"Hehehe... maaf Naura! Aku hanya bercanda. Aku ingin membuatmu rileks dan nyaman saja!" kata Affandi membuat Naura menatap tajam.
"Setelah nyaman, aku mau kau buat apa?"
Jawaban Naura yang sangat tak Affandi duga. Pria berumur 31 tahun itu hanya mengusap wajahnya. Wanita yang kini berstatus janda dihadapannya itu cukup membuatnya sedikit depresi.
"Maaf, kalau kata-kataku terdengar pedas!" kini Naura meralat ucapannya dengan meminta maaf pada Affandi.
"Aku tahu, kamu pasti kesal dengan tingkahku. Aku mengerti! Bahkan pengacaraku yang lalu mengundurkan diri tanpa memberitahukan terlebih dulu padaku. Setidaknya, aku masih bisa mengucapkan terima kasih padanya karena pernah peduli dan bersedia membantuku menangani kasus pelikku!"
Kata-kata Naura membuat Affandi tersenyum. Ia akui, wanita yang kini adalah klien nya itu adalah wanita cerdas. Terlihat dari pintarnya ia merangkai kata hingga bisa meluluhkan gumpalan batin yang tadi menggunuk disanubarinya.
"Tapi jika kamu juga kesal padaku, tidak mengapa. Pergilah pak pengacara! Aku tidak butuh pembela diruang sidang nanti!"
Kali ini kata-katanya terdengar apatis. Terselip rasa keputus-asaannya disana. Membuat Affandi kembali menyunggingkan senyum tipisnya.
"Naura! Apa kamu sebegitu kecewanya dengan hidupmu?"
"Aku ini pembunuh suamiku sendiri. Dan memang aku yang membunuhnya. Tak perlu lagi ada pembelaan, karena aku memang bersalah. Mutlak!"
"Kamu tidak takut dijatuhi hukuman mati?"
"Itu sudah konsekuensinya bukan? Nyawa dibayar nyawa."
Affandi tersenyum menunduk. Ia mengeluarkan alat rekam dari tas kecilnya.
"Bolehkah aku merekam perbincangan kita, Naura?"
Naura tak langsung menjawab. Hanya menelan saliva, kemudian ia mengangguk pelan.
Batinnya kosong. Raganya seolah melemah. Jiwanya seketika pun merapuh. Pecah tangisannya. Entah mengapa.
Setelah sekian minggu dicecar berbagai pertanyaan dari pihak sana-sini. Bahkan dibentak dan sedikit di-intimidasi tak membuat Naura bergeming. Tapi dihadapan Affandi, belum ditanyapun ia sudah begitu meleleh, jatuh airmatanya dengan tangisan sedih menyayat hati.
Affandi bukanlah pengacara kondang yang sohor terdengar namanya ditelevisi. Bahkan mungkij nyaris belum pernah terlihat sosoknya dilayar kaca. Usianya juga masih muda jika disandingkan dengan para pengacara lainnya yang sudah berkibar namanya dikancah pengadilan Indonesia.
Tapi pendekatan yang Affandi lakukan membuatnya ingin 'meminjam bahu' menceritakan semua beban dihatinya, dan mengurangi kegundahan dijiwanya.
Lama juga Naura terisak. Sekitar satu jam kurang. Hingga akhirnya Affandi mulai mengajukan pertanyaan.
"Berapa lama Naura menikah dengan korban?" pertanyaan pertama yang dilontarkan Affandi mendapat respon biasa dari Naura.
"Sepuluh tahun. Disaat usiaku 21 tahun, kami sepakat menikah. Tentunya dengan restu orangtua."
"Pernikahan yang cukup lama."
"Iya."
"Maaf, apa Naura mencintainya? Atau kalian menikah karena ada paksaan dari pihak lain?" Naura melamun. Tapi segera menggelengkan kepalanya.
"Tidak. Aku menerima lamarannya karena mencintainya. Kami memang tidak berpacaran. Tapi kami saling kenal cukup lama. Karena kost-an dia dan kost-anku letaknya berseberangan. Jadi kami sering berpapasan dan saling lempar candaan!"
"Dikostan?"
"Iya. Aku bekerja sebagai kasir disebuah toko pakaian dan aksesoris. Dan dia juga adalah karyawan dipabrik keramik yang letaknya juga tak jauh dari kostan."
"Pada saat itu kalian adalah sesama kostan yang bekerja di pusat wilayah perindustrian?"
"Iya. Benar!"
"Berapa beda usia kalian?"
"Suamiku hanya setahun lebih tua dari aku!"
Affandi terdiam. Seolah memilah-milah kata dipikirannya. Tentang pertanyaan-pertanyaan yang ingin ia lontarkan pada Naura.
"Kamu bahagia menikah dengannya?"
"Kami menikah dan masih tetap bekerja seperti biasa. Bedanya, kostan kami pindah. Ketempat yang lebih luas tentunya. Yang bisa membuat kami semakin kukuh dalam rumah tangga!"
"Kamu bahagia, Naura?"
"Tentu saja. Suamiku baik dan juga tampan! Tentu saja aku bahagia!"
"Kamu masih tetap bekerja meskipun sudah menikah. Apakah suamimu pernah memintamu untuk berhenti kerja? Atau dia malah tetap menyuruhmu bekerja?"
"Tidak! Suamiku adalah orang yang memberi kebebasan padaku. Ia menyerahkan semua keputusan ditanganku."
"Lalu, sejak kapan kalian memiliki rumah dan pindah kerumah yang menjadi Tempat Kejadian Perkara (TKP)?"
Naura diam. Memainkan jemari tangannya. Seolah sedang mengumpulkan semua memori ingatannya tentang masa lalunya.
"Kami menabung bersama. Mengencangkan ikat pinggang dengan rajin berpuasa Senin Kamis, demi terkumpulnya sejumlah uang dan mampu membeli sebuah rumah."
Naura diam lagi. Kali ini Affan tidak bertanya lagi. Seolah memberi Naura jeda agar bisa berkompromi dengan dirinya sendiri.
"Semua menjadi kenyataan dalam waktu singkat satu tahun saja. Ada seorang teman yang menawarkan rumahnya dengan harga cukup murah, karena itu rumah tua dan sudah rapuh semua bagian bangunannya!"
Affandi menyodorkan Naura segelas plastik air mineral. Naura meminumnya perlahan.
"Aku masih bekerja sampai saat itu juga. Meski lokasinya cukup jauh dari pabrik tempatnya kerja dan toko tempatku usaha, tapi aku dan Fendy tak patah semangat. Apalagi ada temannya juga yang menawarkan sepeda motor bekas yang bisa ia pakai sebagai alat transfortasi kami pergi ketempat kerja."
"Mengingat ia hanya setahun beda usianya denganmu, apa dia termasuk suami yang egois? Atau suami dominan sehingga kamu begitu takut dan menurut padanya?"
"Suamiku suami yang baik. Meskipun ia agak saklek dan keras kepala, tapi Fendy bukan suami yang otoriter! Kami sering beda pendapat, walau memang lebih banyak aku yang mengalah. Karena pada dasarnya pendapatnya lebih masuk akal dan bisa kuterima juga akhirnya."
Affandi menunggu cerita Naura lagi. Sengaja ia biarkan wanita itu dengan semua kenyamanannya. Tak ingin terburu-buru mendapatkan hasil investigasinya hari ini. Wajah wanita itu semakin manis, semakin Affan lihat.
Tolong kondisikan situasiku, Tuhan! Aku sedang serius bekerja. Tak boleh main-main dalam mengurus klien. Meskipun klien ku ini cantik dipandang mata! Dan aku bukan tipikal orang yang mudah jatuh cinta!
Begitulah isi hati Affandi, tentang kesan pertemuannya bersama Naura dihari kedua.
"Kami membeli rumah itu dari hasil tabungan bersama. Kami pindah, dan sebulan kemudian aku hamil. Kebahagiaan yang sempurna! Itulah yang kami rasakan!"
"Kabarnya, kamu keguguran sebelum sempat melahirkan. Boleh aku tahu ceritanya?"
Naura hanya menatap Affandi dengan tatapan kosong. Lama ia diam. Seperti tak berani bercerita kembali.
Ingatannya kembali menerawang, pada delapan tahun silam....
..........BERSAMBUNG..........
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
Ni.Mar
penasaran kan jadinya klo sm sm cinta trs knp Naura jd pembunuh suaminya
2022-09-14
2
ARSY ALFAZZA
sambungan jejak boomlike ❤️
2021-08-20
3
alvalest
aq d paksa ni bca novel ni knp ya skrg da ja aturan NT hehehe..tp critanya bagus da misterinya g melulu cinta dan ranjang...
2021-08-14
3