Part 4

Kami memasuki halaman rumah megah minimalis salah satu kompleks kota RedRose.

Rumah milik keluarga Shannon. Ya kami bertamu kerumah tante Jade. Beliau mengundang kami makan malam bersama. Bisa dibilang untuk lebih mendekatkan keluarga inti.

Parish mendelik, dari tadi Spanish senyum-senyum sendiri kearahnya.

"kenapa ?" tanya Parish.

"kamu bakalan ketemu fans kamu" katanya.

Parish tidak mengerti.

"adik kecil kamu. Dia suka banget dekat-dekat kamu" ujar Spanish.

Parish tersenyum mengerti. Yang Spanish maksud sudah pasti Venus.

Sebenarnya Parish berusaha bersikap ramah. Bukan cuma kepada Venus. Tapi kepada tante Jade, bahkan ke Marsha. Mereka akan menjadi keluarga.

"selamat datang di rumah tante" ucap tante Jade menyambut kami di teras rumah.

Parish memandang kagum. Teras rumah tante Jade dipenuhi bunga mawar berbagai warna. Parish sangat suka mawar.

"ini sungguh indah tante" puji Parish.

"kamu pasti berpikir tante yang menatanya" ucap tante Jade.

Parish mengerutkan dahi. Lalu siapa ? pikirnya.

"kak Marsha yang bikin ini semua" seru Venus seraya merentangkan tangannya lalu berputar.

"wow !! beneran Marsha ?!" ungkap Spanish tidak percaya.

Parish tidak bisa berkata-kata. Cowok pendiam dan terlihat dingin itu menyukai bunga mawar. Romantis. Ucapnya dalam hati.

"trus Marsha mana ?" tanya Ayah.

"dia ada urusan sebentar, tidak lama lagi pulang. Ayo kita masuk" ajak tante Jade.

"ayo kaka cantik" ajak Venus seraya menggandeng tangan Parish.

Semua tersenyum melihat tingkah Venus.

*

Karena mereka datang masih sore, serta Marsha juga belum datang maka mereka menunggu Marsha untuk makan malam bersama. Ayah dan Spanish duduk santai di ruang keluarga tante Jade. Sedangkan Parish mengikuti Venus ke kamarnya. Katanya dia ingin menunjukkan sesuatu.

Kamar dengan tempelan stiker tulisan "Venus" sebagai penanda pemilik kamar itu terletak di sebelah kiri tangga lantai dua rumah tante Jade. Kamarnya cukup luas dengan kombinasi warna biru dan kuning. Tempat tidurnya rapi dengan bedcover animasi minions yang serasi dengan cat kamarnya. Mainan Venus tersimpan dalam box. Pajangan koleksi robot animasinya tersusun dalam lemari kaca. Di meja belajarnya terdapat dua foto keluarga, berempat dengan alm. Papanya dan bertiga tanpa alm. Papanya.

Anak kecil ini rapi juga. Gumam Parish dalam hati.

"liat kak ?" seru Venus memperlihatkan sebuah lukisan taman bunga mawar lengkap dengan air mancurnya. Persis seperti halaman rumahnya.

"wah bagus. Kamu yang melukis ?" tanya Parish.

Venus terlihat bingung. Dia menggeleng.

"ini lukisan kakak" ucapnya.

Parish kaget. Dia pernah ingat, dia dulu ikut les melukis dan les piano. Tapi kata Ayah dan Spanish itu hanya sebatas eskul. Dan sampai sekarang tidak ada bukti-bukti yang meyakinkan ingatan itu. Tidak ada peralatan melukis di rumahnya. Hanya ada piano milik ibunya yang ditutupi kain biru sebagai pajangan. Pernah Parish diam-diam hendak memainkannya tapi jari-jarinya serasa bergetar dan kaku. Ayah dan Spanish juga bisa marah besar kalau tahu dia membuka kain penutup itu. Lebih tepatnya, mereka tidak mengijinkannya bermain piano.

Parish memegang kepalanya. Terasa ada sengatan listrik. Selalu saja begitu kalau dia mencoba mengingat.

"kakak kenapa ?" tanya Venus.

Parish menggeleng. Dia mengusap tulisan huruf "PRSH" di sudut kanan bawah lukisan yang berada di tangannya.

"aku suka menggambar, trus kata Om Mark kakak dulu melukis cuma itu sudah lama. Sekarang tidak lagi" jelas Venus.

"trus lukisan ini kamu dapat dari mana ?" tanya Parish penasaran.

"kak Marsha membelinya waktu acara bazar amal di SMP A RedRose. Panitia bilang lukisan ini milik Parish Mc. Millan. Aku baru ingat sama dengan nama kakak waktu kita ketemu di resto makan malam itu." bocah delapan tahun itu menjelaskan.

Parish mengangguk. Itu sekolahnya dulu.

"kenapa kak Marsha membelinya ?" tanya Parish lagi.

"kakak suka" ucap Venus.

Parish tersenyum.

"astaga" Venus menepuk jidatnya.

Wajah Venus berubah panik. Dia melirik ke arah jam dinding. Parish tidak mengerti. Kenapa Venus jadi kacau begitu.

"aku harus mengembalikannya ke kamar kakak" katanya.

Dengan bergegas Venus meraih lukisan di tangan Parish lalu beranjak keluar kamar. Dia berlari ke arah kamar yang terletak berseberangan dengan kamarnya. Sebelah kanan dari tangga.

Parish mengikuti Venus.

Pintu kamar terbuka. Venus lalu menyalakan lampu kamar.

Parish melihat sekeliing. Kamar Marsha sangat rapi. Tidak seperti kamar Spanish yang biasanya berantakan, lebih sering dirapikan oleh aunty Lesly.

Venus hendak meletakan lukisan itu di dinding tepat di atas meja belajar Marsha. Bocah delapan tahun itu naik ke atas meja melalui kursi. Tangannya mulai mencoba mengaitkan tali lukisan pada paku kecil di dinding.

"sini aku bantu" ujar Parish.

Dia mendekat. Lalu meraih lukisan di tangan Venus. Tidak butuh waktu lama untuk Parish mengaitkan lukisan itu.

"selesai" seru Parish.

"terima kasih kak" ucap Venus.

"kenapa kamu panik ? kak Marsha bisa marah ?" tanya Parish.

"sebenarnya aku sudah pinjam sama kak Marsha untuk jadikan lukisan itu contoh gambarku. Tapi kak Marsha bilang asal lukisannya jangan dibawa keluar kamar. Tadi aku keluarkan karena senang kaka mau kesini." jelas Venus seraya turun dari atas meja belajar Marsha.

Parish mangut tanda mengerti.

Tiba-tiba pandangannya fokus pada bingkai foto di meja belajar Marsha.

Kalau di kamar Venus, di atas meja belajar ada dua foto keluarga. Di kamar Marsha, kedua foto keluarga itu di gantung di dinding bersama dengan foto berdua dengan Venus.

Tangan Parish meraih bingkai foto itu. Foto hitam putih yang terlihat buram, karena diambil oleh si pemotret dari jauh. Seorang gadis berusia sekitar duabelas tahun dengan rambut tergerai panjang sepinggang, memakai topi bundar dengan hiasan mawar di sekeliling topi dan memakai payung. Sepertinya saat itu hujan, ada genangan air di sekitarnya.

"kenapa aku merasa tidak asing" gumam Parish.

"kenapa kalian ada disini ?" ada suara dari arah pintu.

Parish dan Venus kaget. Yang punya kamar berdiri di ambang pintu. Parish melihat kearah Venus yang bingung. Begitu juga dia, bingung harus bagaimana. Mereka harus punya alasan.

"aku melihat lukisan yang ingin Venus gambar" ujar Parish akhirnya.

"i-iya kak" ucap Venus.

"ayo kita keluar Ven. Aku bantu kamu" ucap Parish seraya memberi kode lewat tepukan belakang agar mereka segera keluar dari kamar Marsha.

"iya kak" jawab Venus.

Dengan bergegas Parish meletakkan lagi bingkai foto di tangannya ke tempat semula.

"maaf aku tidak sengaja" ucap Parish malu.

Dia dan Venus segera bergerak cepat keluar dari kamar sebelum Marsha bicara lagi.

*

"huh hampir saja" ujar Parish setelah sampai di kamar Venus.

"maaf kak" ucap Venus merasa bersalah.

Parish tersenyum. Dia mengusap kepala Venus.

"kita ke bawah yuk" ajak Parish.

Venus mengangguk setuju.

*

Mark Mc. Millan dan Spanish Mc. Millan tampak bicara serius di ruang keluarga tante Jade Shannon.

Parish lantas merebahkan badannya di pundak Ayahnya.

Sebagai bungsu, dia memang sangat manja pada Ayahnya. Bahkan kadang kalau dengan Spanish pun, Parish selalu mengeluarkan jurus merajuknya.

Venus memilih duduk di depan tivi seraya menekan tombol remote mencari siaran yang bagus.

"kenapa ?" Mark Mc. Millan memperbaiki posisi duduknya. Dia menyandarkan kepala putrinya di dadanya.

"tidak apa Yah. Kepala Parish tiba-tiba sakit. Sengatan listrik itu kambuh lagi" ucap Parish.

Mark Mc. Millan dan Spanish tampak khawatir. Mereka mengerti kenapa itu bisa terjadi. Venus menoleh. Melihat semua tampak khawatir, dia pun ikut panik. Karena sejak tadi Parish bersamanya.

Spanish duduk jongkok didekat lutut adiknya. Dia mengusap kepala adiknya.

"memangnya kamu berpikir apa ?" tanya Spanish lembut.

Parish terdiam. Dia sepertinya ragu untuk bercerita. Karena dia tahu, apa yang ingin dia ceritakan adalah hal yang selama ini ditutupi dari dirinya.

"tidak apa kak" katanya perlahan.

"Parish kenapa ?" tanya tante Jade melihat semua mendekat kepada Parish.

Venus beranjak mendekat pada mamanya.

"kepalanya sakit" ucap Ayah.

"mau aku ambilkan obat ? sepertinya aku punya persediaan obat sakit kepala di kotak obat" ujar tante Jade.

"tidak usah tante. Terima kasih... Parish baik-baik saja" sahut Parish, dia merapatkan pelukannya pada Ayahnya.

"kita pulang saja bagaimana ?" tiba-tiba Ayah membuat mereka kaget.

Mana mungkin pulang. Kasian tante Jade, sudah masak banyak tapi tamunya tidak jadi menikmati masakannya. Pikir Parish.

Parish menggeleng.

"kita makan dulu Yah. Aku mau makan masakan tante Jade" ucap Parish.

"iya sayang, tante masak sayur kuah daging. Kata Ayahmu, kamu sangat suka. Tapi kalo kamu merasa sakit, di bungkus saja sayang" ujar tante Jade.

"tidak tante. Boleh ya Yah.. kita disini sebentar lagi"

Mark Mc. Millan dan Spanish saling pandang. Spanish mengangguk tanda setuju.

"baiklah" ucap Ayah akhirnya.

"panggil kakakmu untuk segera turun" pinta tante Jade pada Venus.

"iya ma" Venus bergegas menaiki tangga menuju lantai dua.

*

Mereka menikmati menu makan malam yang disajikan si tuan rumah. Tante Jade pintar masak, makanannya enak. Ayah dan Spanish sampai minta izin untuk menambah porsinya.

Parish sendiri menikmati Nasi, sayur kuah daging, tempe bumbu pedas dan kerupuk. Porsi makannya memang cuma segitu, mau seenak apapun menu lain tetap yang dia cari menu rumahan.

"ayam goreng kremesnya enak loh dek" ujar Spanish seraya memamerkan caranya mengigit daging ayam yang terlihat empuk dan kriuk itu.

Parish menggeleng.

Dia melihat kearah Marsha. Mungkin hanya perasaannya saja, tapi sepertinya dari tadi Marsha mencuri pandang kearahnya.

Sedikit aneh untuk Parish. Karena sudah tiga kali makan bersama, baru kali ini Marsha tidak asik dengan dunianya sendiri. Dia memperhatikan orang disekitarnya.

Parish jadi salah tingkah. Dia fokus pada piringnya dan mencoba bersikap bahwa itu hanya perasaannya saja kalo Marsha dari tadi fokus kearahnya.

*

Mereka pamit.

Tante Jade, Marsha dan Venus mengantar sampai ke teras.

Parish memegang lengan kakaknya. Dia merasa pusing. Tapi dia tidak ingin membuat Ayah dan kakaknya lebih khawatir lagi.

"ayah... " ucap Parish lirih.

"iya sayang" Ayahnya menoleh dan memegang lembut pipi putrinya.

Tiba-tiba Parish merasakan seperti ada sengatan listrik kembali menyerang kepalanya. Kepalanya terasa sakit sekali, serasa di tusuk-tusuk dengan ribuan jarum. Sakit... lalu terasa berat sampai dia tidak bisa merasakan apa-apa lagi.

Parish tidak sadarkan diri.

Untung saja Spanish dengan cepat dapat menangkap tubuh adiknya sebelum jatuh kelantai.

Semua tampak khawatir. Mark Mc. Millan memanggil nama putrinya. Dia terlihat sangat cemas. Begitu juga dengan Spanish. Mereka sangat tahu apa yang terjadi pada kesayangan mereka. Trauma akibat kejadian lalu kambuh lagi. Ada apa, kenapa sampai bisa begini. Mereka bingung.

Dengan segera Spanish mengangkat tubuh adiknya masuk kedalam mobil Ayahnya. Mereka menuju rumah sakit terdekat.

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!