Banyak hal yang tidak bisa terlupa sepulang Adi dari rumah Nirmala. Yakni; cara menatap wanita itu, senyumannya, cara duduknya dan suaranya yang berbisik setengah mendesah. Apabila Adiwangsa bukan orang yang peka, niscaya Adiwangsa tidak pernah bisa menangkap keganjilan yang terjadi.
Wanita memang pandai menyembunyikan perasaan, Adi percaya akan kebenaran ungkapan itu. Bukan pria yang munafik, sebenarnya Adiwangsa juga senang bila Nirmala menyukainya. Tetapi janganlah disangka Adiwangsa akan berbuat gila. Menggunakan kesempatan ini untuk balik menggodanya; lantas merayunya, mencumbunya dan mengajaknya berguling-gulingan di atas peraduan. Sungguh itu sangat keterlaluan dan sangat kurang ajar sekali. Siapa pun tahu siapa sosok Baron tarigan; lelaki yang mempunyai banyak kekuasaan. Bisa saja itu hanyalah sebuah jebakan (?).
Apa yang akan dilakukan olehnya bila itu benar-benar terjadi? Tidak akan pernah, aku masih waras!
Dan satu hal lagi yang membuat isi otaknya kacau sampai saat ini, yaitu kata-kata Nirmala sebelum Adiwangsa meninggalkan rumahnya kemarin sore, “aku tahu tadi celanamu sempit!”
Sungguh itu adalah fakta yang paling memalukan di dalam hidup Adiwangsa. Tidak pernah sebelumnya ada seorang wanita berani mengatakan hal seperti itu secara terang-terangan kepadanya. Tidak pernah menduga pula ternyata Nirmala sampai memperhatikan benda di dalam sana yang letaknya sangat tersembunyi.
Mengapa ada wanita tak sopan seperti itu kepada lelaki yang baru saja dikenalnya? Lalu bagaimana jika Baron mendengarkan hal ganjil ini?
Namun tiba-tiba, sebelah siku menyenggolnya sehingga ia sedikit tersentak. “Jangan melamun! Sebentar lagi rapat akan dimulai,” kata Rury menyadarkannya.
“Iya, Mbak.”
Rury kembali mengingatkannya, “minum air mineral supaya kau lebih fokus.”
Adiwangsa mengangguk lalu menenggak minum setelahnya.
“Selamat siang semuanya,” kata Baron memulai sambutan. “Terima kasih kepada semua divisi yang sudah hadir pada rapat hari ini. Saya sudah melihat laporan tiga bulan terakhir. Saya ingin meminta laporan setiap pimpinan divisi, apa kendalanya sehingga kita mengalami penurunan penjualan.”
“Baiklah, dipersilakan para divisi untuk menyampaikan hasil laporannya,” ucap Adiwangsa.
Dan satu persatu masing-masing divisi menjelaskan kendala. Yakni disebabkan oleh iklan yang masih sangat jauh dari iklan pesaing, sehingga mereka mengalami penurunan sepuluh persen dari sebelumnya. Sehingga masing-masing divisi menyarankan beberapa inovasi baru walaupun hal itu akan memerlukan dana yang lebih besar.
Beberapa puluh menit berlalu, akhirnya rapat pun dinyatakan closure (sudah mencapai kesepakatan bersama). Urat-urat tegang perlahan mengendur saat semua keluar dari ruangan rapat yang paling dingin dan mencekam itu.
“Setelah ini, ke mana Pak?” tanya Adiwangsa saat mengikuti Baron menuju keluar.
“Kepala saya sedikit pusing; mungkin karena rapat tadi. Antarkan saja saya pulang ke rumah Pondok Indah,” titah Baron. “Setelah ini, kau juga boleh pulang.”
“Baik, Pak.”
Setelah selesai mengantarkan Baron pulang, Adiwangsa pun menuju ke rumahnya sendiri.
“Mau aku buatkan apa, Bang?” tanya Diana; adik Adiwangsa satu-satunya. Dia gadis berumur dua puluh empat tahun yang baru saja menyelesaikan kuliahnya.
“Jangan kau buatkan apa-apa, aku hanya ingin tidur.” lantas Adi berdiri. “Ibu ke mana?”
“Ibu lagi masak daging sama Alessia,” jawab Diana.
“Alessia?” tanya-nya dengan bingung.
“Loh, kupikir abang tahu Alessia ada di sini. Maka dari itu abang pulang lebih awal.”
“Abang pulang bukan karena itu. Tapi memang sudah tidak ada pekerjaan lagi.”
“Alah, bohong. Tidak papa, Bang. Abang jangan malu-malu begitu sama adik sendiri. Kalian janjian kan? Sudah mau go publik?” kata Diana menggodanya. “Jadi, kapan nih Abang mau menikahinya?”
“Siapa juga yang mau menikah?”
“Nanti bisa keduluan sama aku, Loh, Bang!”
“Ya sudah, kalau kamu mau duluan ya terserah. Santai saja, jodoh tidak akan ke mana.”
“Bisa diambil orang kalau kelamaan, tahu!” kata Diana lagi mencoba memanasnya. Namun Adiwangsa tampak bersikap biasa-biasa saja tanpa merasa bagaimana-bagaimana. “Cewek itu tidak bisa menunggu terlalu lama.”
“Abang malas memikirkannya,” jawab Adi.
“Jangan seperti itu, Bang. Kasihan tahu! Diana yakin, nih. Kalau pacar Abang itu bukan Alessia …, bah! Pasti tidak ada cewek yang kuat lama-lama sama Abang.”
“Justru cewek itu sukanya yang lama!” sanggah Adiwangsa cepat.
Mata Diana seketika melotot. Sejak kapan Abangnya jadi mesum?
Seolah tak menghiraukan kedatangan Alessia yang sedang berada di sini, Adiwangsa malah masuk ke kamar dan merebahkan dirinya di ranjang. Dan lagi-lagi … ia kembali terbayang-bayang wajah si jelita dan pahanya yang sedikit terbuka.
“Aaarghh! Aku ini kenapa, sih?” Adiwangsa menggeram lalu mengacak-acak rambutnya. “Apakah mungkin teh aroma kelapa bisa membuatku gila?”
***
Keesokan harinya saat sarapan pagi ....
“Kemarin Alessia ke sini, kenapa kau tidak menemuinya?” tanya Sukma. Wanita yang membesarkan dan melahirkannya. "Kau malah tidur sampai sore."
“Aku sedang lelah, Bu,” jawab Adiwangsa tak acuh. Mungkin asam padeh lebih nikmat daripada obrolan ini.
“Selelah apapun kondisimu, paling tidak kau menemuinya sebentar.”
“Ya, nanti aku ke rumahnya supaya dia tak salah paham,” kata Adiwangsa lagi agar ibu menutup pembicaraan ini. Ia sedang tak ingin membahas apapun tentang Alessia. Ia kesiangan pagi ini dan sudah di telepon wara-wiri oleh Baron untuk mengerjakan beberapa tugas yang harus dilakukan olehnya. Salah satunya mengantarkan Nirmala pergi ke pusat perbelanjaan.
Selain karena tugas, apakah wanita itu lebih menarik dari segi apapun?
Ya, tentu saja!
“Aku berangkat dulu, ya, Bu,” kata Adiwangsa mengulurkan tangan. “Aku sudah telat setengah jam.”
“Ya, kau pergilah, hati-hati, Nak. Selain kau menjaga nyawamu sendiri, kau juga menjaga nyawa orang. Pak Baron bukan orang sembarangan. Kau tidak boleh lengah sedikitpun, Nak.”
“Tolong doakan saja, Bu.”
“Ya, Ibu selalu mendoakanmu. Itu pasti, Nak.”
Setelah berpamitan, Adiwangsa langsung menuju ke kantor terlebih dahulu untuk menemui Baron. Lagipula, ini masih pukul delapan. Adiwangsa masih mempunyai luang waktu dua jam sembari membereskan sedikit pekerjaannya.
“Apa harus saya, Pak?” protes Adi pura-pura berkeberatan.
“Kenapa? Kau tidak mau?”
“Bukan begitu, Pak. Maksud saya-”
“Mommy-nya anak-anak akan ke sini siang ini,” potong Baron cepat. “Saya tidak mau beralasan lagi; karena setiap istri pertama saya datang, saya tidak sedang berada di sini. Saya menyuruhmu, karena kamu asisten saya dan saya percaya denganmu.” Baron menyerahkan kartu kepada Adiwangsa. “Bawa ini dan pakai saja mobilmu. Karena tidak mungkin kamu membawa mobil saya lantaran pasti akan menimbulkan banyak sekali pertanyaan.”
“Baik, Pak.”
“Mall buka jam sepuluh, kau pergilah setengah jam sebelum itu. Saya tidak mau mendengarkan apa-apalagi.”
Baron kembali mengarahkan pandangannya ke layar tanpa memedulikan Adiwangsa lagi.
***
To be continued.
Pencet gambar love biar ada notif kalau novel ini update.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments
Juliezaskia
oh..teh yg bikin babang pusing 7 keliling..😀😀
2022-01-06
0
Maryam Rizal Al-Idrus
gara² minum teh nya Nirmala nih si Adi jd terbanyang terus😀😀 jgn² 🤔🤭
2021-08-10
0
alvalest
iya pake pelet pa y..
2021-07-27
0