Perlahan mata Kirana terbuka. Ia merasakan lelah yang luar biasa pada tubuhnya.
“Apa yang terjadi? Aku di mana?”
Mata Kirana masih mengerjap beberapa kali mencoba untuk mengenali tempat di mana ia terbaring saat ini.
Belum juga Kirana mengingat sesuatu, rasa pening dan mual tiba-tiba menghantam.
Kirana langsung berlari ke kamar mandi dan memuntahkan seluruh isi perutnya di wastafel.
Seluruh tubuhnya terasa remuk.
Kirana pun membasuh wajahnya untuk merasakan sedikit kesegaran.
Mata Kirana terbelalak ketika mendapati dirinya tidak mengenakan sehelai benang pun di tubuhnya dan ada begitu banyak tanda kemerahan di tubuhnya.
Perlahan Kirana pun mulai merasakan rasa nyeri di bawah perutnya yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
“Astaga! Apa yang sebenarnya terjadi?”
Jemari tangan Kirana perlahan menyusuri setiap bagian tubuhnya yang memiliki tanda kemerahan.
Potongan-potongan ingatan semalam mulai menghampirinya. Kirana ingat bagaimana seorang pria berada di atasnya dengan napas memburu dan sentuhan yang pria itu berikan rasanya mulai menjalar kembali di tubuhnya.
“Ya Tuhan!” Kirana menutup mulutnya dengan kedua tangannya. “Apa yang telah aku lakukan?”
Dengan tubuh bergetar, Kirana keluar dari kamar mandi dengan menggunakan sebuah jubah yang tergantung dan berharap kalau apa yang ia pikirkan tidak benar-benar terjadi.
Kirana melangkah ke arah tempat ia terbaring tadi, dan perlahan menyibakkan selimut besar putih yang menutupi permukaan tempat tidur itu.
Tubuh Kirana tersungkur lunglai ke lantai. Noda darah membekas di sana, dan itu berarti ia telah kehilangan miliknya yang paling berharga. Kirana bahkan tidak tahu kepada siapa ia memberikan miliknya yang paling berharga itu. Semua terasa begitu samar diingatannya.
“Bagaimana bisa ini terjadi? Siapa yang membawaku ke tempat ini?”
Kirana masih mencoba untuk menyatukan potongan-potongan puzzle yang berlarian di ingatannya.
“Terakhir aku ingat, aku datang ke sebuah bar dan lalu aku …”
Kirana langsung memakai pakaiannya dan berlari keluar dari kamar itu. Kirana ingat kalau ia bertemu dengan seseorang di lift sebelum ia sempat pergi ke kamarnya.
Kirana langsung mencari manajer hotel dan meminta akses untuk melihat rekaman lift yang ia gunakan semalam.
“Mohon maaf, Nona Kirana. Kami tidak dapat memberikan Anda akses itu karena setiap tamu di hotel ini sudah kami jamin privasinya.”
Begitulah kata-kata sang manajer hotel.
“Tetapi ini penting, Pak. Menyangkut hidup dan mati saya!” Kirana tetap memaksa untuk melihat rekaman itu.
“Mohon maaf, Nona Kirana. Kami benar-benar tidak bisa. Nona sendiri tahu alasan para tamu penting memilih tinggal di hotel ini adalah karena kami menyanggupi untuk menjaga privasi mereka 100%.”
Sang manajer hotel pun tetap bersikeras menolak permintaan Kirana.
Dengan langkah terhuyung, Kirana harus menelan kenyataan pahit kalau ia telah kehilangan kegadisan yang telah ia jaga selama ini kepada pria asing yang sama sekali tidak ia kenal.
Kirana berdiri di depan lobi menunggu petugas vallet mengambil mobilnya. Tanpa ia sadari beberapa meter di sampingnya, seorang pria tampan dengan tubuh tegap sempurna sedang berdiri di sana.
Sesaat sebelum pria itu masuk ke dalam mobil, pria itu menoleh ke arahnya dan tersenyum.
Mobil itu melewati Kirana yang masih berdiri terpaku tanpa menyadari kalau pria yang menghabiskan malam dengannya baru saja berlalu.
“Nona, mobil Anda sudah siap.”
Suara petugas vallet itu membuyarkan lamunan Kirana.
“I—iya, Pak. Terima kasih.” Kirana meraih kunci mobilnya sambil memberikan selembar uang seratus ribu kepada petugas itu.
Kirana pun segera melajukan kendaraannya menembus ramainya jalanan ibu kota di pagi hari.
Pikirannya terus terbang berusaha kembali mengingat peristiwa malam tadi, tetapi wajah pria itu tetap saja tidak dapat Kirana ingat. Ia hanya ingat bagaimana rasanya sentuhan pria itu di setiap bagian tubuhnya.
“Kenapa rasanya aku begitu menikmati apa yang terjadi semalam?” Kirana menggigit kukunya sambil mengingat potongan kejadian semalam. “Aku bahkan ingat bagaimana aku mendekap erat pria itu sampai rasanya kuku-ku menancap di punggungnya.”
Kirana menatap jari-jari tangannya. Tiga kuku di jarinya patah. “Astaga semua itu benar. Aku benar-benar menikmatinya semalam.”
Kirana menyenderkan kepalanya pada sandaran kursi dan memejamkan mata sambil menunggu lampu lalu lintas berubah hijau.
Perlahan Kirana menyentuh bibirnya. Rasa bibir pria itu masih membekas di ingatan Kirana.
“Aku bisa merasakan lembutnya sentuhan pria itu, tetapi mengapa aku sama sekali tidak bisa mengingat wajahnya?”
Satu bulan berlalu sejak malam itu. Kirana tetap tidak bisa mengingat wajah pria itu. Semua selalu datang secara samar-samar diingatan Kirana. Sekeras apa pun Kirana berusaha mengingat, yang muncul hanyalah rasa sentuhan pria itu dan suara sang pria yang melekat jelas pada ingatannya, tetapi tidak wajahnya.
Pagi ini tiba-tiba saja Kirana merasa begitu mual ketika ia bangun di pagi hari. Dua hari sebelumnya Kirana pun mulai tidak tahan mencium bau tertentu yang menyengat. Ia bahkan tidak bisa memakan makanan favoritnya yang mengandung banyak bawang putih karena sedikit mencium baunya saja, Kirana sudah tidak tahan.
Kirana mengambil handuk kecil di laci kamar mandinya dan matanya tertuju pada susunan pembalut yang sepertinya belum ia gunakan bulan ini.
“Sebentar, sepertinya aku belum datang bulan …”
Kirana langsung mengambil ponselnya dan membuka aplikasi yang biasa dia gunakan untuk menghitung tanggal datang bulannya.
“Bagaimana bisa aku lupa?”
Mata Kirana langsung membulat ketika ia melihat kalau seharusnya ia sudah datang bulan dari dua minggu yang lalu.
“Tidak mungkin …” Kirana meletakkan ponselnya di meja dan ia terduduk di sisi tempat tidurnya. “Kejadian itu hanya terjadi satu kali …”
Kirana langsung mengambil kunci mobilnya dan menuju ke salah satu apotek di dekat rumahnya. “Aku harus segera memastikannya. Tidak mungkin ini terjadi padaku,” gumam Kirana dalam hati.
***
Test pack itu terlepas dari tangan Kirana. Dua garis biru terlihat di sana. Kirana hanya bisa terduduk lemas di lantai kamarnya dengan pikiran yang kacau balau.
“Apa yang harus aku lakukan? Aku bahkan tidak tahu harus meminta pertanggung jawaban pada siapa. Aku tidak tahu siapa ayah bayi ini.” Kirana menangis sambil mengusap perutnya yang masih rata.
Kirana tidak menyadari ada langkah kaki yang mendekat padanya.
“Apa ini?” Test pack yang terjatuh di lantai terangkat. “Kak Kirana, kamu hamil??” Sebuah teriakan itu menyadarkan Kirana kalau ia sudah tidak lagi sendiri di kamar tidurnya.
Kirana langsung berdiri dan berusaha merebut test pack yang sudah ada di tangan Tatiana, saudari tirinya yang ikut andil menyengsarakan hidupnya di rumahnya sendiri.
“Tantiana, kembalikan!” Kirana terus berusaha untuk merebut test pack itu, tetapi dengan cepat Tatiana langsung berlari keluar dari kamar Kirana sambil memanggil ibunya.
Kirana tahu, kalau sampai Tante Sherly, ibu tirinya mengetahui hal ini, maka berakhirlah kehidupannya di rumahnya sendiri.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Hai, selamat datang di novel terbaruku. Semoga kalian suka, ya?
Jangan lupa tinggalin jejak dengan komen, vote atau jadikan novel ini favorite kalian ya supaya ga ketinggalan update bab barunya.
Enjoy!
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments
Sidieq Kamarga
Jadi ingat drakor "Fated go Love" awalnya seperti ini
2022-02-23
0
Sudirman Sudirman
yeee....tok cer juga si babang......
2022-02-11
0
° 。☬R▼ェzel_Yuichi 🗡️
ais selalu aja ada sodara tiri dan ibu tiri jahat 🙄
2021-10-26
1