Beberapa jam berlalu, para bawahan Tuan Leon kembali menemuinya. Namun sayangnya mereka tidak bisa menemukan wanita itu dimanapun, "Jangan terburu-buru, kita masih mempunyai banyak waktu."
Ia yang kini sudah berpakaian rapi pun beranjak dari tempatnya, kembali dilihat sepatu hitam milik Mocca yang tertinggal itu, tak lama dia melemparkannya pada bawahannya.
"Simpan itu baik baik, lain hari cari wanita itu sampai dapat. Tapi sekarang, sesuatu yang penting harus di urus terlebih dahulu."
Ya, masalah malam itu tidak sesederhana yang dipikirkan. Pasti ada campur tangan sang paman serakah itu. Keluarga kaya memang tidak pernah terlepas dari masalah internal, apalagi saat menyangkut tentang harta keluarga.
Leonard Domino, cucu satu satunya dari keluarga Domino. Diberkahi paras yang sangat tampan dan kecerdikkan diatas rata rata, sejak kecil sudah menorehkan banyak prestasi. Membuat semua orang iri padanya.
Karna hal itu pula dia sangat disayang oleh nenek yang kini menjadi kepala keluarga dan memegang hak penuh atas keluarga Domino. Bahkan nenek sudah menulis surat wasiat bahwa Leon akan menjadi hak waris sepenuhnya atas keluarga Domino.
Saudara ayah yang terdiri dari 3 paman dan 2 bibi tentu saja sangat menentang keputusan itu dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan bagian harta tersebut.
Tapi yang perlu diwaspadai adalah paman Danial, dia mengetahui rahasia Leon yang menderita importen. Bukan hanya itu, tanpa sepengetahuan siapapun dia sedang membangun sebuah perusahaan yang kelak dapat menandingi perusahaan keluarga Domino.
Pukul 3 dini hari ...
Dengan pakaian compang-camping dan tanpa alas kaki, Mocca sampai dirumahnya dengan berjalan kaki dari hotel. Mengandalkan tenaga di kakinya karna enggan naik transportasi publik dengan keadaan kacau seperti itu.
Namun sesuatu didepannya membuatnya terkejut, tak kala melihat rumah dipenuhi banyak orang asing hatinya mulai gelisah, apalagi melihat mereka berpakaian serba hitam dengan mata yang terlihat memerah mungkin karna habis menangis.
"Ada apa? Apa yang terjadi?"
Mocca beranikan diri melangkahkan kakinya, semakin dekat suara tangisan mulai terdengar. Hatinya semakin gundah tak karuan, dia berusaha menerobos masuk dalam kerumunan.
Kemudian langkahnya terhenti saat melihat sebuah peti jenazah dengan foto ayah di dekatnya, ibu serta kakak tiri menangis tersedu di sampingnya. Mocca membelakkan matanya, "Tidak! Tidak mungkin!"
"Ayah ... Ayah!" Hatinya remuk bagai dipukul palu besi berkali-kali. Kakinya gemetar hebat, semua orang yang mendengar suara Mocca kemudian menoleh dan menatapnya, mereka mulai berbisik satu sama lain membicarakan keadaan Mocca, namun dia tidak memperdulikan hal itu.
"Tidak mungkin!"
Tetesan demi tetesan air mata mulai berjatuhan beriringan dengan langkah kaki yang terasa sangat berat untuk melangkah. Di depan sana, ibu dan kakak beranjak sembari menghapus air mata mereka.
Mereka menghadang Mocca yang ingin mendekati peti mati, jika memang itu ayah, maka ijinkan Mocca berduka di dekatnya.
Plak!
Tiba tiba ibu menamparnya dihadapan banyak orang, "Anak tidak tahu diri! Ayahmu meninggal dunia tapi lihat dirimu, menjijikan!"
Semua orang kembali bergunjing, sekarang dia baru menyadari bahwa tak hanya penampilannya saja yang buruk, tapi juga ada banyaknya tanda merah ditubuh Mocca.
"Apa dia berzina dihari kematian ayahnya?"
"Kasihan sekali Tuan Yola."
"Tidak! Ini tidak seperti yang kalian pikirkan. Ibu aku mohon, aku ingin menemui ayah, tolong jangan menghalangiku," pintanya.
Jangan saat ini, hati Mocca hancur dan hanya ingin mendekat pada ayah terlebih dahulu. Walaupun semuanya terlalu tiba tiba, kematian ayah tidak mungkin bisa dia terima begitu saja, tapi setidaknya Mocca ingin meminta maaf pada ayah.
"Tidak bisa!" Ibu kembali menghadang.
Mocca melirik Ruri, kakak tirinya. Ya, seharusnya dia bisa bantu menjelaskan semuanya, dia yang meminta Mocca datang ke tempat itu, "Kak, kak Ruri.. Beritahu mereka, Mocca pergi kesana untuk antarkan berkas pada kakak."
Ruri terdiam, dia memalingkan wajahnya dan pura pura bersedih. "Kenapa adik melemparkan kesalahan padaku? Berkas apa yang adik maksud?"
Dia berbohong, jelas jelas menelepon dan meminta Mocca mengantarkan berkas yang tertinggal. Meski begitu, Mocca tetap mempunyai bukti. Pesan berisi alamat hotel dan juga nomor kamar, seharusnya masih tersimpan.
Mocca mengambil ponselnya, mencari pesan dari Ruri yang merupakan bukti bahwa kakaknya yang memintanya datang ke tempat itu. Namun belum sempat ditunjukkan pada banyak orang, ibu merebut ponsel Mocca dan melemparnya jauh jauh.
"Sudah salah masih berani berbohong! Memfitnah kakak sendiri, tidak tahu malu! Penjaga!" Dengan lantang ibu memanggil para penjaga dan menyuruhnya menyeret keluar Mocca.
Bruk!
Mocca jatuh berlutut di hadapan ibu, "Tidak! Ijinkan aku bertemu ayah, ibu jangan usir aku, aku mohon!"
Derap langkah kaki khas para pengawal rumah berdatangan, berdiri dibelakang Mocca, "Seret dia keluar! Dia tidak pantas menjadi putri keluarga Yola!" seru ibu.
Para bawahan yang dulu sangat menghormati Mocca kini berani menatapnya tanpa rasa sopan, tak membuang waktu lama mereka segera memegangi tangan Mocca untuk segera diseret keluar.
"Lepaskan! Lepaskan aku! Ayah! Ayah! Aku ingin ayah! Tolong jangan lakukan ini, aku ingin bertemu ayah untuk yang terakhir kalinya, aku mohon."
Mocca meronta-ronta, tangannya menjulur ingin menggapai peti mati ayah tak kala para bawahan itu mulai menyeretnya dengan sangat kasar, "AYAH! AYAAAAAAH!"
Duar!
Gemercik hujan mulai turun membasahi bumi, disertai kilatan kilatan halilintar dan suara-suara keras. Ingin sekali Mocca menjerit sekelas-kerasnya, ia kembali dipukul. Lagi lagi menyaksikan orang tercintanya berakhir di dalam peti mati.
Terduduk diluar rumah, diguyur hujan yang seakan berusaha mewakili hancurnya hati Mocca. Tak lama dua pasang kaki berdiri didepannya, ia melempar sebuah tas yang sangat besar.
"Ibu, Kak Ruri," ucap Mocca sembari menengadah.
Tidak seperti saat didalam yang sangat terlihat rapuh dan putus asa, disana ibu dan kakak tampak baik baik saja, bahkan melemparkan senyum menyeringai pada Mocca.
Dengan payung hitam ditangannya ibu kemudian berjongkok tepat di hadapan Mocca, "Anakku sayang, untuk ketiga kalinya kau ditinggalkan oleh orang orang terdekatmu, bagaimana rasanya?"
Benar, ini ketiga kalinya. Pertama ibu, kedua kakak laki laki, dan sekarang ayah. Betapa kejamnya hidup ini, perlahan merenggut orang orang yang paling dicintainya di dunia ini.
Tapi sikap ibu dan kakak itu ...
"Mocca Yola, setelah sekian lama akhirnya hari ini tiba. Hari dimana kau jatuh didepanku. Bersyukurlah karna kau masih diberi kesempatan hidup, karna dari pada melihatmu mati.. Aku lebih suka ketika melihatmu hancur, tidak memiliki apa apa dan hidup dalam penderitaan," batin Ruri.
Tujuan mereka hampir tercapai, sekarang tinggal mengalihkan semua harta milik keluarga Yola menjadi atas nama anak tersayang ibu, Ruri Yola.
"Mocca, sebagai ibu yang baik aku akan menawarkan sesuatu padamu. Aku akan mengijinkanmu masuk dan berduka untuk ayah, asalkan kau mau menandatangani pengalihan hak waris menjadi atas nama Ruri kakakmu."
Ibu menyodorkan sebuah berkas dan bolpoin yang tadinya dipegang oleh Ruri.
Ia baru tersadar, dua orang bermuka dua itu pasti sudah merencanakan hal itu sebelumnya. Kematian ayah pasti tidak sesederhana itu. Tapi saat ini Mocca tidak memikirkan hal lain, bisa bertemu dengan ayah untuk yang terakhir kalinya sudah cukup baginya.
"Ayah, maafkan Mocca. Tapi saat ini Mocca hanya punya ayah dan ingin menemui ayah untuk yang terakhir kali."
Setelah menandatangani surat itu, Mocca beranjak. Perlahan berjalan masuk meninggalkan kedua wanita itu diluar "Tapi suatu hari nanti ... Mocca ... Mocca pasti akan merebut kembali apa yang menjadi milik ayah, milik kita."
Di dalam, semua peduka memberikan jalan pada Mocca. Lagi, dilihat peti dengan foto ayah diatasnya. Membuat hatinya hancur berkeping keping.
Bruk!
Kakinya tak kuasa lagi melangkah, tapi ayah kini didepannya, Mocca harus meminta maaf segera, "Ayah," ucapnya lirih pelan.
Ia merangkak menyeret kakinya yang dipenuhi luka, penuh perjuangan dibawah tekanan para penggunjing. Sampai akhirnya dia berhasil menyentuh papan kayu berisi ayah yang sedang tertidur itu.
"Maafkan Mocca, tidak bisa menjadi gadis baiknya ayah. Bahkan dengan bodohnya menandatangani surat pengalihan harta, tapi Mocca tidak menyesal. Asalkan bisa dekat ayah seperti sekarang, Mocca bahagia ...
... Ayah pasti khawatirkan Mocca saat ayah akan pergi, jangan khawatir, Mocca bisa jaga diri. Meski kini tanpa ayah, Mocca punya tabungan untuk bertahan hidup ...
... Ayah, disana hendak bertemu ibu dan kakak kah? Katakan pada mereka juga, Mocca baik baik disini. Mereka jangan khawatir."
Ia menumpahkan semua isi hatinya, dengan sendu tangisan pilu yang kini sudah tidak terdengar lagi. Air mata pun sudah mengering dan enggan keluar lagi.
Dalam halusinasi alam bawah sadarnya, Mocca melihat ayah dengan wajah yang sangat bersih tengah tersenyum padanya. Dia berdiri membelakangi sebuah cahaya, "Anak ayah yang baik, anak ayah yang cantik." begitu ucapnya.
Sampai akhirnya ayah pergi, bertemu ibu dan kakak.
Tap! Tap!
"Sudah cukup menangisnya?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 127 Episodes
Comments
Nurmiahana Nana
huh 😏😔 dasar pr iblis
2021-11-24
0
👑Queen🍃
mellow...😭
2021-10-28
0
Selvi Tyas
👍👍👍🥰🥰🥰
2021-10-09
0