Tujuh Tahun Kemudian
Setelah bel pulang sekolah mengaum keras beberapa menit yang lalu, semua murid berseragam putih merah itu berangsung-angsur meninggalkan area gedung sekolah.
Rata-rata siswa-siswi itu pulang dengan jemputan, ada yang di jemput orang tua mereka menggunakan mobil mewah dan ada juga yang di jemput oleh pengasuh mereka dengan taksi ataupun ojek.
Namun berbeda dengan ke tiga anak kembar Kaila yang juga bersekolah di SD Negeri itu. Selama bersekolah, mereka pergi dan pulang tak pernah di antar maupun di jemput oleh bunda mereka. Mereka bertiga berinisiatif tidak ingin menyusahkan bundanya dengan mengantar jemput mereka, karena jarak sekolahnya tidak terlalu jauh dari tempat mereka tinggal. Fau, Fer dan Far sangat paham dengan kondisi bundanya yang sangat sibuk mengurus toko roti. Lagi pula mereka tidak perlu untuk di antar ataupun di jemput. Mereka bertiga, dan itu sudah cukup untuk mereka bisa saling menjaga dan melindungi satu sama lain. Kuncinya, mereka hanya perlu berhati-hati, itu saja.
Mereka bertiga memiliki aturan yang sudah ditetapkan sang bunda. Yaitu, ketika pulang sekolah, mereka harus saling menunggu. Karena mereka di tempatkan di kelas yang berbeda-beda, maka siapa saja diantara mereka yang lebih dulu keluar kelas, tidak boleh pulang lebih dulu, mereka harus menunggu di depan gerbang sekolah.
Dan satu anak sudah standby di depan gerbang dan anak itu adalah Ferdinan Devano. Jika kemarin yang keluar kelas lebih dulu Fau, maka hari ini yang menunggu lebih awal adalah Fer.
Anak laki-laki berparas tampan namun memiliki aura yang dingin itu sedang bersandar di balik pintu pagar sekolah. Kedua mata tajamnya tak berpindah sedetik pun dari layar persegi di depannya sementara kedua ibu jarinya bergerak lincah di atas benda itu. Yah, anak berusia tujuh tahun itu tengah bermain game online epep. Dia terlihat sangat fokus karena sedang pushrank, sangking fokusnya, dia bahkan tidak perduli dengan lingkungan sekitarnya. Lirikan-lirikan centil dari kakak kelasnya tak dia hiraukan. Anak laki-laki itu sedang berada di dalam dunianya. Dunia digital.
"Fer!" Fau yang baru saja keluar menegur saudara kembarnya. Namun anak laki-laki itu seperti tak mendengar dan tak menyadari kedatangan Fau.
"Ferdinan!" Kali ini Faustine memukul lengan adiknya.
"Hmm." Ferdinan hanya berdehem singkat tanpa mengalihkan pandangannya dari layar.
"Far mana? belum keluar?" Tanyanya lagi.
"Belum," singkat Fer.
Faustine pun menghela napas jengah, tidak puas dengan sikap Fer yang sangat cuek. Anak laki-laki itu pun memutuskan untuk tidak bertanya lagi, pelan-pelan dia mendekati Ferdinan, berdiri tepat di sampingnya dan ikut bersandar.
Sesekali Faustine melirik Ferdinan yang terlihat sangat seru bermain game. Pergerakan jari tangan yang sangat aktif itu membuat Fau merasa gemas.
"Apa bunda tau? Kau membawa ponsel ke sekolah?"
Faustine bertanya namun lagi-lagi di kacangin, karena saudaranya itu terlihat sangat sibuk. Wajah dinginnya yang tenang berubah tegang. Sepertinya dia akan mati. Di dalam game.
"Farika mana sih?" Fau mulai menggerutu, saat menyadari, sekolah mulai sepi. "lama banget."
Farika memang selalu seperti ini. Keluar paling terakhir dan berakhir membuat kedua saudara kembarnya menunggu jengah.
"Ah... ****!" Umpat Fer.
"Ehh? Mulut." Faustine langsung mencapit bibir Ferdinan, saat perkataan kasar itu refleks keluar begitu saja.
"Eh?" Farika muncul melewati gerbang. "Kalian masih disini?"
Faustine menoleh, "Ya iyalah! Kita tidak boleh pulang dalam formasi yang tidak lengkap... kamu ngapain aja sih di dalam? kok lama banget?" Anak laki-laki itu mulai mengomel saudari kembarnya.
"Maaf, sudah membuat kalian menunggu," ucap Farika. "Tapi, kali ini aku tidak akan pulang bareng kalian. Aku ada urusan di luar. Jadi kalian pulanglah dulu dengan formasi yang tidak lengkap, ok."
Fau tercengang mendengar perkataan adiknya itu. "Urusan apa?"
"Urusan penting."
"Farika!!"
Seorang wanita muda menghentikan laju motornya di depan gerbang sekolah.
"Aku pergi dulu abang-abangku. Katakan pada Bunda, aku akan baik-baik saja." Anak perempuan berambut panjang kuncir kuda itu pun melangkah mendekati motor matic biru itu.
"Tapi kau mau kemana?"
"Ke suatu tempat, yang dapat menghasilkan uang." Farika naik di jok belakang motor wanita itu.
"Tapi dimana? Bunda akan bertanya sama kita, dan pasti dia akan khawatir."
"Bilang aja, kalau aku sedang bersama Kak Vera dan aku baik-baik saja. Katakan juga pada Bunda, aku akan cepat pulang. bye... bye...."
"Kakak pergi dulu. Kalian hati-hati di jalan yah." Ucap wanita itu lalu kembali melajukan motornya.
Faustine hanya termangu di tempatnya, menatap Farika yang perlahan mengecil.
"Yes!!!" Ferdinan berseru senang, saat dia sudah berhasil meraih kemenangannya dan naik level.
"Ayo kita pulang!" Anak laki-laki itu memasukkan ponselnya di dalam tas ranselnya. "Dimana Farika? Apa dia masih di dalam?"
Faustine menoleh, menatap kesal saudara kembarnya itu. Ingin sekali rasanya dia menggetok kepala adiknya yang sudah error karena game.
"Dia sudah pergi," ketus Fau lalu melangkahkan kakinya.
"Apa!" Ferdinan menyusul Faustine. "Pergi kemana?"
"Nggak tau! Dia pergi sama Kak Vera," jawab Fau.
"Terus?"
"Terus apanya?"
"Kita gimana?"
"Kita pulanglah! Apa lagi!" Faustine berdecak kesal.
"Nggak!" Ferdinan berhenti dan mencekal tangan Faustine, membuatnya berhenti.
"Apanya yang nggak!" Fau menoleh lemah.
"Kita nggak boleh pulang tanpa Farika! Jika kita pulang dengan formasi yang tidak lengkap. Ujian mendadak akan berlangsung."
Dahi Fau berkerut heran, "Ujian? Apa maksudmu?"
Ferdinan menghela napas dan melepaskan tangan saudaranya. "Kau tau bagaimana Bunda. Saat kita tiba di rumah tanpa Farika, bunda akan mengadakan ujian lisan dengan seribu pertanyaan. Kau sudah mempersiapkan jawabannya?"
Faustine menggeleng lemah, "Lalu? kita harus bagaimana?" Tanyanya, "Apa kita harus menyusul Farika?"
"Tidak!" Ferdinan menggeleng, "Kita tidak akan mencari Farika. Justru Farika yang akan mencari kita."
Mulut Faustine menganga. Dia bingung dengan ucapan berbelit-belit saudara kembarnya itu. "Apa maksudmu?"
"Biarkan Farika yang tiba di rumah lebih dulu dan menghadapi ujian lisan seorang diri. Setelah itu, baru kita pulang."
"Yah sama aja, goblok!" Kesal Faustine, "Bunda akan tetap bertanya alasan kita pulang terlambat."
"Yah jawab saja seperti ini, 'Kita mencari Farika, makanya kita pulang telat' Kelar kan?" Ferdinan mengedikkan bahunya.
"Itu sama saja kita berbohong pada Bunda." Protes Fau.
"Sesekali saja. Lagipula yang mulai siapa, Farika kan?"
Faustine menghela napas. Saudara kembarnya ini memang sangat licik, "terserah kamu saja... tapi sekarang kita harus kemana?"
Ferdinan menyunggingkan senyum liciknya. "ikut aku!" Anak laki-laki itu pun menyeret saudara kembarnya menyusuri trotoar entah kemana tujuan mereka.
ʕ•ﻌ•ʔ
Langkah kecil kedua anak kembar identik itu membawa mereka sampai pada suatu tempat yang tidak jauh dari lokasi tempat tinggal dan sekolah mereka.
Tempat yang mereka datangi sedang dalam tahap pembangunan. Sepertinya bangunan yang akan beridiri adalah gedung yang besar. Itu bisa terlihat dari ukuran bangunan yang belum sempurna itu sangatlah besar.
"Bang!"
Ferdinan berseru pada seorang pria berpakaian lusuh, berdiri tak jauh di depan mereka.
Ferdinan melepaskan kaitan tangannya pada Faustine lalu berlari ke arah pria itu.
Sekarang Faustine paham, kenapa Ferdinan melarangnya untuk pulang. Ternyata anak itu ada bisnis. Yah, Ferdinan adalah seorang anak yang sangat jenius dalam hal digital terutama game, oleh karena itulah, anak itu sangat ambisius agar bisa menaikkan level akun epepnya lalu menjual akunnya itu dan hasilnya dari penjualannya itu dia tabung.
Fau pun beranjak meninggalkan Ferdinan yang masih bernegosiasi dengan pelanggannya. Anak laki-laki berwajah sama dengan Ferdinan namun memiliki sifat yang berbeda. Faustine terkesan kalem dan ramah sementara Ferdinan kebalikannya. Fau mengambil arah yang berbeda. Anak itu berjalan lebih dekat ke proyek, dia sangat tertarik dengan bangunan yang belum jadi itu.
"Hei anak kecil. Sedang apa kau disini? Berbahaya! pergi sana!" salah satu kuli menegurnya yang semakin mendekat ke arah proyek.
Faustine pun berbalik dan sedikit menjauh.
"Faustine! Sedang apa kau disini?" Seorang pria paruh baya. Bertubuh gemuk dengan perut yang buncit, berdiri di depan Faustine.
Fau mengarahkan pandangannya pada pria yang mengenakan helm safety putih.
"Paman!" Bola mata Fau berbinar saat menatap wajah yang dikenalnya.
"Apa yang kau lakukan disini? Disini berbahaya."
"Paman. Aku mau bekerja disini."
Alih-alih menjawab pertanyaan pria paruh baya itu, Fau malah merengek.
"Apa maksud kamu? Kamu itu masih kecil, anak kecil tidak boleh berada disini. Sangat berbahaya."
"Tubuh aku memang kecil Paman. Tapi aku kuat. Aku bisa bekerja apa saja."
Pria paruh baya itu menghela napas berat, "tidak bisa Fau. Nanti Bunda kamu bisa marah."
Fau menggeleng, "Bunda tidak akan marah, kalau Bunda tidak tahu!"
"Tapi tetap saja. Paman tidak bisa mempekerjakan kamu. Kamu itu masih kecil, mending kamu sekolah saja." Pria itu berbalik hendak beranjak, namun Faustine mencegatnya.
"Paman aku mohon." Wajahnya memelas.
Pria itu kembali menghela napas berat, "kenapa kamu ingin sekali bekerja?"
"Karena aku mau menghasilkan uang sendiri."
"Memangnya Bunda tidak memberi kamu uang?"
"Ada. Setiap hari Bunda memberi kami uang jajan."
"Lalu untuk apa lagi bekerja, kalau sudah mendapat uang dari Bunda?"
"Ini berbeda paman. Uang Bunda dengan uang aku memiliki rasa yang berbeda. Jadi aku mau menghasilkan uang sendiri dan menabungnya."
"Untuk apa menabung di saat kamu masih kecil seperti ini?"
"Untuk investasi masa depan, paman."
Pria paruh baya itu tercengang. Anak sekecil ini, sudah memikirkan investasi masa depan. Astaga, dia merasa terhinakan.
"Kamu mau investasi apa memangnya?"
"Investasi untuk menjadi orang yang sukses, di masa depan paman."
Pria paruh baya itu memutar bola mata jengah, dia pun melangkahkan kakinya meninggalkan Faustine, namun anak itu tidak menyerah. Anak itu terus mengikutinya.
"Bukankah untuk menjadi orang yang sukses, butuh dana yang sangat besar. Maka dari itu aku mau mempersiapkannya mulai dari sekarang."
Pria paruh baya itu kembali terhenti. Menatap lekat wajah polos Faustine. Astaga, pikiran anak ini terlalu jauh. Saat dirinya berusia seperti ini, yang dia lakukan hanya bermain tanpa memikirkan beban masa depan. Menghabiskan uang orang tua untuk jajan, namun anak ini? dia ingin menabung untuk investasinya di masa depan. Astaga. Dia merasa terharu dan luluh.
"Baiklah. Besok sepulang sekolah. Kamu boleh bekerja disini, tapi ingat! Gaji kamu tak seperti mereka." Pria paruh baya itu menunjuk kuli yang sedang bekerja.
"Siap komandan!" Faustine memberi tanda hormat.
"Dan satu lagi, kalau Bunda kamu sampai tahu. Paman tidak mau tanggung jawab."
Dengan senyum yang lebar Faustine mengangguk.
"Ya sudah, kamu boleh pulang sekarang. Ganti seragam kamu lalu makan." Pria itu mengacak rambut Faustine lembut lalu kembali melangkah meninggalkan Faustine yang masih kegirangan.
ʕ•ﻌ•ʔ
"Ayo kita pulang!" cetus Faustine saat dirinya sudah berdiri di samping Ferdinan yang tengah bersandar di dinding bangunan di samping bangunan yang belum jadi.
"Bentar dulu! Ini Wi-Fi lagi lancar banget." Fer masih fokus pada layar ponselnya.
"Ini sudah hampir sore Fer. Bunda akan sangat khawatir nanti. Lagi pula besok kita kesini lagi."
Ferdinan langsung mengalihkan pandangannya pada Faustine, menatap lekat wajah saudara kembarnya itu, bingung "kesini lagi? ngapain?"
"Aku bekerja disini."
"Apa!" Ferdinan berteriak terkejut, "Kerja apa?"
"Kuli."
"Kuli?" Mata Ferdinan seketika membulat.
"Astaga. Bunda bisa murka, jika mengetahui hal itu. Pertanyaan ujian lisannya bukan lagi seribu tapi ratusan ribu."
"Bunda tidak akan tahu. Jika kamu menutup mulutmu rapat-rapat." Faustine pun menarik tangan adiknya pergi dari tempat itu.
"Kalau aku menutup mulutku rapat-rapat, bagaimana aku bisa berbicara?" Selorohnya membuat Faustine menoleh, berdecak kesal menatap adiknya itu.
Seketika tawa Ferdinan meledak, "Just Kidding my twins."
Faustine menghempaskan tangan Ferdinan dengan keras dan berjalan lebih dulu meninggalkan kembarannya itu, dengan wajah yang ditekuk.
Ferdinan memang bersifat dingin. Tapi Faustine yang paling sering ngambek dan Farika yang paling pecicilan.
...Happy Reading ❤...
Jangan lupa untuk tinggalkan dukungan kalian yah. Karya author sedang ikut lomba. Jadi auhtor harap kemurahan hati kalian untuk mendukung author. terima kasih.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
Johanah Tata
ini kaya ga masuk akal anak umur 7th masa jadi kuli dan diperbolehkan lagi... seenggaknya kalau buat cerita yang agak masuk akal masih 7th jadi kuli bangunan 🤦♀️
2022-05-01
0
Fatma Wati
7 tahun bisa apa di area pembangunnn ..bawa adukan pasir ? bawa bata? bawa semen , duh ngebayangin aja GK kuat lho . anak kecil dengn baju lusuh pakai sandal jepit mondar mandir bawa bata . bawa ember adukan .. oh my godnes !!!
2021-09-08
2
Marwaty Zahroni Msi
seru ceritanya dan luar biasa anak xx
2021-09-02
1