Terlepas dari tatapan matanya yang haus dan genit menggoda, Nirmala tetap wanita biasa yang mempunyai kesedihan; sama seperti wanita lain. Manakala Nirmala menatap anak kecil seusia anaknya sendiri, wajahnya tersirat banyak sekali luka.
Apabila dia mempunyai masa lalu yang buruk, bukankah pada masa yang sekarang juga tak lebih baik dari sebelumnya? Menjadi istri simpanan, dengan segala risiko yang ada, apalagi cap buruk ‘perebut suami orang’ yang akan dibawanya seumur hidup. Bahkan sampai mati.
Apa Nirmala begitu bodoh sehingga lagi-lagi terjebak ke dalam lubang yang hampir sama. Keluar dari kandang harimau, tetapi masuk ke dalam kandang singa. Atau mungkin lantaran karena sudah telanjur dipandang buruk di depan khalayak, sehingga Nirmala tak lagi memikirkan apapun. Ya, mungkin bisa begitu.
Tetapi mengapa Adiwangsa terus memikirkannya?
Ingin menjadi pahlawan kesiangan?
“Maaf, kemarin aku tak menemuimu. Aku lelah sekali,” kata Adi kepada Alessia. Adi baru sampai dirumah gadis itu dan sedang duduk di ruang tamu.
“Ya, aku tahu,” balas Alessia, Lalu duduk di sebelahnya setelah meletakkan secangkir kopi.
Rumah Alessia terasa begitu adem. Lantaran di depannya terdapat pohon mangga besar. Juga jauh dari kebisingan kendaraan bermotor dan polusi udara. Keseluruhannya, nyaman untuk dihuni.
Apakah ini menjadi tempat tinggalnya nanti?
Entahlah. Jodoh memang tidak ada yang tahu.
Saat masih berseragam SMA dahulu, Adiwangsa memang pernah memiliki kekasih dan pernah menjalani hubungan yang diyakini akan bertahan sampai sekarang. Namun semua itu kandas ketika perempuan itu menjalani pendidikan di luar negeri dan tidak pernah lagi terdengar kabarnya sampai sekarang. Lupa atau sengaja melupakan. Adiwangsa tidak tahu dan tak mau ambil pusing.
“Bagaimana kau bisa tahu?” tanya Adiwangsa.
“Kemarin Ibu sudah menjelaskannya.” Alessia tersenyum menatap Adiwangsa. Senyuman hangat gadis yang mempunyai perasaan kepadanya.
“Jangan merasa terbebani. Aku tidak apa-apa dan aku senang hari ini kau mau menyempatkan datang ke sini.” sambung Alessia lagi.
“Terima kasih atas pengertiannya, Alessia,” kata Adiwangsa.
Adi merebahkan kepalanya di pangkuan Alessia. Hal yang baru dilakukannya dan tak pernah lebih dari itu. Bukan bermaksud menjadikannya pelarian, bersinggah di hati gadis ini bukannya lebih baik daripada terus mengingat istri orang?
Setidaknya, dia berusaha untuk membalas perasaan Alessia.
Alessia masih saja bingung dengan kepala yang ada di pangkuannya. Namun otaknya memberi naluri untuk menyentuh kepala itu. Lalu mengelusnya lembut dan perlahan. Menyusuri rahang yang tegas dan pipi lelaki dewasa yang putih dan halus.
“Apa kau tidak sedang sibuk hari ini?”
Adiwangsa menggeleng. “Ini kan hari libur. Tidak ada yang ku kerjakan.” Kemudian merasakan Adi mengapit tangan Alessia di dagunya yang sedikit berjambang. “Tidak ada yang mengintip ‘kan?” katanya setengah berbisik.
“Ada,” jawab Alessia.
“Siapa?”
“Tuhan yang Maha melihat.”
“Bapak juga!”
Namun tiba-tiba suara laki-laki menyahut. Adi langsung berjingkat mengangkat kepalanya dari pangkuan Alessia dan tersenyum kikuk. “Pagi, Pak.”
“Apa itu perbuatan terpuji?” tanya Pak Amran; bapak kandung Alessia. “Berani macam-macam dengan anak saya, habis kamu!”
“Bapak …,” sergah Alessia. “Kita kan hanya--”
“Masuk!” hardik Amran.
“Masih ada tamu, Pak. Masa mau ditinggal?”
“Masuk sekarang!”
Adi sangat merasa bersalah. Manja dan lebay sekali jadi lelaki! Mengapa juga ia harus bertingkah konyol seperti tadi kepada anak gadisnya? Pasti Amran berpikir yang buruk-buruk tentangnya. Ya ampun ....
“Al, aku pulang dahulu, ya,” pamit Adi memohon diri.
“Tetapi, Di?” Alessia menatapnya tak rela sekaligus tidak enak.
“Sssshhh, sudah. Aku tidak apa-apa. Seharusnya aku tidak seperti itu tadi. Ini salahku juga.” Adi memasukkan ponsel ke dalam tasnya lalu beranjak berdiri, “pamit ya Om, saya minta maaf kalau kedatangan saya mengganggu.”
Amran hanya menatapnya dengan tajam tanpa mau membalas ucapan Adiwangsa. Adiwangsa malu sekali diperlakukan seperti itu. Mungkin lain kali tak perlu dirinya datang lagi ke sini. Mau di taruh di mana wajahnya?
Adiwangsa memukul-mukul setirnya setelah mobil melaju. Uh sial sekali hari ini. Ia memang tidak berbakat dalam hal berkencan. Satu kata untuknya; BODOH!
***
Pada saat hari kerja, setiap orang pasti ingin segera menemui hari libur. Tetapi jika mereka menemui hari libur, rasanya tidak enak juga dan ingin cepat-cepat masuk kerja lagi. Sungguh aneh sekali dunia ini. Tak tahu lagi seperti apa mempunyai hidup yang enak. Seolah-olah di dunia ini kita diciptakan hanya untuk lelah; termasuk dalam hal menyikapi keadaan. Seperti yang dirasakan Adiwangsa misalnya. Di jadwalnya yang kosong ia ingin melakukan sesuatu. Tetapi ia juga malas untuk sekadar bergerak. Ini benar-benar membingungkan!
Mungkin memang sudah waktunya ia harus menikah. Tetapi masalahnya menikah dengan siapa? Dirinya yang masih belum yakin dengan perasaannya, pun jiwa mudanya yang masih ingin bebas dan belum ingin terikat dengan komitmen.
Namun pertanyaan Diana menghentikan monolognya. “Bukannya tadi katanya ke rumah Alessia?”
“Kan sudah.”
“Kok sebentar sekali, Bang. Kan ini hari libur, ajaklah Al ke mana, gitu ….”
“Malas,” jawab Adi menutupi apa yang baru terjadi. Karena pasti akan menjadi bahan bullyan jika Diana mengetahuinya.
“Malas terus jawabanmu. Membosankan sekali jika harus mempunyai pasangan sepertimu, Bang.” Diana sedang terburu-buru memakai jam tangannya. Tubuhnya sudah tercium parfum yang wangi.
Adiwangsa langsung membuka matanya seketika itu juga saat mengetahui Diana akan pergi. “Mau ke mana?”
“Mau jalan sama pacarku, lah. Memangnya ngapain di rumah terus suntuk banget.”
“Jangan macam-macam kau Di, lagian pakaianmu juga begitu. Kurang sopan,” ucap Adiwangsa memperingatkan. “Jangan pulang terlalu malam!”
“Tidak, palingan jam sepuluh sudah pulang,” jawab Diana.
“Itu terlalu malam, sebelum magrib kau sudah sampai di rumah. Kalau tidak Abang akan menjemput dan menyeretmu pulang!” tegas Adiwangsa.
“Diana bukan anak kecil, Bang.” sungut Diana. “Itu memalukan sekali kalau Abang sampai benar-benar menjemputku. Diana tidak suka!”
“Abang tidak main-main, Di. Kau adikku dan Abang bertanggung jawab atasmu. Kalau terjadi apa-apa, Abang tak bisa memaafkan diri sendiri lantaran tidak bisa menjalankan amanah dari Ayah untuk menjagamu!”
“Itu terlalu lebay, Bang. Diana hanya jalan ke Mall dengan Dio. Abang pun sudah mengenalnya.”
“Ya, tetapi hanya sekadar mengenalnya saja.”
“Tenang saja, tidak akan terjadi macam-macam!” Diana lekas pergi setelah memohon diri. Di luar sana, telah menunggu mobil berwarna hitam berlogo H dan lelaki yang tengah membukakan Diana pintu.
Lantaran kesal dengan respons Diana yang abai. Adiwangsa menyulut rokok dan menyesapnya kuat-kuat.
Dan dalam kekesalannya yang runtut; mulai dari dirinya yang bosan, kesialan di rumah Alessia dan tingkah laku adiknya. Adiwangsa berpikir; mungkin akan lebih menyenangkan jika ia bisa pergi menemui Nirmala.
Bukankah tehnya sangat enak? Dan ia diperbolehkan datang lagi kalau ia menginginkannya.
***
To be continued.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments
Siti Komariah
wah...tergoda sama simpanan boss toh
2022-03-30
0
Eti Rahmawati
jgn tergoda deh di
2022-01-27
0
Iie Bae
ngaco deh si Adi
2021-12-08
0