Ingatan Mocca saat dia berusia 4 tahun.
Dia terduduk di sebuah kursi dijajaran paling depan, tepat di depannya terdapat sebuah peti yang sangat besar, disana pun terlihat kakak laki laki tengah menangis dengan tersedu.
Mocca kecil masih tidak mengerti, banyak sekali orang berdatangan kerumah namun hanya untuk menangis. Semua orang menangis, tidak terkecuali sang ayah yang duduk tertunduk disampingnya, ia menyembunyikan frustrasi- nya.
Dia memberanikan diri, dengan jemari kecilnya menarik kain hitam yang ayah pakai, "Ayah, kenapa ibu tidur disana?" tanyanya sembari menunjuk peti mati.
Ayah tertegun, bagaimana bisa dia melupakan gadis kecilnya dan malah berlarut dalam sebuah duka. Tapi sekarang bagaimana? Apa yang harus ayah katakan pada Mocca kecil yang polos.
Tak lama ayah beranjak kemudian berjongkok dihadapan Mocca, "Nak, ibu akan pergi ke surga." sebuah kata yang hanya bisa dia ucapkan agar tidak membuat Mocca bersedih.
"Surga itu dimana? Apa ibu pergi sendiri? Kapan akan kembali?"
Mocca terus mengoceh menanyakan beberapa hal, semua orang yang menyaksikan hal itu dibuat haru, padahal Mocca masih kecil tapi sudah ditinggalkan ibu. Mereka merasa sangat kasihan.
Ayah tidak menjawab satu pun pertanyaan Mocca, dia kemudian menggendongnya, juga menggendong kakak laki laki dan membawanya ke kamar untuk menenangkan mereka.
Begitu pukulan pertama terjadi, saat beranjak dewasa ibu tak kunjung kembali sampai dia mengerti semuanya. Tapi sudah terlambat, ibu tidak akan pernah pulang lagi.
"IBU!" Mocca tersadar, membuka mata kemudian bangun dan duduk. Di lihatnya ruangan dimana dia berada tampak sangat asing, lalu di tangannya tertancap jarum infus, "Apa yang terjadi?" batin Mocca.
Tak lama pintu terbuka, dan masuklah seorang wanita berusia sekitar 40 tahunan, "Sudah bangun?" tanyanya.
Dia memegang sebuah nampan berisi air hangat dalam mangkuk agak besar dan sebuah handuk kecil.
"Apa yang sebenarnya terjadi?"
Ah dia ingat, saat itu ketika Mocca menangis di dekat peti, ibu dan kak Ruri datang bersama beberapa bawahan yang sebelumnya telah menyeret Mocca.
Tanpa berbelas kasih mereka memukul Mocca sampai tak sadarkan diri, samar dalam kesadaran yang tidak stabil, Mocca merasa bahwa dirinya tengah berada didalam sebuah pesawat terbang.
Dua wanita keji itu mengirimnya keluar negeri.
Benar benar kejam, apa mereka masih belum merasa puas sampai melakukan hal itu pada Mocca meski dia sudah memberikan semuanya pada mereka?
Bibi itu menghela nafas panjang, dia mencelupkan handuk kecil ke dalam air hangat dan memerasnya, "Meski sudah bangun tapi harus tetap beristirahat, ya." Ia mulai menyeka wajah Mocca dengan handuk itu.
"Apapun yang sudah terjadi jangan terlalu dipikirkan, harus perhatikan bayi dalam kandunganmu juga."
Perkataan bibi membuat Mocca membelakkan matanya, nafasnya seketika berhenti saat mendengar hal yang tidak bisa dipercaya itu, "Salah dengar, pasti hanya salah dengar." Itu yang dia yakini untuk menenangkan hatinya.
"Sebenarnya dimana ini? Dan sudah berapa lama aku berada disini?"
"Sebuah Vila tua terpencil milik keluarga Julian. Dan ... sudah satu bulan lamanya sejak saat itu."
Wanita itu, pasti wanita biadab itu yang mengirim Mocca ke tempat itu, jauh dari tempat kelahiran, jauh dari kenangan bersama keluarga dan kini harus tinggal di tempat terpencil, benar benar wanita berhati iblis.
"Oh ya, kandunganmu pun berusia satu bulan, selamat," ucap bibi.
Tepat sekali, tepat saat kecelakaan malam itu terjadi. Sekarang bagaimana, bagaimana bisa dia mengandung sedangkan ayahnya saja dia tidak tahu. Kini malah terjebak disebuah Villa antah-berantah.
...~ * ~...
7 tahun kemudian ...
Tinggal di Villa yang dikelilingi oleh sebuah hutan mati, tidak sedikitpun terlihat sebuah kehidupan lain diluar Villa. Tanpa adanya barang barang teknologi apapun, mereka benar benar terputus dari dunia luar sana.
Bruk!
Terdengar suara benda terjatuh dari dalam ruang baca, Mocca yang tengah duduk santai dengan sebuah rajutan yang belum selesai di tangannya pun kemudian beranjak dan pergi memeriksa tempat itu.
Sesampainya segera membuka pintu sangat keras, lalu terlihat seorang gadis kecil tengah menangis dengan beberapa buku yang berserakan dilantai.
Mocca menghampirinya. "Candy, kenapa menangis?" tanyanya sembari membantu Candy berdiri. Tak lama Candy menunjuk sesuatu dibalik rak buku, seorang anak laki laki yang tengah mengintip ketakutan.
"Huh!" Mocca menghela nafas panjang, "Jean! Keluar!"
Anak laki laki bernama Jean pun menampakkan diri, perlahan, dengan sedikit rasa takut dia mulai menghampiri Mocca dan Candy.
"Kenapa adik bisa nangis?" tanya Mocca.
"Jean ingin pinjam buku, tapi Candy tidak kasih. Kami berebut dan tidak sengaja menabrak rak buku dan.. Bukunya berjatuhan," balas Jean dengan tertunduk.
"Lalu kenapa Jean sembunyi?"
"Jean takut kena marah Mama."
Kembali menghela nafas kasar, Tapi bagaimanapun mereka tetap menjadi kesayangan Mocca, keluarganya yang sangat berharga.
"Ya sudah, sekarang berbaikan, atau Mama tidak temani kalian tidur."
Mereka pun berbaikan, berjabat tangan dan berpelukan. Mocca mengajarkan pada mereka bahwa mereka harus selalu akur sebagai saudara, ikatan darah lebih tinggi dari apapun. Dan setelah itu mereka membereskan ruangan bersama sama.
Jean Yola, anak laki laki berusia 6 tahun, rambut hitam tebal dengan belahan di sebelah kanan, bermata merah menyala seperti pria brengsek yang merusak hidup Mocca malam itu. Dan yang paling istimewa, Jean adalah Anak Genius.
Rasa keingintahuan yang sangat besar telah menuntunnya untuk mencoba, sesuatu yang ahli dia geluti adalah bidang teknologi.
Dari barang barang yang dia temukan di gudang Vila, Jean sudah berhasil membuat penyedot debu otomatis dengan remot kontrol, robot mainan, dan masih banyak lagi.
Putri bungsu tercinta bernama Candy Yola, seorang gadis kecil yang sangat anggun, sering disebut duplikat dari ibunya yaitu Mocca. Pasalnya, dari ujung kaki sampai ujung kepala semuanya mirip dengan sang ibu.
Candy pun merupakan Anak Genius, dia memiliki IQ yang sangat tinggi dan dengan kepala kecilnya dia mampu mengingat isi sebuah buku hanya dengan sekali membacanya saja. Ingatan yang begitu menakjubkan, dia juga berwawasan luas karna kegemaran membacanya.
Mereka pengisi kekosongan dihati Mocca, sedikitpun dia tidak pernah menyesal karna memilih mempertahankan kandungan dan melahirkan mereka dengan baik.
Tapi Mocca ingin terbebas dari sana, dia ingin menunjukan banyak hal pada kedua anaknya tentang dunia, menghadapi dunia yang keras ini mereka sudah harus di didik dengan baik sedini mungkin.
"Ngomong-ngomong, kalian berebut buku apa? Kenapa tidak membacanya bergiliran?" tanya Mocca.
"Sebuah buku tentang cara membuat sebuah kamera," jawab Jean membuat Mocca tersenyum, lagi-lagi tentang kegilaan teknologinya itu. Mocca menggelengkan kepalanya, menghampiri Jean diikuti oleh Candy. Dia hendak merampas buku itu karna tidak ingin Jean terlalu terobsesi.
Anak kecil seharusnya gemar bermain dan belajar, Mocca tidak mau mereka kehilangan masa kanak-kanaknya. Namun ...
"Aku akan membuat kamera yang bisa terbang, disini tertulis kalau namanya adalah Drone. Mama, kalau Jean berhasil membuat kamera itu. Kita ... pergi dari sini ya." Mocca terperajat kaget.
Benar juga, dengan adanya kamera itu mereka bisa memantau keadaan hutan disekitar Vila. Merekamnya untuk membuat jalur pelarian, melarikan diri dari Vila? Bagaimana bisa anak berumur 6 tahun bisa memikirkannya sejauh itu?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 127 Episodes
Comments
Desty Ratnasari
bagus ceritanya....
2021-11-15
0
Selvi Tyas
bibi yg merawat mocca apa suruhan ibu tirinya?
2021-10-09
0
Mien Mey
ternyta kembar..d dunia halu kl sllu ank pertma kembar..
2021-08-25
3