Bab 4 Kehilangan
Dea.
Tidak terasa, saat ini semester 5 sudah dimulai. Itu berarti sudah 4 tahun aku tidak pernah lagi menginjakkan kaki di Jakarta. Mama dan Papa sering berkunjung, mama sendiri kadang sampai 2 kali sebulan datang ke Makassar. Apalagi kalau papa tugas ke luar Negeri, mama lebih sering memilih mengunjungi kami dibanding ikut papa.
Berita dukanya, kakek sudah meninggal karena gagal ginjal. Ini bukan hanya kehilangan bagi keluarga kami, tetapi juga kehilangan bagi teman-teman dan sahabat-sahabatku. Kakek punya daya tariknya sendiri meskipun sudah lanjut usia, beliau sangat pandai merangkul anak muda seperti kami.
Kehilangan ini cukup mengguncang kejiwaan nenek. Mereka sudah bersama lebih 50 tahun pernikahan, sebuah waktu yang sangat panjang untuk dilalui dalam sebuah ikatan keterikatan. Mereka adalah contoh hidup pasangan yang sangat romantis menurutku. Meskipun fisik sudah habis dimakan usia, namun pancaran cinta dari dua pasang mata mereka saat saling memandang sungguh membuat iri, jiwa jombloku seketika meronta-ronta. Bukan hanya aku, si Badai yang paling tidak kuat melihat kemesraan mereka. Makanya, Badailah di antara teman-temanku yang merasa sangat kehilangan beliau.
Tidak begitu lama setelah kakek meninggal, tepat seminggu setelah aku wisudah, nenek pun ikut kembali menghadap-Nya. Kali ini aku benar-benar terpukul. Kehilangan nenek yang sudah hampir 6 tahun bersamaku rasanya seperti mengambil sebagian tempat di dalam hidupku. Tempat itu rasanya kosong. Tak mudah menerima kepergian nenek, karena aku sudah berjanji akan tinggal di kota ini mendampinginya hingga akhir.
Iya, aku memang masih mendampingi beliau di sini, tapi aku berharap jangan secepat ini. Aku belum punya penghasilan sendiri, padahal aku sudah berjanji akan menyerahkan semua gaji pertamaku kelak ke nenek saat aku sudah mendapatkan pekerjaan.
"Dea..."
"De..."
"Ali...!!!" Panggil Badai gemas melihatku masih melamun.
"Apaan sih, Bad?" Ganggu orang aja.
"Kapan ke Jakarta?" Tanyanya setelah ikut duduk bersamaku di sisi kolam ikan mas di halaman depan rumah.
"Mama dan papa maunya secepatnya." Jawabku malas.
"Jadi, bagaimana?"
"Yaa mau bagaimana lagi... mama papaku di sana, gak mungkin aku tinggal di sini sendiri sementara masih ada orang tua lengkap."
"Benar juga sih. Duh, aku belum siap ditinggal sama kamu." Ucapnya melempar pelet seperti orang tak bertenaga.
"Sorry, Bad. Kalo kamu kangen aku, tinggal aja di rumah ini, daripada kosong. Ajak anak-anak yang lain." Usulku memberi ide pada Badai. Hitung-hitung ada yang jaga rumah.
"Woi..serius amat! Pada omongin apa sih?" Rara tiba nongol entah datang darimana. "Itu muka kenapa, Bad? Udah kayak kertas habis diremas-remas aja!" Imbuhnya .
"Tau ah, emang kamu gak sedih bakal ditinggal si Dea Ali ini?" Tanya Badai jengkel.
"Yaa elah.. nanti kalo sudah sarjana tinggal nyusul juga. Jadi orang Jakarta eiiyyy!" Rara malah terlihat sangat antusias. Berbeda dengan Badai yang mendengus kesal melihat Rara.
"Iya, Bad. Pokoknya kalian berdua harus cepat selesaikan kuliahnya setelah itu nyusul ke Jakarta. Kalo tidak, aku gak bakal mau lagi kenal sama kalian berdua." Ucapku dengan nada sok mengancam.
"Aku mah, yes!" Ucap Rara.
Kami menghabiskan waktu dengan bercanda, kebanyakan mengenang masa-masa lalu saat mulai ospek sampai mereka berdua yang sibuk menemaniku menyelesaikan skripsi.
Badai dan Rara adalah teman yang tanpa pamrih, tak pernah bersungut saat aku meminta tolong, selalu ada saat aku membutuhkan mereka. Semenjak nenek meninggal, Rara terus menemaniku di rumah. Hanya saat kuliah saja dia meninggalkanku, padahal aku tidak masalah jika dia ingin lebih banyak menghabiskan waktunya di kampus.
Aku benar-benar merasa beruntung memiliki mereka berdua.
"Thanks yah, De!" Ucap Badai saat mengantar aku ke Bandara.
"Untuk?"
"Untuk semua kebaikan kamu dan keluarga kamu selama ini." Jawab Badai tulus.
"Don't mention it. I did nothing you know!" Aku menepuk-nepuk pundak Badai. "Kalau pun aku ada berbuat baik sama kamu, itu sama saja aku sedang berbuat baik pada diriku sendiri di masa depan." Ucapku menambahkan.
"Hiks..hikss.. baik-baik yah, Dea!" Pecah juga tangis Rara padahal ia selalu nampak ceria, bahkan saat tiba di Bandara pun dia yang paling heboh.
Kami saling berpelukan, melepaskan kerinduan yang sudah mulai menggunung padahal belum berpisah.
"Aku boleh peluk juga gak sih?" Tanya Badai dengan muka bodohnya.
"No!"
"No!"
Jawabku dan Rara bersamaan.
"Iya, iya.. pelit amat sih. Gak adil banget. Rara dapat pelukan, lah aku dapat pukulan." Protes Badai karena kami tadi refleks memukul lengannya.
"Even you sekarang dasteran, tetap aja gak bakal dapat pelukan dari kami." Ucap Rara sambil menyentil hidung Badai.
"Awwww... sakit monyong!" Keluh Badai.
"Udah-udah, jangan berantem dong! Jangan bilang setelah aku pergi kalian berdua di sini gak saling menjaga lagi, aku benar-benar akan kecewa."
"Gak bakal, Dea! Tenang saja, aku bakal jagain Rara biar si kerempeng anak mesin itu gak berani lagi deketin dia." Ucap Badai mencibir ke arah Rara.
"Awas aja kalau nanti kamu lebih sibuk ngejar anak ekonomi yang sok kecakepan itu daripada aku, kamar kos mu bakal aku bom pake bom panci!" Ucap Rara tidak mau kalah.
"Ha ha ha..kalian lucu banget!" Aku menggeleng melihat perdebatan seru mereka berdua.
Aku melihat ke jam tanganku, sudah waktunya check-in. "Aku pergi yah, kalian baik-baik kuliahnya. Aku tunggu di Jakarta." Ucapku sekali lagi memeluk Rara.
"Keep in touch yah." Ucap Rara melepas pelukan kami.
Aku menunjukkan dua jempolku ke mereka lalu berjalan masuk ke dalam gedung bandara. Aku tidak ingin berbalik menatap mereka sekali lagi, aku takut tidak kuat meninggalkan kota ini, rasanya, separuh lagi hidupku telah tertinggal.
Aku akan merindukan semuanya!!!
×××××
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments
🌷Tuti Komalasari🌷
ceritanya menarik Thor...
2021-12-26
2
🌟ki_Dan🌟
sedih harus kehilangan kakek dan nenek
2021-08-23
5
Tien Doang
keren thor aku suka aku suka
2021-08-20
2