Hari libur adalah momen yang selalu dinantikan Arelea. Setelah semalam pulang larut dari pesta, ia baru bangun pukul delapan pagi—rekor pribadi karena biasanya ia harus bangun jauh lebih pagi untuk pekerjaan. Rencananya hari ini sederhana: membersihkan rumah, mungkin bersantai di taman sambil membaca buku favoritnya.
Arelea sedang menyapu lantai rumah dengan semangat, menyisir setiap sudut hingga bersih. Namun, ketika ia hampir selesai, sebuah ketukan di pintu membuatnya berhenti.
Tokk… Tokk… Tokk.
“Arelea! Apakah kau di rumah?”
Arelea mendesah panjang. Suara itu tidak asing baginya—suara yang hampir selalu mengusik ketenangan hidupnya beberapa hari terakhir. Ia berjalan ke pintu, membuka perlahan, dan mendapati Gabrian berdiri di sana dengan senyum khasnya yang bisa membuat siapa pun terpesona.
“Hayy,” sapa Gabrian ceria, senyum lebar terpampang di wajahnya.
Arelea memutar matanya, mencoba menetralkan efek pesona bosnya. "Ya?" jawabnya datar, dengan nada malas yang sengaja diperlihatkan.
“Aku mengganggu, ya?” tanya Gabrian sambil menatapnya dengan ekspresi sok polos, yang bagi Arelea lebih terlihat seperti lelucon.
Tentu saja mengganggu! Ini hari liburku! Kenapa orang ini terus muncul seperti drama harian? pikir Arelea, meski hanya tersimpan di kepalanya.
"Aku mengganggu, ya?" ulang Gabrian, kali ini sedikit lebih keras.
"Sedikit sih," jawab Arelea, menyerah dengan pertanyaan yang sama dua kali. "Jadi, ada apa, bos?" lanjutnya, mencoba terlihat santai meskipun sebenarnya dia ingin kembali ke sapu dan rutinitas harinya.
Gabrian mengangkat alis, tersenyum lebih lebar. “Aku hanya ingin main saja ke sini, Lea. Apa itu tidak boleh?” katanya, nada suaranya terdengar seperti anak kecil yang meminta izin bermain di rumah tetangga.
Arelea menghela napas pendek. “Boleh saja sih, bos. Emangnya nggak ada kerjaan lain selain main ke rumahku?” tanyanya sambil menatap Gabrian dengan ekspresi campuran antara lelah dan bingung.
Namun, alih-alih menjawab pertanyaan itu, Gabrian justru melemparkan pertanyaan lain. "Apakah kau tidak menyuruhku masuk dan duduk dulu, Lea?” katanya, seolah-olah dia adalah tamu kehormatan.
Arelea mendengus pelan, tapi akhirnya menyerah. “Baiklah, bos. Silakan masuk dan duduk!” katanya sambil menunjuk ke arah ruang tamu, dengan sedikit gerakan tangan seperti pelayan istana yang sedang mengantar tamunya.
Gabrian masuk dengan santai, duduk di sofa dengan posisi yang sangat santai pula—kaki sedikit selonjor dan tangan di sandaran sofa, seperti rumah ini miliknya. Arelea menatapnya dengan tatapan tak percaya.
“Kau terlihat sangat nyaman untuk seseorang yang tidak pernah diundang, bos,” celetuk Arelea sambil melipat tangan.
Gabrian menatapnya dan tertawa kecil. “Tentu saja. Kalau aku merasa tidak nyaman, aku pasti sudah tidak ke sini lagi, bukan?” jawabnya, nada suaranya seperti sedang memberi ceramah kecil.
Arelea hanya bisa menggeleng pelan, lalu berjalan ke dapur. “Mau teh atau kopi?” tanyanya setengah malas, meskipun sudah tahu jawabannya.
“Kopi, tentu saja. Seperti biasa, Lea,” jawab Gabrian dengan nada percaya diri, seolah ini sudah rutinitas mereka.
Sambil membuat kopi, Arelea tak bisa menahan diri untuk tersenyum kecil. Meski sering mengganggu, ada sisi dari Gabrian yang membuat hari-harinya terasa lebih hidup.
Dasar bos aneh… Tapi, mungkin hari ini tidak akan terlalu membosankan, pikirnya sambil membawa dua cangkir kopi ke ruang tamu..
''Terimakasih'' ucap Gabrian
''Sama sama'' jawab Arelea tersenyum manis
Setelah selesai membersihkan rumah, Gabrian memutuskan mengajak Arelea berjalan-jalan ke taman. "Lea, kita harus keluar. Kalau berdua terus di rumah, nanti ada yang salah paham. Gosip bisa lebih tajam daripada belati," ujar Gabrian dengan wajah serius yang dibuat-buat.
Arelea memutar mata. "Gosip? Kau pikir aku peduli? Yang aku pedulikan itu hari liburku, Bos!"
Gabrian terkekeh kecil. “Justru itu! Hari liburmu harus diisi dengan sesuatu yang menyenangkan. Ayo, taman menunggu!”
Kini mereka sudah duduk di sebuah bangku kayu di tengah taman yang dikelilingi bunga-bunga berwarna ungu. Gabrian menatap Arelea yang termenung jauh ke depan.
"Lea, kau suka taman dan bunga, ya?" tanyanya lembut, mencoba menarik perhatian.
Tidak ada jawaban. Gabrian melambaikan tangan di depan wajah Arelea. "Lea? Kau mendengar aku?"
Tersentak dari lamunannya, Arelea mengedipkan mata, menatap Gabrian dengan tatapan bingung. “Ah, ya, ada apa, Bos?”
Gabrian menghela napas sambil menahan senyum. “Aku bertanya, kau suka taman dan bunga, tidak?”
“Oh... iya. Aku suka. Taman dan bunga selalu jadi tempat aku... melarikan diri dari semua hal yang berat,” jawab Arelea, menatap kosong bunga-bunga di depannya.
Mendengar itu, Gabrian terdiam. Ia tahu, di balik senyum polos gadis itu, ada beban yang berat. Ia mengulurkan tangan, mengelus pucuk rambut Arelea dengan lembut.
Arelea melanjutkan, suaranya lebih pelan, seperti berbicara pada dirinya sendiri. “Aku ingin sekali tahu rasanya memiliki keluarga, seperti orang-orang di luar sana. Bercanda, tertawa bersama… merasakan kasih sayang.”
Ia berhenti sejenak, menarik napas panjang, lalu menghembuskannya dengan berat. “Tapi aku? Yang kudapat hanyalah tatapan sinis, caci maki… mereka menyebutku anak haram, anak yang tidak diinginkan. Dan aku... aku kebal terhadap hinaan itu. Tapi begitu mereka menyebut soal keluarga... hatiku langsung hancur."
Gabrian hanya diam, membiarkan Arelea meluapkan perasaannya. Tangannya ingin menggenggam tangan gadis itu, tapi ia menahan diri.
Arelea melanjutkan dengan nada penuh kesedihan. “Aku bahkan tidak tahu apakah orang tua kandungku masih hidup. Kalau mereka ada… aku ingin sekali bertemu. Aku ingin tahu seperti apa rasanya kasih sayang seorang ibu, seorang ayah… dan saudara. Kau tahu, Bos? Aku iri… aku iri pada kalian yang punya keluarga. Aku iri pada kalian yang bisa merasa utuh...”
Suaranya meninggi sejenak, lalu melemah di akhir kalimatnya. Sebutir air mata jatuh, mengalir di pipinya.
Gabrian menatap gadis itu dengan penuh rasa iba dan penyesalan. Andai saja ia bisa menghapus semua rasa sakit itu dari kehidupan Arelea, ia pasti akan melakukannya tanpa ragu. Tapi untuk saat ini, yang bisa ia lakukan hanyalah menjadi tempat bagi Arelea bersandar.
Ia berbisik pelan, "Lea, kalau kau mau, kau bisa berbagi beban itu denganku. Aku mungkin tidak bisa menghapus semuanya, tapi setidaknya aku bisa menanggung sebagian untukmu."
Arelea menoleh, tersenyum tipis, meski matanya masih basah. “Terima kasih, Bos... setidaknya kau tak menyebutku anak haram.”
Gabrian terkejut, lalu tertawa kecil. “Anak haram? Lea, kalau kau anak haram, aku ini apa? Anak manja yang kerja keras supaya nggak kena omelan Arav? Sudahlah, kau ini keluarga bagiku.”
Arelea tersenyum lebih lebar, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, senyumnya terlihat tulus.
Gabrian yang mendengar cerita Arelea merasa hatinya mencelos. Ada sesuatu yang menggerakkan dirinya untuk berjanji—bukan hanya pada Arelea, tetapi juga pada dirinya sendiri. Mulai sekarang, ia akan menjadi alasan gadis itu tersenyum. Saat Arelea mulai sesenggukan, Gabrian tanpa ragu menarik tubuh kecil itu ke dalam dekapannya.
"Mulai detik ini, Lea, aku akan memastikan kamu bahagia. Apa pun yang terjadi," ucapnya dengan suara rendah, namun penuh ketegasan.
Arelea hanya mengangguk kecil di bahunya. "Terima kasih, Bos," katanya di sela tangis yang mulai reda, sembari mengusap air mata dengan punggung tangannya.
Setelah beberapa saat dalam keheningan yang menenangkan, Gabrian perlahan melepaskan pelukannya. “Baiklah, sekarang ayo, aku antar kamu pulang. Sudah cukup drama hari ini, ya?” candanya, mencoba mencairkan suasana.
Arelea tertawa kecil meskipun matanya masih sembab. "Iya, Bos. Mari kita pulang sebelum aku bikin taman ini banjir. Tapi kalau kamu mau cari ikan di sini, sih, boleh juga."
Gabrian terkekeh. "Kalau aku mancing di taman, yang ada nanti aku malah nangkep kamu, Lea. Nggak mau, kan, jadi ikan mas peliharaan?"
Mereka berjalan bersisian menuju rumah kecil Arelea. Langkah Gabrian terasa lebih ringan, seolah ada kepuasan dalam hatinya karena setidaknya ia bisa membuat Arelea merasa lebih baik, walau hanya sedikit.
Di depan rumah Arelea, Gabrian berhenti. "Lea, kau mau istirahat sekarang?" tanyanya sambil memandang wajah gadis itu.
Arelea menggeleng pelan. "Mungkin sebentar lagi, Bos. Kenapa, memangnya?"
Gabrian tersenyum. “Aku cuma takut kamu malah begadang buat mikirin kenapa aku ganteng banget hari ini.”
Arelea mendengus, lalu tersenyum tipis. "Pede banget, Bos. Kayaknya gantengmu cuma efek lampu jalan deh, bukan bawaannya."
Gabrian terkekeh. “Ah, Lea, kamu memang paling bisa bikin aku ngerasa biasa aja. Tapi nggak apa-apa, itu kan tugas kamu sebagai asisten terbaikku.”
Arelea tersenyum kecil. "Baik, Bos. Saya istirahat dulu biar besok bisa terus bikin kamu sadar kalau kamu manusia biasa."
Gabrian mengangkat tangannya melambai, lalu masuk ke mobilnya. "Bye, Lea! Jangan lupa minum susu biar mimpi kamu nggak absurd!" katanya, sebelum melesat pergi dengan kecepatan yang sedikit di atas rata-rata—bukan karena buru-buru, tetapi karena hatinya penuh semangat.
Di dalam rumah, Arelea menatap punggung Gabrian yang semakin menjauh dari jendela. Ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Mungkin, untuk pertama kalinya, ia mulai merasa bahwa dunia ini tidak sepenuhnya kelam. Ada seseorang yang peduli, meskipun terkadang komentarnya bikin dahi berkerut, dan itu cukup untuk membuatnya tersenyum.
Arelea kembali masuk ke dalam rumah dengan tujuan untuk istirahat di kamar dan rebahan manja di kasur.
"Aahh, enak sekali tiduran begini... Hari ini adalah yang kutunggu-tunggu setelah seminggu bekerja... huuuh," kata Arelea pada dirinya sendiri sambil membuang napas kasar. Hilang sudah beban pikiran kesedihannya tadi.
Arelea merebahkan diri di kasur, dan ia mulai memejamkan mata hingga akhirnya terlelap dalam mimpi.
-------------------------
Sementara di rumah Gabrian, ia sedang berada di dalam ruangan bersama Arav dan beberapa anak buahnya yang sedang menyelidiki siapa orang tua kandung Arelea dan apa alasan mereka menelantarkan anaknya sendiri.
Setelah pulang dari rumah Arelea, Gabrian berhenti di pinggir jalan untuk menelepon asistennya guna mencari tahu siapa orang tua kandung Arelea.
"Arav, tolong kamu cari informasi terkait Arelea dengan lengkap. Jangan sampai ada informasi yang terlewat, meskipun ada rintangan," ucap Gabrian pada sang asisten di seberang telepon.
"Baik, Tuan. Segera saya laksanakan," jawab Arav dari seberang.
Saat ini, mereka semua berkumpul di sebuah aula. Mereka mulai membahas hasil yang mereka dapatkan masing-masing, karena semua yang berada di ruangan itu turut mencari informasi seputar Arelea. Gabrian sendiri belum mengetahui siapa orang tua Arelea. Sebelum bos mereka masuk, Arav dan anak buahnya sudah berunding tentang cara menyampaikan hasil penyelidikan secara bertahap, dan mereka sepakat menerima penjelasan perlahan.
"Bagaimana, Arav? Apakah kau sudah menemukan siapa orang tua dari Arelea?" tanya Gabrian dingin. Rasa penasarannya terpancar jelas.
"Ya, Tuan. Saya sudah menyelidiki semuanya tentang Nona Arelea, bahkan dari masa lalu hingga sekarang. Saya mendapatkan informasi yang Tuan inginkan. Namun, meskipun kita mengetahui siapa orang tua kandungnya, alasan mereka meninggalkan Arelea masih belum jelas. Tuan, orang tua kandung Nona Arelea itu adalah...."
''If you still have a complete family, love them and create an atmosphere full of laughter with them because there are many out there who can't feel what you feel''
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
R L A W L T N
Semangat
2021-12-10
2
Alpha Arietis
Quote nya deep bgt ya
2021-12-06
1
Senja Merona🍂
orangtua Arelea, adalah... jeng jeng jeng
2021-11-20
1