Mama Gea seorang dokter bedah. Malam ini adalah jadwal dinasnya. Setelah Mamanya pergi, ia masuk ke dalam kamarnya. Ia berjalan lunglai lalu merebahkan tubuhnya ke atas kasur dengan posisi tertelungkup.
“Penguntit itu, aku lupa.” Gea duduk dengan cepat. Pikirannya berubah, ia menyadari jika itu semua adalah salahnya sendiri. Dia menari mengunakan bra tanpa menutup rapat jendela kamarnya. Gea kembali merebahkan tubuhnya.
“Lihat saja jika ini terulang. Aku akan mencongkel matamu, wahai penguntit jahanam!!!” Teriaknya histeris seperti orang gila, dan langsung memejamkan matanya. Ia melepas lelahnya hari yang telah ia lalui. Jam menunjukkan pukul 2 malam. Alarm sudah berbunyi sebanyak 2 kali. Sinar senter mulai menusuk-nusuk jendela kamar Gea. Kerikil kecil mulai berhamburan di depan kaca jendela kamar Gea. Itu pertanda, jika Didi dan Ervan sudah menunggu lama. Gea langsung duduk, dan memakai sweater di kursinya, lalu keluar melalui jendela.
“Kau itu sudah di bilang pasang alarm sebelum jam 2. ” Bisik geram Didi pada Gea.
“Maaf- maaf.” Bisik Gea sembari menunduk.
“Maaap-maap.” Cemooh Ervan menirukan wajah Gea yang sok memelas dengan mulut yang lebih menjijikkan.
“Gak gitu juga kalii!” Teriak Gea, dengan cepat Didi menutup mulut Gea dengan telapak tangannya.
“Kau ini, sudah bangun lama, bikin gara-gara lagi. Tuh tetangga baru belum tidur.” Bisik geram Didi sembari membawa Gea berjalan duluan. Sementara Ervan masih menunggu Bimo yang kembali pulang menjemput kunci. Mereka sampai di depan pintu aula komplek.
“Kunci, mana kunci.” Didi menoleh pada Bimo, Bimo langsung memberikan kunci tersebut ke tangan Didi. Kunci tersebut mereka dapatkan setelah menduplikatkan kunci asli yang berada di tangan pak RT. Karena kehebatan dan kelicikan mereka, kunci itu bisa mereka gandakan. Sementara itu, Ervan dan Gea sibuk memantau situasi.
“Aman?” Tanya Bimo pada Ervan dan Gea.
“Yes, aman.” Jawab mereka serentak. Dengan langkah pelan, mereka masuk ke dalam aula komplek. Aula komplek ini berukuran 5x7 meter persegi. Aula ini memiliki beberapa baris kursi yang tersusun rapi dengan satu layar monitor layaknya sebuah bioskop. Bedanya, aula ini memiliki makanan dan minuman kemasan yang melimpah layaknya mini market. Bimo bergegas menghidupkan lampu depan aula. Gea memperhatikan barang bawaan Ervan.
“Kenapa kau bawa Laptop? Ingin copy yaa.” Goda Gea pada Ervan. Sementara Ervan hanya cuek dan berjalan menuju kursi pada barisan paling depan. Gea yang curiga mengikuti Ervan dan mulai memperhatikan apa yang akan dilakukan oleh Ervan. Ervan duduk, membuka laptopnya lalu membuka Google, dan mengetik blog milik Oliv. Tingkah Ervan yang seperti ini, membuat Gea memberikan pemikiran jika Ervan telah jatuh cinta pada Oliv.
“Ceilah, sampai segitunya. Sekarang, jawab aku. Apa kau benar-benar menyukai Oliv?” Tanya Gea pada Ervan dengan mata yang berbinar-binar.
“Cih.”Ervan berdecih lalu memutar layar laptopnya pada Gea. Gea membaca berita yang terdapat dalam layar laptop tersebut.
“Ada artis di komplek kita. Apa si Kevin sudah pulang?” Tanya Gea dengan rancu pada Evan. Bimo dan Didi berjalan mendekat kearah mereka karena penasaran dengan pembicaraan mereka berdua.
“Ternyata ini jawabannya Di.” Ervan memukul pelan perut Didi yang sedang fokus membaca berita dari blog Oliv.
“Tunggu, apa maksud pembicaraan kalian berdua? Jawaban?” Tanya Gea dengan wajah sinis pada Didi dan Ervan. Gea menjadi tampak sangat curiga pada mereka berdua.
“Ada artis yang baru pindah ke komplek kita, yang pasti itu bukan Kevin. Dan si Oliv, sedang mencari tau kebenarannya. Makanya, dari tadi pagi aku sudah curiga dengan gerak-geriknya. Pagi tadi, dia berdiri lama di bawah pohon yang berada di depan rumahmu. Dan tadi waktu pulang les, dia memotret rumahmu. Ya, aku curiga, jangan-jangan dia menjadikan bisnismu sebagai bahan tulisannya pada blog kebenciannya ini.” Jawab Ervan dengan bijaksana.
“Oooh, jadi maksudmu tetangga baru disebelah rumahku itu adalah seorang artis.” Tanya Gea lagi dengan wajah antusias. Gea membayangkan jika artis itu sangat tampan seperti poster boy band di kamarnya. Dia juga membayangkan pertemuan mereka, lalu saling jatuh cinta, dan menikah.
“Bisa jadi.” Jawab ketus Ervan sembari menggaruk-garuk kepalanya.
“Bisa ramai lagi nih komplek kita sama fans tak jelas. Hei kau kenapa?” Didi melirik wajah Gea yang tersenyum malu.
“Benar, aku masih ingat ketika Kevin pulang dari Amerika. Es dawet sampai ke bawah jendela kamarku karena sangkin ramainya. Satpam yang kekar tak ada gunanya.” Sahut Bimo yang tidak peduli dengan Gea.
“Hoi Gea!” Didi berdiri dan menatap Gea.
“Sepertinya dia membayangkan jika dia akan menjalin cinta dengan artis tersebut.” Ervan menatap aneh pada Gea.
“Jadi rumahnya yang disebelah mana?”Gea menatap Ervan dengan wajah lebih antusias.
“Di sebelah rumahmu, rumah Nenek Rosmini.” Gea tiba-tiba terdiam.
“A-anak te-tangga baru itu.” Gea mengingat pertemuannya kamarin siang dengan anak tetangga baru.
“Kau kenapa lagi?” Tanya Ervan.
“Haaaaaaah. Dia, artis? Tunggu, aku rasa si Oliv salah orang deh.” Gea mengingat wajah tetangga barunya yang memiliki gaya seperti Andika kangen Band pada tahunnya.
“Sudah, jangan terlalu dalam mengurus urusan orang lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan kita. Kau juga Gea, jangan terlalu sering menghayal. Oke, urusan dengan Oliv, selesai.” Didi menutup laptop Ervan dengan jari lentiknya.
“Oke, mari kita mulai film kita pada malam ini.” Bimo melangkah menuju DVD yang berada di sudut depan ruangan. Bimo memasukkan kaset dan duduk dengan wajah antusias. Begitu pula dengan Didi, Ervan, dan Gea.
“Wah, walau warnanya masih kusam, tapi jalan ceritanya sangat menarik.” Kagum Ervan.
“Aku suka Samuel, apa ada pria seperti dia di dunia ini?” Gea menatap pemain pria di film itu, wajah berharap.
“Prok, prok, prok.” Mereka berempat bertepuk tangan.
“Wajib nih Gea, masuk situsmu. Kau buat iklan besar-besar di grup WA kan, makin banyak yang berminat masuk situsmu.” Didi tampak terpana, 2 jam sudah film lawas ini di putar. Bimo langsung membereskan semua jejak mereka.
“Kenapa kalian hanya diam saja?” Tanya Bimo, pada ketiga temannya yang duduk bermalas-malasan.
“Kau bersihkan saja sendiri Bim, itung-itung bakar lemak.” Jawab Didi dengan mengeluarkan ponselnya.
“Dasar kelompok kedelai dungu.” Bimo membersihkan semua sisa makanan mereka. Setelah itu, mereka berempat melangkah keluar aula, dan kembali menggunci aula tersebut. Angin pagi mulai berhembus.
“Anginnya dingin ey.” Bimo menggulung tangannya masuk ke dalam sweaternya.
“Ini sudah jam berapa sih?” Tanya Didi.
“Setengah empat pagi.” Jawab Gea.
“Ala mak jang, kepagian kita.” Didi mempercepat langkahnya. Sesampai di depan rumah Gea, Didi dan Ervan menunggu Gea hingga masuk ke dalam kamarnya. Sementara Bimo, langsung masuk ke dalam rumahnya. Gea berjalan cepat melewati pagar bonsai rumahnya. Didi menyenter jalan Gea dari kejauhan. Langkah Gea terhenti ketika melirik kamar tetangga baru, atau kamar si penguntit.
“Jam segini dia masih belum tidur. Apa yang sedang dia lakukannya di dalam sana? Apa dia menungguku? Aku penasaran dengan si penguntit ini.”Gea menuju jendela kamar tetangga baru yang berseberangan dengan
jendela kamarnya. Melihat langkah Gea berbelok kearah kanan, Didi langsung memberi kode dengan bersiul.
“Piiwiitt!” Siulan Didi menembus telinga Gea, membuat Gea menoleh pada mereka berdua. Dengan gaya mengerikan Ervan memberi kode menggunakan jari telunjuknya yang ia sayatkan pada lehernya.
“Apa itu adalah kode jika dia ingin membunuhku?” Tanyanya rancu Ervan menunjuk kamar tetangga baru.
“Oooh, jadi kalau aku mendekat ke jendela ini, mereka akan membunuhku. Berani sekali.” Gea berbelok kearah jendela kamarnya dan langsung masuk ke dalam kamarnya. Tanpa pikir panjang, Gea langsung tewas terkapar di atas kasurnya. Sementara itu, Ervan dan Didi berlari kencang menuju rumahnya masing-masing.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments