“Kenapa lama sekali?” tanya Nirmala pada saat Adi datang. “Aku bosan dirumah terus. Kau tahu kan? Aku ini seperti dikurung di dalam sangkar. Tidak bisa pergi selain dengan Mas Baron atau orang-orang suruhannya.”
Raut wajah Nirmala terlihat menyedihkan. Apa selama ini dia menjalani hidup seperti itu?
“Saya tadi ke kantor dulu, Bu. Kebetulan memang ada hal yang harus saya kerjakan.” Adi langsung membukakan pintu mobil untuknya. Namun tiba-tiba saja Nirmala menolak.
“Kenapa, Bu?” tanya Adi heran. “Apa mobilku kurang nyaman? Kurang bagus? Atau mau saya rentalkan mobil yang lebih mewah daripada ini?” Adi mencoba memberikan opsi untuknya.
“Bukan masalah mobilnya,” kata Nirmala menyanggahnya. “Aku ingin duduk di depan saja.”
“Oh ....” Adiwangsa membulatkan bibirnya. Terserahlah!
Lalu membuka pintu depan. “Ya sudah, silakan.”
Tak berapa lama, mobil melesat meninggalkan kompleks itu, menuju ke Mall Senayan City Jakarta Pusat. Entah karena apa hari ini Jakarta terlihat lengang, sehingga tak memerlukan waktu lama untuk mereka sampai di sana.
“Kau ikut turun ‘kan?” tanya Nirmala pada saat Adi menurunkannya di lobby. “Tentu kau harus turun, kalau tidak, siapa yang akan menjagaku? Bagaimana kalau terjadi apa-apa denganku. Kau bisa dipe-”
“Baik, Bu!” potong Adi cepat dan lantas memberikan kunci mobilnya kepada petugas valet sehingga ia tak perlu pusing mencari lahan parkir.
Sudahlah, jangan mencari gara-gara, turuti saja!
Keduanya masuk ke dalam Mall itu dan menuju ke lantai bawah. Membeli berbagai kebutuhan; mulai dari bahan pangan, alat-alat pembersih, hingga segala jenis persabunan. Lantas setelah semuanya terbayar di kasir, Adiwangsa sibuk membawa beberapa belanjaan itu ke bagasi mobil. Lalu kembali lagi menemani Nirmala untuk berbelanja pakaian.
“Apa ini bagus?” tanya Nirmala sambil memantaskan dress satin berwarna kulit itu ke hadapan Adiwangsa. “Bagaimana menurutmu?”
“Ya. Bagus, Bu,” jawab Adiwangsa, walaupun sebenarnya ia sendiri tak tahu bagaimana pakaian yang bagus untuk style perempuan. Ya mana aku tahu!
“Kau ini serius atau tidak? Kenapa wajahmu kurang meyakinkan.”
“Ibu tetap cantik memakai baju apapun.”
“Kau membual, ya?”
Adi menggeleng, “tidak, Ibu memang cantik,” ujarnya dengan wajah yang serius.
Nirmala tersenyum, “ya sudah, aku pilih ini saja.”
“Baiklah, saya akan membayarnya,” kata Adi. Lalu membawa pakaian itu menuju ke kasir. Namun saat mereka keluar dari sebuah outlet, Nirmala mengajaknya ke foodcourt.
“Kamu mau pesan makan apa?” tanya Nirmala menyodorkan buku menu.
“Samakan saja, Bu. Saya bukan orang yang pemilih.”
“Oke, baiklah.”
Sambil menunggu pesanan datang, Adiwangsa diam-diam mencuri pandang wanita yang sedang sibuk dengan layar ponselnya. Bahkan ia juga mendengar percakapannya dengan Baron yang sedang bertanya; sedang apa sekarang, dan di mana keberadaannya kini. Dan lugasnya Nirmala selalu menyikapi dengan santai tanpa beban. Tanpa ada rasa takut sedikitpun dia pergi selama itu dengannya. Padahal, Adi sudah merasa tak nyaman lantaran takut Baron menduganya yang tidak-tidak. Pekerjaan ini serupa orang yang sedang membawa telur; tergelincir sedikit bisa jatuh menggelinding dan pecah seketika saat menyentuh lantai. Harus berhati-hati sekali.
“Kau takut kepada Baron?” tanya Nirmala sesaat setelah panggilan telepon ditutup.
“Tidak,” kilahnya. “Untuk apa takut. Saya bekerja untuknya. Dan saya tidak melakukan apa-apa selain itu.”
“Sudah lama aku tidak menghirup udara segar seperti ini. Aku rindu kebebasan,” kata Nirmala setelah hening beberapa saat.
“Kenapa bisa?” kata Adi berpura-pura menanggapi agar wanita itu merasa dihargai. Sesungguhnya ia malas sekali mengerti masalah orang. Masalahnya sendiri juga sangatlah banyak. Tetapi tidak ada salahnya juga menjadi pendengar yang baik.
“Ya, itu karena Baron mengurungku di sana!” katanya setengah kesal yang ditujukan kepada lelaki kadal tua itu, namun seolah Adi yang menjadi objeknya. “Aku tidak tahan, aku ingin dia cepat mati. Tapi dia tidak mati-mati.”
“Apa Ibu tidak takut jika saya akan mengatakannya?”
Aneh sekali wanita ini, tidak berpikir-kah dia, siapa lelaki di depannya?
“Tidak, justru aku bersyukur. Dan mungkin karena penuturanmu kepadanya, aku bisa bebas.”
“Kalau begitu, katakan saja secara langsung,” ujar Adi.
“Aku memang memiliki keberanian, tapi tidak seberani itu juga.”
“Ini terdengar aneh. Ini pilihan Ibu Nirmala sendiri, tetapi Ibu juga yang menyesalinya.”
“Ceritanya sangat panjang.” Nirmala membuang arah ke samping tempat duduknya yang tengah diduduki oleh satu keluarga. Suami istri dengan dua anak; laki-laki dan perempuan.
“Mommy, aku ingin makan kentang, Mommy!” rengek seorang anak laki-laki berwajah Chinese itu. “Apakah boleh?”
“Boleh sayang, boleh …, Mommy pesankan dulu, ya?”
“Oke, Mommy. Yang banyak ya, Mommy!”
“Iya, sayang, iya ....”
Mata Nirmala berkaca-kaca melihat anak berusia sekitar tiga tahunan yang duduk dua langkah darinya. Adi ikut sedih melihat Nirmala seperti itu walaupun ia tak mengerti apa penyebabnya.
Adi mengulurkan tisu kepada Nirmala.
“Terima kasih,” kata Nirmala menunduk dalam.
“Kalau anakku hidup, pasti sudah sebesar dia,” katanya lagi. Adi sedikit tersentak mendengar Nirmala ternyata sudah pernah mempunyai anak.
“Loh, Ibu sudah punya anak? Dengan Pak Baron?”
“Bukan.” Nirmala menggeleng. “Dengan seseorang sebelum itu, tetapi karena-- ah, sudahlah. Aku bisa menangis berhari-hari dan kembali depresi jika aku mengorek lagi cerita sedihku.”
“Jadi, obat yang kemarin?”
“Ya,” jawab Nirmala sambil mengangguk. “Itu anti depresan ….”
Beberapa saat kemudian, makanan pun datang. Keduanya menyantap makanan sebelum akhirnya Adiwangsa mengantarkannya pulang.
“Memangnya … sebelumnya Ibu tinggal di mana?” tanya Adiwangsa saat mereka sudah berada di dalam mobil.
“Sebelumnya tinggal di Jogja.”
“Lalu pindah ke sini setelah menikah dengan Pak Baron?”
“Ya, aku pindah ke sini sebelum dan sampai menikah dengan Pak Baron.”
“Oke, oke ….” Adiwangsa mencukupkan percakapan ini yang bisa saja merembet sampai ke mana-mana. Dan demi sebuah ketenangan, ia lebih baik tak mencari tahu tentang itu. Tidak ada juga faedah dan manfaat untuknya. Tujuannya saat ini hanya mengerjakan tugas yang memang harus dilakukan.
“Yakin, kau tidak mau mampir dulu?” tanya Nirmala setelah Adi menurunkan semua barang-barang belanjaan.
“Tidak, Bu. Ini sudah terlalu lama. Saya yakin Pak Baron juga sudah menunggu saya di sana.”
“Makasih sudah mau mengantarkanku berbelanja hari ini,” kata Nirmala sambil tersenyum. “Boleh aku meminta nomor ponselmu?”
Apa itu perlu?
Namun sebelum menjawab, Nirmala berkata lagi. “Aku harus memiliki nomor ponselmu agar aku bisa menanyakan suamiku, ketika dia sedang sibuk atau disita hpnya oleh istrinya.”
Ini bukan meminta tapi memaksa.
“Oh, iya, baiklah.” Adi mengeluarkan ponselnya dan menyerahkannya kepada Nirmala agar menuliskannya sendiri. Dan ia pergi meninggalkan kompleks perumahan elite itu setelahnya. Lalu menuju ke kantor untuk kembali menemui Baron.
***
To be continued.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments
Yovi Zakaria
baca dulu baru ngelike dan favorit
2021-09-03
0
sitiazzahra
up lg .ka
2021-07-27
0
Mawar putih
menarik😍
otw ngasih vote pertama😂
2021-07-26
2