Bab 3 Good Bye, Jakarta
Dea.
Aku meninggalkan kota Jakarta dengan setengah hati yang tertinggal di sini. Bukan karena bang Azka, ini karena mulai sekarang aku tidak akan lagi tinggal di rumah bersama mama dan papa.
Sudah kumantapkan hatiku, tak akan lagi mengingat dan menyebut satu nama itu, biarkan ia hilang ditelan jarak dan waktu. Aku tidak akan kembali lagi ke kota ini dalam waktu yang panjang, entah sampai kapan. Toh, mama dan papa sudah berjanji akan sering-sering mengunjungiku di kota Makassar nanti.
Aku tidak sempat pamit pada om Arga dan bunda Aya. Selepas maghrib, kami bertolak ke Bandara, aku dengar ibu bilang kalau Caca dan bang Aufar sedang tidak di rumah. Tidak apa-apa, mungkin suatu saat nanti aku bisa bertemu dengan mereka lagi, tapi untuk bang Azka, semoga tidak!
Jika ada doa yang paling ingin aku mohon agar dikabulkan, maka doa agar aku tidak akan pernah lagi dipertemukan dengan bang Azka selamanya bahkan di kehidupan mendatang pun adalah doa yang paling pertama di wishlistku.
Aku memeluk papa dan mama erat, berat rasanya meninggalkan mereka berdua, namun kakek dan nenek lebih membutuhkan aku cucunya.
"Kamu hati-hati yah sayang, jangan bandel, itu badan dirawat dikit, biar cantiknya anak mama bisa kelihatan." Mama tersenyum namun air matanya terus menggenang di sudut matanya.
"Jangan lupa sholat, jaga diri. Gak boleh pacar-pacaran. Okey!" Ayah menambahkan lalu memeluk tubuhku sangat erat. Meskipun ia tidak mewek seperti mama, tapi matanya ikut memerah. Seperti berat melepasku pergi.
Aku mengangguk, aku terus berusaha kuat, ini sudah menjadi keinginanku, sekali layar terkembang, pantang biduk surut kembali.
Aku melangkah perlahan masuk ke tempat check in, papa dan mama terus melambaikan tangannya hingga mereka sudah tidak bisa lagi dijangkau pandanganku.
Pesawat take off jam 9.30 malam, diiringi rintik hujan yang tidak begitu deras, pesawat Garuda Indonesia membawaku pergi jauh meninggalkan kota kelahiranku.
Good bye, Jakarta!
See you next time!!!
Aku memasang headphone yang terpasang di ponselku ke telingaku, tak ada musik, aku hanya suka saja memasangnya di telinga. Kutarik penutup kepala hoodyku, mengatur sandaran kursiku lalu memilih memejamkan mata hingga aku memasuki alam tidur di sepanjang perjalanan udara dari Jakarta ke Makassar.
*****
Aku menjalani hari-hariku dengan indah di Kota Daeng yang terkenal dengan karakter keras orang-orangnya namun sangat menjunjung tunggi budaya siri' (malu). Kelas 11 dan 12 aku habiskan di salah satu sekolah swasta terbaik di kota ini.
Aku bertransformasi menjadi gadis yang periang dan pandai bergaul. Kelakuan di Jakarta tidak kubawa ikut ke kota ini, di sini aku mempunyai banyak teman. Meskipun aku siswa baru, namun tidak sulit bagiku bergaul dengan siapa saja. Apalagi dengan modal wajah yang cukup good looking, pintar dan berasal dari kota besar Jakarta, semua itu sudah cukup membuatku menjadi siswi populer di sekolah.
Bang Azka hanya menghancurkan hatiku, saat itu, tapi tidak dengan masa depanku. Aku akan baik-baik saja. Pengalaman dengannya menjadikanku tidak lagi menggantungkan harapan pada satu orang, seharusnya dari dulu aku mengamalkan pepatah, "mati satu tumbuh seribu. Satu pintu tertutup maka akan terbuka pintu-pintu yang lain."
Dia boleh mematahkan hatiku saat itu, tapi cukup saat itu saja. Kini aku melangkah jauh ke depan, meninggalkan semua perasaan yang pernah kurasakan padanya. Aku baik-baik saja!
Tamat SMA, kembali aku bertransformasi, kali ini aku ingin tampil lebih cewek karena sejatinya aku memang perempuan. Diterima kuliah di jurusan yang memang kuidam-idamkan sungguh luar biasa rasanya. Karena di sana di dominasi oleh kaum Adam, jadi aku memantapkan diri memakai hijab.
Meskipun keluargaku cukup mampu, tapi aku memilih menggunakan angkot ke kampus. Kebetulan rumah kakek nenekku tidak jauh dari kampus, cukup naik pete-pete (angkot) 5 menit, maka aku akan segera sampai di depan lapangan basket yang dekat dengan gedung tempatku belajar. Namun karena statusku masih mahasiswa baru jadi aku selalu masuk kampus lewat belakang, turun angkotnya di dekat workshop kata orang-orang menyebutnya.
"Mahasiswa baru juga?" Tiba-tiba ada suara laki-laki yang terdengar cempreng di telingaku. Aku melirik ke asal suara, masih pagi banget jadi hanya kami berdua yang ada di atas angkot.
Aku menunjuk diriku dan dianggukinya.
"Iya, mahasiswa baru. Kamu?"
"Sama. Kenalkan, saya Badai dari teknik elektro." Ia menjulurkan tangannya kemudian aku sambut menjabat tangannya.
"Dea. Perkapalan!" Jawabku singkat.
"Kenapa perkapalan? Kenapa bukan elektro atau arsitektur gitu?" Tanyanya penasaran.
"Takdir mungkin." Jawabku asal membuat kami sama-sama tertawa.
Badai menyetop angkot, aku pun ikut turun dan jalan bersamanya hingga dia lebih duluan berbelok naik ke lantai 4 gedung tempatnya kuliah. Aku sendiri masih berjalan lurus sedikit ke depan kemudian belok kiri depan jurusan sipil, sebelum lapangan merah. Aku berjalan dan bertemu sesama mahasiswa baru di jurusan yang sama. Saat ini kami sedang melakukan pengumpulan untuk persiapan masa Ospek masuk kampus.
Aku disapa oleh seorang gadis manis berkacamata yang penampakan kostumnya persis sama denganku.
"Hei..aku Rara. Sepertinya kita nanti akan sekelas." Sapanya mencoba mengakrabkan diri.
"Oh yah? Aku Dea. Ayo sapa teman-teman yang lain." Aku mengajak Rara ikut bergabung dengan teman lain yang sudah lebih duluan dikumpulkan oleh para senior.
Sejak saat itu, aku dan Rara bersahabat. Rara orangnya asyik. Ceplas ceplos, bukan tipe-tipe teman penjilat. Kalau salah yah salah, jelek yah jelek, dia jujur banget kalau bicara, kurangnya terkadang dia ngomong seperti kurang di filter, kadang-kadang jengkel juga, tapi kekurangannya itu doang, kelebihannya banyak.
Dan tak sengaja kami pernah bertemu dengan Badai di kantin dekat-dekat area kos-kosan mahasiswa dalam kampus. Sejak saat itu kami sering jalan bertiga, sekedar cari buku dan mencari bahan-bahan yang kami perlukan untuk selama masa Ospek berlangsung.
Badai orangnya cuek banget, humoris dan bisa diandalkan sebagai teman. Aku dan Rara punya prinsip yang sama, no pacaran before merriage! Sementara Badai sepertinya kesulitan mendapatkan pacar dikarenakan terlalu sibuk mengurus kami berdua. Mana ada cewek bodoh yang mau pacaran sama laki-laki yang hidupnya sudah dikuasai sahabat-sahabatnya???
Meskipun Badai punya jadwal kuliah yang berbeda dengan kami, namun bukan halangan buat kami untuk bertemu. Karena rumahku yang paling dekat dari kampus, maka di sanalah basecamp kami, teman-teman lain juga sukanya ngumpul di rumah mengerjakan tugas-tugas kuliah. Bahkan tidak sedikit teman Badai dari teknik elektro yang sering ikut ngumpul di basecamp.
Teman-teman cowok pada suka ngumpul di rumah, soalnya ada kakek yang bisa diajak main catur bahkan yang paling menarik dari kakek, mereka diberi latihan menembak di halaman belakang rumah yang cukup luas.
Lagi-lagi, aku tidak kesulitan mencari teman.
×××××
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments
Coco
semangat thor
2023-01-08
0
🌷Tuti Komalasari🌷
namanya serem Badai...🤭
2021-12-26
2
Lia liana
👍👍 dua jempol for u thor
2021-12-13
3