukkan oleh Niko membuat Kaila merasa nyaman dan akhirnya mereka menjalin persahabatan hingga sekarang.
Terkadang Kaila merasa sangat bersyukur dengan kehadiran pria baik itu yang selalu menolongnnya di saat dirinya sedang kesulitan terutama saat mengurus tiga anak sekaligus.
"Uncle?" Cetus Farika lebih dulu.
"Ngapain pagi-pagi kesini?" Faustine yang kedua.
"Apa lagi kalau bukan numpang sarapan, gratis." Kali ini Ferdinan berucap sarkas lalu menyuap nasi goreng ke mulutnya.
Niko yang merupakan korban kekerasan batin itu hanya mampu menghela napas pasrah. Anak laki-laki itu memang selalu bermulut pedas padanya. Meskipun seperti itu, diantara mereka bertiga, Niko sangat sayang dan paling dekat dengan Ferdinan. Faustine dan Farika pun sama, hanya saja Ferdinan memiliki tempat tersendiri di hatinya, mungkin karena mereka satu server. Penyuka game.
"Kenapa ucapan kalian seperti itu? Uncle baru kembali dari Jakarta setelah tiga hari, apa kalian tidak merindukan Uncle?"
Ferdinan menyeringai, "pantas saja selama tiga hari ini, sarapan kita tidak berkurang."
Niko hanya memutar bola matanya malas.
"Jangan seperti itu, Fer!" Faustine menyenggol lengan Ferdinan lembut.
"Itu artinya, yang Uncle bawa itu adalah hadiah untuk kita?" Farika mulai heboh.
Niko mengangguk.
"Asyikkk...." Farika beranjak menghampiri Niko.
"Nah, ini untuk Far...." Niko menyerahkan salah satu paper bag pink.
"Terima kasih, Uncle." Farika tersenyum lalu kembali ke tempat duduknya.
"Sama-sama," jawab Niko, lalu melangkah maju ke meja makan dan mengambil tempat duduk di depan Ferdinan.
"Ini untuk Fau." Pria itu meletakkan paper bag biru di depan Faustine.
"Thank you."
Niko tersenyum.
"...dan ini untuk keponakan Uncle yang paling ganteng." Niko meletakkan paper bag merah di atas meja depan Ferdinan dengan tersenyum licik.
Anak laki-laki itu hanya berdecih, menatap ekspresi menyebalkan Niko.
"Hai Nik...." Kaila bergabung ke ruang makan lalu duduk di seberang anak-anaknya. "Udah sejak tadi?" tanyanya lagi.
"Baru kok."
"Gimana urusannya di Jakarta? Udah kelar?" Kaila berjalan ke dapur untuk mengambil satu buah piring untuk Niko dan segelas teh.
"Udah kok."
Niko menatap Kaila yang sedang sibuk di pantry dengan tatapan penuh kerinduan. Tiga hari tidak melihat wanita itu, rasanya seperti tiga tahun, membuat Niko hampir gila.
Sebenarnya pria berperawakan tinggi, kekar berparas bule dan sangat tampan itu sudah menaruh hati pada Kaila sejak lama. Namun gadis itu seperti menaruh pembatas baja yang menjulang tinggi dan sangat kuat diantara mereka sehingga sangat sulit bagi Niko untuk memanjat dan menghancurkannya.
"Nggak usah kayak gitu juga natapnya!" sarkas Fer yang masih sibuk makan.
Semua orang menatap anak laki-laki itu dengan wajah bingung.
"Huh?" Niko yang menyadari maksud Ferdinan pun tiba-tiba canggung. Anak itu sangat posesif dan berbahaya untuk Niko.
"Ini untuk kamu Lil." Niko menyerahkan sisa paper bag berukuran besar pada Kaila yang sedang meletakkan segelas kopi dan sepiring nasi goreng di atas meja, depan Kaila.
"Wah, Punya Bunda besar sementara punya kita kecil." protes Farika.
Sejenak Kaila tercengang, dia baru saja tersadar, ternyata pria itu membawa hadiah lagi untuknya dan untuk anak-anaknya.
"Ya ampun Nik. Kenapa kamu harus bawa baginian segala sih?" Kaila merasa tidak nyaman.
"Itu sogokan Bun, biar Uncle bisa makan gratis terus." celetuk Ferdinan lagi.
"Iya Lil. Anggap aja seperti itu. Kamu tahu kan kondisi anak kos-kosan seperti aku. Malas masak. Hehe."
"Alasan!" ketus Fer lagi.
Niko menghela napas lagi. Dia pasrah, benar-benar pasrah. Anak itu membuat harga diri Niko turun drastis. Jika saja anak itu bukan anak dari pujaan hatinya, Niko sudah menyerahkannya ke panti asuhan.
"Eh, kalian nggak penasaran dengan hadiah yang Uncle beri?" cetus Kaila.
"Boleh dilihat sekarang?" Tanya Farika.
"Boleh dong." jawab Niko.
Faustine dan Farika langsung membuka paper bag mereka dengan antusias, sementara Fer santai saja.
"Wah." Farika berseru dengan wajah berseri saat mengeluarkan isi dari paper bag itu adalah benda berbentuk persegi, berukuran sedang dengan ribuan lembar halaman di dalamnya.
Faustine pun sama bahagianya, saat melihat isi dari paper bag miliknya adalah peralatan gambar yang lengkap.
Sementara Ferdinan hanya mampu menghela napas kasar, saat melihat hadiahnya.
Benda berbentuk persegi, berukuran sedang dengan judul di depan sampulnya. '1001 Cara Agar Berhenti Bermain Game.'
"Uncle sangat paham kebutuhan kalian. Faustine yang sangat ingin menjadi seorang arsitektur, harus banyak latihan menggambar. Farika yang sangat senang belajar bahasa asing dan saat ini sedang belajar bahasa Spanyol harus punya buku refersensi bacaan bahasa Spanyol dan Ferdinan yang hanya terobsesi dengan game, harus belajar berhenti main game, karena itu tidak baik." Jelas Niko.
"Buku ini harusnya untuk Uncle, bukan untuk aku." ketus Ferdinan.
"Eits, jangan salah. Buku itu milikku," ucap Niko.
"Terus, kenapa kau memberikannya padaku?"
"Karena tpis itu tidak mempan untukku."
"Jika, itu tidak mempan untukmu begitu juga untukku." Sengit Ferdinan.
"Sudah-sudah! Berhenti berdebat dan habiskan sarapan kalian." Kaila mulai menengahi.
"Yaps, Bunda kalian benar. Habiskan sarapan setelah itu uncle antar kalian ke sekolah."
"Nggak usah uncle, kita bisa berangkat bertiga aja." tolak Faustine.
"Ingat! Jangan pulang terlambat lagi. Bunda tidak ingin kejadian kemarin terulang lagi," ucap Kaila.
"Kita akan usahain bun." cetus Ferdinan.
"Kok di usahain sih?" Kaila berkerut heran.
"Nggak usah khawatir Lil, biar aku yang memantau mereka saat jam pulang sekolah nanti." Niko menawarkan diri.
"Aku minta tolong yah Nik."
Niko mengangguk.
Ketiga anak kembar itu, hanya merespon dengan memutar bola mata jengah. Meskipun mereka masih kecil, tapi mereka sudah sangat peka dengan hubungan bunda dan uncle Niko.
Mereka pun kembali melanjutkan sarapan dengan hikmat setelah itu si kembar pun berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki.
...Happy Reading ❤...
Jangan lupa untuk tinggalkan dukungan kalian yah. Karya author sedang ikut lomba. Jadi auhtor harap kemurahan hati kalian untuk mendukung author. terima kasih.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
Momy Victory 🏆👑🌹
"Wah, punya Bunda besar sementara punya kita kecil."protes Farika.
seharusnya tanda koma dan petik dua diatas ( wah, punya Bunda besar sementara kita kecil,"protes Farika. )
maaf ya Thor hanya membantu memberikan masukan tanda bacanya, ceritanya sudah bagus🙏🏻
semangat Thor 💪🏻🔥🌹
2021-08-30
3
Momy Victory 🏆👑🌹
"Ini untuk kamu Lil,"Niko menyerahkan sisa paper bag berukuran besar kepada Kaila.....
Lil siapa Thor? maaf ya🙏🏻
2021-08-30
2
Lilis Suryani
bikin penasaran deh kak
2021-08-26
3