Setelah pembicaraan serius itu, semua orang keluar ruangan untuk kembali bekerja. Saat perjalanan pulang, Arelea berjalan sambil bertanya-tanya dalam hati apakah tuan tampan yang ia temui di perpustakaan tadi adalah bos baru atau lama, dan siapa namanya. Sebab, orang yang biasa ia panggil bos bernama 'Tristan' dan tampangnya juga berbeda.
Arelea terus berjalan sambil melamun, memikirkan hal yang sepertinya tidak penting itu. Tanpa sengaja, ia menabrak seorang wanita yang sedang menelepon. Wanita itu menoleh ke belakang dan menatap Arelea dengan penuh kesal.
Melihat reaksi wanita itu, Arelea langsung meminta maaf karena telah membuat ponsel sang wanita terjatuh, meskipun untungnya tidak pecah. Namun, wanita itu marah karena merasa terganggu saat sedang bertelepon penting dengan bosnya.
“Maafkan saya, Nona. Saya tidak sengaja menabrak Anda tadi,” ucap Arelea dengan sopan sambil membungkuk sedikit, kemudian memungut ponsel wanita yang terjatuh. Ekspresi wajahnya menunjukkan rasa bersalah yang tulus.
Wanita di depannya, yang mengenakan pakaian mewah dan berkacamata hitam besar, langsung berkacak pinggang. “Ya ampun! Apakah kamu tidak punya mata sehingga bisa menabrak saya yang sedari tadi berdiri di sini? Hah!” jawabnya dengan nada penuh amarah.
Arelea mengangkat wajahnya, berusaha tetap tenang. “Maaf, Nona. Saya tadi sungguh tidak melihat ada orang di depan saya. Sekali lagi, maafkan saya,” katanya sambil menyerahkan ponsel wanita itu.
Namun, sebelum wanita itu sempat merespons, Arelea menambahkan dengan nada polos, “Lagian, Nona juga salah berdiri di tengah jalan. Itu mengganggu pejalan kaki dan pengendara lainnya.”
Wanita itu—Devita Siregar, seorang model yang meskipun belum terkenal, sudah memiliki sikap arogan seperti model papan atas—terbelalak. “Heh! Kau malah menyalahkan aku, gadis kecil? Apa kau tak tahu siapa aku?” katanya dengan nada tinggi.
Arelea mengerutkan kening, berpikir sejenak. “Hmm… siapa ya?” tanyanya dengan polos, sambil menggaruk kepala.
“Aku ini Devita Siregar! Seorang model terkenal, tahu?! Dan kau berani menyalahkanku?” serunya, menekankan namanya seolah itu harus dikenali semua orang.
Arelea mengangguk perlahan. “Oh, begitu. Tapi Nona Devita,” katanya sambil berkedip polos dan sedikit menggembungkan pipinya, “memang bukan hanya saya yang salah. Tapi Anda juga, karena berdiri di tengah jalan.”
Devita mendengus kesal. “Dasar anak kecil tak tahu aturan! Aku ini model, aku bisa berdiri di mana saja yang aku mau!”
Arelea menatapnya dengan serius, lalu berkata, “Kalau begitu, Nona mungkin lebih cocok berdiri di panggung, bukan di tengah jalan. Itu lebih aman.”
Kalimat sederhana itu membuat Devita sejenak terdiam. Namun, alih-alih merespons, ia hanya mendengus keras, meraih ponselnya dengan kasar.
Arelea hanya bisa menghela napas, menatap punggung wanita itu sambil bergumam pada dirinya sendiri, “Orang terkenal kok sikapnya begitu ya? Tapi… model terkenal? Kenapa aku nggak pernah dengar namanya di mana-mana?” Ia kemudian melanjutkan langkahnya dengan senyum kecil, merasa sedikit geli dengan kejadian barusan.
------------------------------------
Di rumahnya yang megah, Gabrian duduk termenung di tepi kolam renang, matanya menatap air yang memantulkan bayangan langit. Namun pikirannya melayang jauh, kembali ke perpustakaan, ke momen saat gadis itu mengerjapkan mata lucu di hadapannya. Ia mendesah panjang, merasa dirinya mulai kehilangan kendali atas perasaan.
“Ah, apakah aku sudah gila, memikirkan gadis itu terus-menerus?” gumam Gabrian pada dirinya sendiri, suaranya hampir tenggelam dalam semilir angin sore. Namun, senyuman kecil muncul di wajahnya, dan tanpa sadar, ia tertawa lirih.
Arav, yang baru saja keluar ke halaman belakang untuk memberi laporan, berdiri diam beberapa meter di belakang tuannya. Ia memperhatikan Gabrian yang tampak berbeda dari biasanya. Tuan muda tersenyum? Dan... tertawa sendiri? Apa aku harus khawatir? pikir Arav dengan dahi berkerut.
Tidak tahan dengan rasa penasaran, Arav akhirnya memberanikan diri untuk berbicara. “Maaf, Tuan. Apakah ada yang lucu sehingga membuat Anda tersenyum begitu?” tanyanya hati-hati.
Gabrian menoleh sedikit, tapi senyumnya tidak hilang. Ia menatap kembali ke kolam renang, lalu berkata dengan nada datar, “Ya, Arav. Katakan padaku, apakah kau pernah jatuh cinta pada pandangan pertama?”
Pertanyaan itu membuat Arav terbelalak. Ia menatap tuannya dengan mulut sedikit terbuka, berusaha memastikan apa yang baru saja ia dengar. “Apakah Tuan sedang berbicara... soal cinta?” tanyanya, suaranya nyaris berbisik.
Gabrian tetap menatap air kolam, tapi sudut bibirnya melengkung sedikit lebih lebar. “Jawab saja pertanyaanku. Pernahkah kau jatuh cinta pada pandangan pertama?” ulangnya, kali ini dengan sedikit nada penasaran.
Arav menelan ludah, mencoba menenangkan diri dari rasa terkejut. “Err… sejujurnya, tidak, Tuan. Tapi...” Ia berhenti, matanya menyipit penuh rasa ingin tahu. “Apakah ini berarti... Tuan sedang jatuh cinta? Siapa wanita beruntung itu? Kapan Tuan akan membawa calon nyonya ke rumah ini? Dan—”
“Diam,” potong Gabrian, menatap asistennya dengan ekspresi datar namun penuh arti. Tapi semburat merah samar di pipinya membuat Arav semakin yakin bahwa dugaan itu benar.
“Tuan, ini luar biasa!” seru Arav, sulit menahan rasa gembiranya. “Saya tidak pernah menyangka akan melihat Tuan muda seperti ini. Jadi, siapa gadis itu? Apakah saya mengenalnya? Ah, pasti gadis itu luar biasa cantik dan cerdas!”
Gabrian menghela napas panjang, tetapi tidak bisa menyembunyikan senyumnya. “Diamlah, Arav. Kau terlalu banyak bicara.”
Arav tersenyum lebar, mengangguk hormat. “Baik, Tuan. Tapi jika Anda butuh bantuan untuk mendekatinya, saya siap membantu. Saya ahli dalam hal ini,” katanya penuh percaya diri.
Gabrian hanya menggelengkan kepala. “Kalau begitu, fokus saja pada pekerjaanmu. Dan jangan berani-berani menceritakan ini pada siapa pun, terutama pada Ibu.”
“Tentu, Tuan! Mulut saya terkunci rapat!” balas Arav, meskipun dalam hati ia merasa ini adalah berita terbaik yang pernah ia dengar sepanjang tahun.
Gabrian menghela napas panjang sambil menatap langit yang mulai berwarna jingga. “Entahlah, rasanya ingin sekali membawanya ke rumah ini!” gumamnya, kali ini dengan nada penuh tekad.
Arav yang berdiri di belakangnya tersenyum lebar, menyambut pernyataan itu dengan semangat. “Semoga berhasil mendapatkan hatinya, Tuan! Saya yakin, dengan pesona Anda, itu bukan hal yang sulit.”
Gabrian berdiri dari kursinya, gerakannya penuh determinasi. “Aku akan menemuinya sekarang,” katanya tiba-tiba.
Arav terkejut, matanya membesar. “Tuan akan ke mana?” tanyanya penuh rasa penasaran.
Gabrian melangkah menuju pintu utama. “Ke rumahnya. Aku harus melihatnya, sekarang juga. Kau tidak usah ikut, ini urusanku sendiri.”
Arav mengerutkan dahi, sedikit bingung. “Anda tahu alamat rumahnya, Tuan?” tanyanya dengan nada hati-hati. Dalam pikirannya, bagaimana mungkin seseorang yang baru bertemu gadis itu sekali sudah tahu alamatnya?
Gabrian berhenti sejenak di ambang pintu, menoleh sambil tersenyum tipis. “Kau meragukan kemampuanku? Hanya dengan menggerakkan jari, aku bisa mencari tahu asal-usulnya dengan detail. Semua berkat koneksi dan teknologi, Arav,” katanya penuh percaya diri, lalu melenggang keluar tanpa menunggu tanggapan.
Beberapa detik kemudian, suara mesin mobil terdengar mengaum di halaman rumah, sebelum Gabrian melaju pergi dengan kecepatan tinggi.
Arav, yang masih berdiri di tempatnya, menggaruk kepalanya sambil bergumam, “Eh, baiklah, Tuan…” Lalu ia mendesah panjang, sambil bergumam lebih keras kali ini, “Belakangan ini, Tuan muda lebih cerewet dari biasanya. Apa ini efek jatuh cinta? Kalau iya, aku harus bersiap lebih banyak sabar.”
Arav berjalan kembali ke dalam rumah, tetapi sebelum sampai di pintu, ia berhenti sejenak sambil tersenyum kecil. “Tapi sejujurnya, ini cukup menghibur. Setidaknya rumah ini tidak terlalu sunyi lagi.”
-----------------------------
Setelah perjalanan panjang, Arelea berjalan dengan langkah gontai menuju halte bus. Tubuhnya lelah, tetapi ada rasa lega karena hari itu akhirnya berakhir. Setelah beberapa menit menunggu, bus yang ditunggunya tiba, dan ia naik dengan wajah yang hampir tak berekspresi, hanya menginginkan satu hal—istirahat di rumah.
Setibanya di rumah kecilnya yang sederhana, Arelea langsung mengganti pakaian dan mandi. Hawa air dingin yang mengalir membasuh tubuhnya membuatnya sedikit lebih segar. Setelah itu, ia merebahkan diri di kasur kecilnya yang empuk seadanya. Rumah itu tidak besar, hanya cukup untuk satu orang. Namun bagi Arelea, rumah ini adalah tempat teraman di dunia.
Dinding rumah yang dicat putih mulai menguning di beberapa sudut, dan beberapa furnitur tua menghiasi ruangan. Tapi suasana di sana terasa hangat. Tetangga-tetangga Arelea terkenal ramah, dan lingkungan sekitarnya bersih meski sederhana. Tempat ini mungkin tidak sempurna, tetapi Arelea mencintainya.
Dalam kesunyian malam, pikirannya kembali melayang ke masa lalu. Hidupnya tidak mudah, terutama sejak ia keluar dari panti asuhan di usia 15 tahun. Kala itu, ia membuat keputusan besar untuk hidup mandiri, meninggalkan tempat yang selama ini ia anggap sebagai rumah.
Arelea tidak pernah tahu siapa orang tua kandungnya. Saat bayi, ia ditemukan di depan panti asuhan dengan kalung kecil berinisial "A" yang melingkar di leher mungilnya dan secarik kertas lusuh bertuliskan nama "Arelea Calista A." Itu saja jejak yang ia miliki tentang masa lalunya.
Kadang-kadang, ia bertanya-tanya apakah orang tua kandungnya pernah berusaha mencarinya. Apakah mereka bahkan mengingat keberadaannya? Tetapi seiring waktu, pertanyaan itu kehilangan bobotnya. Arelea belajar untuk menerima bahwa dirinya adalah sebuah misteri, bahkan bagi dirinya sendiri.
Baginya, kebahagiaan bukanlah sesuatu yang instan. Kebahagiaan adalah hasil dari perjalanan panjang, seperti memunguti serpihan-serpihan kecil cahaya di tengah gelapnya malam. Arelea percaya, hari ini mungkin ia harus bekerja keras dan bersusah payah, tetapi siapa yang tahu apa yang akan terjadi esok?
“Yang kita tahu hanyalah berdoa dan terus berusaha,” bisiknya pada dirinya sendiri sambil memejamkan mata.
Dengan hidup sederhana seperti ini pun, Arelea merasa bahagia. Ia tidak butuh kemewahan, tidak juga butuh kasih sayang berlebihan. Hanya dengan ketenangan dan kemandirian, Arelea tahu ia bisa bertahan.
Namun, rasa nyaman itu terusik ketika terdengar suara ketukan pintu dari luar.
Tok… tok… tok…
Arelea membuka mata dan mengerutkan kening. “Siapa lagi yang bertamu malam-malam begini?” gumamnya, setengah kesal karena baru saja hendak terlelap.
Namun begitu melihat sosok Gabrian berdiri di depannya dengan senyum khasnya, Arelea terdiam. Matanya membulat, dan rasa kantuknya hilang seketika.
“Bos? Eh, apa? Bos? Kenapa... kenapa ada di sini?” katanya dengan suara tergagap, masih bingung.
Gabrian tidak langsung menjawab. Sebaliknya, ia dengan santai melangkah masuk ke rumah Arelea tanpa permisi, membuat gadis itu hanya bisa menatap dengan ekspresi terkejut.
“Apa ini rumahmu, Lea?” tanyanya sambil mengamati sekeliling ruangan. Dengan sofa kecil di sudut dan dinding yang dihiasi poster bunga sederhana, rumah itu terlihat hangat namun sangat sederhana.
Arelea segera menutup pintu dan mengikuti Gabrian. “Bos, maaf, ada keperluan apa Anda datang ke sini malam-malam begini?” tanyanya, mencoba terdengar sopan meskipun pikirannya penuh pertanyaan aneh.
Gabrian duduk di sofa kecil itu dan menyandarkan punggungnya dengan santai. “Aku kebetulan lewat,” jawabnya sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling. “Dan, ya, aku penasaran...”
Arelea mengerutkan dahi. “Penasaran tentang apa?” tanyanya.
“Bagaimana kamu bisa hidup di tempat sekecil ini,” jawab Gabrian dengan nada serius, tetapi ada senyum kecil di wajahnya.
Arelea langsung merasa darahnya naik ke kepala. “Bos, ini rumah saya. Memang kecil, tapi saya nyaman di sini!” katanya dengan nada defensif, meskipun wajahnya mulai memerah karena malu.
Gabrian tertawa kecil, membuat Arelea semakin bingung.
“Apa yang lucu, bos?” tanyanya, kali ini dengan nada kesal.
Gabrian menggeleng, masih tersenyum. “Tidak ada. Hanya saja... aku suka caramu marah. Lucu sekali,” katanya santai.
Arelea hanya bisa mendengus sambil melipat tangan di dada.
“Sudah makan, Lea?” Gabrian tiba-tiba bertanya, mengubah suasana percakapan.
Arelea terdiam sejenak, lalu menjawab pelan, “Belum, bos. Tadi lupa beli makanan.”
Gabrian menatapnya dengan alis terangkat. “Kamu lupa makan? Lea, kamu ini bekerja keras sepanjang hari. Bagaimana bisa lupa makan?” katanya, terdengar sedikit mengomel.
“Saya terbiasa, bos. Tidak masalah,” jawab Arelea santai, mencoba menghindari perhatian lebih.
Namun Gabrian sudah berdiri. “Ayo, kita makan,” katanya sambil meraih tangan Arelea.
“Makan? Di mana, bos? Ini sudah malam...” Arelea mencoba menolak, tetapi Gabrian menariknya dengan lembut.
“Di restoran. Tidak jauh dari sini. Anggap saja ini bonus karena kamu jujur bilang belum makan,” katanya sambil tersenyum.
Arelea merasa ragu, tapi ia tidak punya keberanian untuk menolak. Dengan pipi sedikit memerah, ia mengikuti Gabrian ke mobilnya.
“Bos, bukannya terlalu mewah makan di restoran hanya karena belum makan?” tanya Arelea saat mereka memasuki mobil.
Gabrian menatapnya sekilas dengan ekspresi datar. “Kamu tidak tahu standar makanku, Lea. Tapi tenang saja, untukmu, semua pantas.”
Arelea hanya bisa menghela napas sambil menatap keluar jendela, bertanya-tanya bagaimana hidupnya bisa tiba-tiba berubah menjadi seperti ini.
--------------------
Situasi di ruangan privat itu terasa sedikit canggung, namun juga diwarnai suasana yang menggelitik. Gabrian, biasanya dikenal tegas dan berwibawa, kini terlihat seperti pria biasa yang gugup di depan wanita yang disukainya.
Setelah Arelea menarik tangannya dari pipi Gabrian dengan cepat, ia tersadar akan tindakannya dan langsung mengalihkan pandangan. "Maaf, bos, refleks," katanya, merasa malu.
Gabrian tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana. "Tidak apa-apa, Lea. Aku justru senang kamu peduli."
Arelea tidak tahu harus merespons seperti apa, jadi ia hanya tertawa canggung dan segera meminum jus di depannya. Dalam hati, ia berpikir, Kenapa bosku ini sedikit aneh malam ini? Biasanya tegas, tapi sekarang...
Tidak lama kemudian, makanan mereka datang, dan mereka mulai makan dalam keheningan. Gabrian, yang sebenarnya ingin terus berbicara dengan Arelea, berusaha mengumpulkan keberanian. Ia tahu dirinya bukan tipe pria yang pandai merayu, tetapi ia ingin Arelea melihat dirinya lebih dari sekadar bos.
“Lea,” Gabrian akhirnya membuka suara lagi, “kamu pasti lelah bekerja setiap hari, kan? Apa tidak pernah terpikir untuk berhenti sejenak dan menikmati hidup?”
Arelea meletakkan sendoknya dan menatap Gabrian dengan serius. “Tentu saja lelah, bos. Tapi aku tidak punya pilihan lain. Kalau aku berhenti, aku tidak tahu bagaimana cara bertahan hidup. Aku harus bekerja keras untuk diriku sendiri.”
Jawaban Arelea membuat Gabrian merasa kagum sekaligus sedih. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana beratnya hidup Arelea selama ini. “Kamu benar-benar wanita yang kuat, Lea,” katanya pelan, matanya menunjukkan rasa hormat yang tulus.
Arelea tersenyum kecil. “Terima kasih, bos. Tapi aku tidak merasa sekuat itu. Aku hanya melakukan apa yang harus aku lakukan.”
Gabrian ingin mengatakan sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang bisa membuat Arelea menyadari perasaannya. Tetapi ia menahan diri, takut mengagetkan gadis itu. Jadi, ia hanya berkata dengan suara lembut, “Kalau begitu, biarkan aku membantu. Apa pun yang kamu butuhkan, katakan saja.”
Arelea menatap Gabrian dengan bingung. “Kenapa bos ingin membantu saya? Saya hanya karyawan biasa.”
Gabrian tersenyum misterius. “Karena... mungkin aku melihat sesuatu yang luar biasa dalam dirimu, Lea.”
Kata-kata itu membuat suasana kembali canggung. Arelea merasa tidak nyaman, tetapi juga tidak tahu bagaimana harus menanggapinya. Ia hanya menunduk dan melanjutkan makan tanpa berkata apa-apa lagi.
Di sisi lain, Gabrian merasa lega karena setidaknya ia sudah mengungkapkan sedikit perasaannya, meskipun masih dalam batas wajar.
Malam itu, meski sederhana, adalah langkah awal bagi Gabrian untuk mendekati hati Arelea. Namun, ia tahu perjalanan ini tidak akan mudah. Ada dinding tinggi yang mengelilingi gadis itu—dinding yang harus ia tembus dengan kesabaran dan ketulusan.
------------------
Setelah makan, Gabrian mengantar Arelea pulang dan dirinya pun kembali ke rumah untuk beristirahat, bersiap untuk bekerja esok hari.
Sementara Arelea, setelah pulang dari acara makan malam bersama Gabrian, langsung tertidur. Lain halnya dengan Gabrian, pria itu masih berada di balkon kamar sambil tersenyum-senyum sendiri dan merasa sedikit malu karena dipuji Arelea sebagai pria tampan.
"Entah sihir apa yang kau berikan padaku sehingga aku menjadi tergila-gila padamu, Lea?"
Gabrian mengucapkan kata-kata itu untuk dirinya sendiri, sambil tersenyum tipis yang terasa sedikit kaku karena sudah terbiasa tanpa senyum. "Lea, kamu sudah membuatku gila dan harus bertanggung jawab telah membuatku seperti ini," pikirnya.
Arav yang sedang di luar rumah untuk membeli makanan dan minuman untuk dirinya sendiri, tanpa sengaja melihat penampakan sang tuan muda yang tersenyum di balkon kamarnya.
"Apa yang kau berikan pada tuanku, nona Arelea, sampai-sampai tuan muda bisa tersenyum sangat tampan seperti itu! Sepertinya tuan muda sudah jatuh cinta kepada nona Arelea, sampai-sampai tersenyum-senyum sendiri."
"Aku sudah lama sekali tidak melihat tuan muda tersenyum sangat lebar seperti itu, berkat nona Arelea senyumannya pun kembali," ucap Arav pada dirinya sendiri sambil menatap tuan mudanya yang tengah tersenyum sambil menatap langit itu. Ia kemudian pergi melanjutkan perjalanannya menuju kafe terdekat untuk membeli makanan, meninggalkan tuan mudanya yang tengah tersenyum sendiri.
----------------
Pagi harinya, Arelea sudah siap mengenakan seragam kerjanya sambil mengikat rapi rambut indahnya. Sebelum keluar rumah, ia mengunci pintu dengan hati-hati, memastikan tidak ada maling yang bisa masuk. Setelah itu, Arelea berjalan menuju halte bus dan menaikinya, menuju restoran dekat perpustakaan tempat ia bekerja, yang buka dari siang hingga malam hari.
Jadi, waktu Arelea ditanya sama Gabrian tentang shift malam itu, dia lagi menggantikan rekan kerjanya yang sedang sakit.
Arelea sudah bekerja di restoran sebelum bekerja di perpustakaan milik Gabrian, karena perpustakaan itu sedang membutuhkan tenaga kerja, jadi dia bekerja paruh waktu di perpustakaan itu untuk membiayai hidupnya.
Saat ini, Arelea sudah berada di dalam restoran, ia sedang menyiapkan nampan berisi makanan untuk disajikan ke pengunjung restoran tersebut. Bakatnya memang memasak, namun dalam pekerjaan ini ia harus memendam bakatnya itu dan menjadi pramusaji.
"Silakan dinikmati makanannya, tuan dan nona," ucap Arelea sopan seraya menaruh makanan ke meja pengunjung itu.
"Terima kasih," jawab dua pengunjung itu dengan sopan.
Arelea berjalan, dan belum sampai di dapur, ia melihat bosnya di depan gerbang perpustakaan, sepertinya sedang menunggu seseorang. Ia tak menghiraukan hal itu, dan ketika melihat bosnya sudah masuk ke dalam perpustakaan, ia juga masuk ke dalam dapur untuk menyiapkan pesanan lagi.
-----------------
Di sisi Gabrian, pria itu tampak gelisah menunggu kedatangan Arelea. Sesekali ia menghela napas panjang sambil melirik pintu, berharap gadis itu segera muncul. Entah kenapa ia merasakan kerinduan yang begitu mengusik, padahal mereka baru semalam tidak bertemu.
Akhirnya, ia memutuskan untuk masuk ke ruangannya dan mengecek berkas-berkas perusahaan bersama asistennya, Arav. Namun, bahkan ketika sibuk dengan dokumen-dokumen itu, pikirannya tetap melayang ke Arelea. Ia merasa aneh sendiri—mengapa perasaan ini begitu kuat?
“Tuan, tanda tangan di sini,” ujar Arav, yang tampak seperti biasa, tenang dan fokus. Gabrian hanya mengangguk tanpa banyak berkata, lebih banyak tenggelam dalam lamunannya.
Sementara itu, ia tetap menunggu dengan penuh harap bahwa Arelea akan datang ke perpustakaan untuk bekerja. Namun, ia tidak tahu bahwa Arelea sebenarnya hanya bekerja di siang atau sore hari. Ketidaktahuan itu membuatnya semakin sering melirik jam dinding, menghitung waktu yang seolah bergerak lebih lambat dari biasanya.
"Arav,jika gadis kemarin itu sudah datang, beritahu saya!" perintah Gabrian.
"Baik, tuan, kalau begitu saya permisi," ucap Arav lalu keluar pintu.
-------------
Matahari telah mencapai puncaknya, sinarnya terasa terik menyentuh kulit, menandakan hari telah beranjak ke siang. Arelea baru saja selesai bekerja di restoran, wajahnya sedikit lelah namun tetap dihiasi senyum kecil. Ia melangkah dengan mantap menuju perpustakaan, tempat ia biasanya menghabiskan waktu untuk membersihkan dan menata buku.
Saat ini, ia sudah berdiri di depan gerbang perpustakaan. Gerbang besi itu tertutup rapat, dan tidak ada tanda-tanda seseorang di sekitarnya. Arelea menoleh ke kanan dan kiri, mencari keberadaan satpam yang biasanya berjaga.
“Ke mana ya, Pak Satpam?” gumamnya pelan, sambil menghapus keringat di dahinya.
Ia tahu, jam makan siang seperti ini perpustakaan biasanya ditutup sementara dan baru akan dibuka kembali pukul satu siang. Namun, Arelea tetap berharap ada seseorang yang bisa membantunya masuk lebih cepat. Sambil menunggu, ia bersandar di dinding dekat gerbang, memandang jalanan yang mulai sepi karena orang-orang sibuk beristirahat di tengah hari.
Tiba-tiba pintu gerbang dibukakan oleh Arav karena disuruh oleh Gabrian saat melihat kamera pengawas bahwa gadisnya sudah datang dan sedang mencari satpam untuk membukakan gerbang.
"Silakan, Nona," ucap Arav dengan nada tenang, sambil membukakan pintu dan memberikan sedikit anggukan hormat.
"Terima kasih, Tuan Asisten," sahut Arelea sambil tersenyum manis. Senyumnya yang mengembang terlihat tulus, membuat ruangan terasa sedikit lebih hangat.
"Sama-sama, Nona," balas Arav, ikut tersenyum tipis. Matanya sesaat memperhatikan Arelea sebelum kembali ke sikap formalnya, tangan terlipat di belakang punggung.
Gabrian memandang dari jauh dengan wajah yang merah padam. Matanya membara penuh amarah melihat Arav membalas senyum Arelea, bahkan berani menatap gadis itu lebih dari lima detik. Ia mengepalkan tangan, jemarinya gemetar menahan gejolak yang tak bisa ia ungkapkan.
“Dasar Arav sialan! Awas saja kalau kau mendekati dia lagi!” geram Gabrian dengan napas terengah-engah, suaranya hampir terdengar di antara ruangan yang sepi. Ia berjalan mondar-mandir di dalam ruangannya, berusaha menenangkan diri tapi gagal setiap kali bayangan senyum Arelea untuk Arav melintas di benaknya.
Sementara itu, Arelea sudah melangkah masuk ke perpustakaan, tak menyadari drama kecil yang sedang terjadi. Ia langsung menuju ruang ganti untuk melepas pakaian kasualnya dan mengenakan pakaian kerja. Setelah berganti pakaian, ia mematut diri sejenak di depan cermin. Dengan sigap, ia mengambil masker dari tasnya dan mengenakannya.
“Aku harus cepat merapikan buku-buku hari ini,” gumam Arelea sambil menepuk-nepuk masker untuk memastikan pas di wajahnya.
Ia tahu, debu di rak buku perpustakaan sering kali tebal, dan ia tidak ingin terkena flu seperti beberapa hari lalu. Arelea melangkah keluar dari ruang ganti dengan langkah ringan, matanya langsung tertuju pada rak-rak yang sudah menunggu untuk dirapikan. Aroma khas perpustakaan—percampuran buku tua dan udara lembap—langsung menyambutnya.
Setelah menyelesaikan tugasnya, Arelea memutuskan untuk membeli minuman dingin di kantin perpustakaan. Ia berjalan santai sambil mengibaskan kerah bajunya, mencoba meredakan rasa gerah yang menyergap tubuhnya.
“Huhh, cuacanya kenapa sangat panas hari ini!” keluh Arelea seraya mengusap keringat di dahinya dengan lengan bajunya. Ia kemudian mengambil tempat duduk di dekat jendela, mencoba mencari sedikit kesejukan sambil menyesap minumannya.
Dari kejauhan, sepasang mata tajam menatapnya. Gabrian, yang sudah berkeliling mencarinya, akhirnya menemukan gadis itu. Ada kelegaan bercampur kesal dalam dirinya—kenapa Arelea tidak berada di tempat yang ia harapkan? Namun, saat melihatnya duduk santai, ia segera melangkah mendekat.
“Akhirnya aku menemukanmu, Arelea. Ternyata kau di sini,” batin Gabrian, matanya tak lepas dari gadis itu.
“Hi, Lea,” sapa Gabrian dengan suara khasnya.
Arelea, yang sempat terkejut, menoleh cepat. Melihat Gabrian berdiri di hadapannya, ia segera menguasai diri. “Hai juga, Bos!” balasnya dengan senyum kecil.
Gabrian menarik kursi di depannya dan duduk tanpa permisi, sikapnya tegas namun sedikit gelisah. “Sedang apa kamu di sini, Lea? Di sini sangat panas. Apa kamu tidak merasa kepanasan?” tanyanya, tatapannya tajam seperti biasa.
“Hehe… iya, Bos, memang panas,” jawab Arelea sambil terkekeh kecil. Ia mengangkat bahunya santai. “Tapi kalau ada angin yang lewat, lumayan sejuk, kok.”
Jawaban itu diiringi dengan senyum cengengesannya yang khas, seolah ia tidak peduli pada tatapan mata Gabrian yang terasa begitu menusuk. Gabrian mendengus pelan, mencoba menahan diri agar tidak terlihat kesal. Namun, di dalam hatinya, ia tak bisa menyembunyikan rasa frustrasi sekaligus kagum pada gadis itu—entah kenapa Arelea selalu berhasil membuat emosinya campur aduk.
“Ayo masuk!” ucap Gabrian dengan nada kesal, kedua alisnya bertaut, dan nada suaranya penuh tekanan. “Di sini sangat panas. Kalau kamu terus-terusan di luar, kulitmu bisa terbakar, dan itu bisa menyebabkan infeksi kulit.”
Ia sebenarnya ingin sekali langsung menggendong Arelea dan membawanya masuk ke dalam, tapi ia menahan diri. Sebagai bos, ia tahu batasannya—meskipun sering kali keinginan itu membuatnya frustrasi.
Arelea sempat tertawa kecil mendengar omelan bosnya. Namun, melihat ekspresi Gabrian yang serius, ia memilih mengangguk patuh. “Baik, Bos. Ayo kita masuk,” ucapnya dengan nada ringan, sambil membawa minuman yang masih setengah diminum.
Gabrian menghela napas panjang, merasa sedikit lega meskipun masih ada sisa kesal di dadanya. Ia berjalan lebih dulu ke arah pintu perpustakaan, memastikan Arelea mengikutinya dari belakang.
Begitu masuk ke dalam, udara sejuk langsung menyambut. Arelea segera kembali ke pekerjaannya, membersihkan rak buku yang penuh debu dan merapikan tumpukan buku yang berserakan. Sesekali ia bersenandung pelan, menikmati rutinitasnya yang selalu membawa ketenangan.
Sementara itu, Gabrian duduk di salah satu sofa dekat jendela, menatap Arelea yang sedang sibuk bekerja. Matanya tak pernah lepas dari gadis itu. Ada perasaan campur aduk di dalam dirinya—antara kesal, khawatir, dan tak bisa mengalihkan pandangannya dari sosok Arelea yang terlihat begitu fokus.
Tiba-tiba, teleponnya berdering, mengusik lamunannya. Gabrian melirik layar ponselnya, dan nama yang muncul membuatnya mendengus pelan. Arav. Siapa lagi kalau bukan asisten.
Gabrian segera mengangkat teleponnya dan melangkah menjauh dari Arelea, memastikan pembicaraannya tidak mengganggu gadis itu yang sedang fokus merapikan buku-buku. Ia berhenti di dekat jendela besar perpustakaan, memandang keluar sambil berbicara.
“Halo, ada apa, Arav? Apakah ada masalah?” tanyanya dengan nada tegas, suaranya sedikit menurun agar tak terlalu keras.
“Tidak, Tuan,” jawab Arav dari seberang. “Tapi saya ingin mengingatkan, 10 menit lagi kita ada meeting bersama klien di restoran mall dekat mansion.”
Gabrian menghela napas pendek, sejenak matanya melirik ke arah Arelea yang masih sibuk dengan tugasnya. “Baiklah,” ucapnya singkat, sebelum bertanya lagi, “Kau sedang berada di mana sekarang?”
“Saya sudah berada di dekat parkiran mobil, Tuan Muda,” sahut Arav, dengan nada sopan namun terdengar terburu-buru.
“Ya... Tunggu aku sebentar lagi. Aku akan ke sana,” jawab Gabrian sebelum langsung memutus panggilan tanpa memberi kesempatan Arav untuk membalas.
Ia memasukkan ponselnya kembali ke saku jas dengan gerakan cepat. Tatapannya sekali lagi tertuju pada Arelea. Ia ingin mengatakan sesuatu padanya, namun akhirnya mengurungkan niat. Dengan langkah yang mantap, Gabrian berjalan keluar dari perpustakaan, pikirannya kini terbagi antara pekerjaannya dan gadis yang baru saja ia tinggalkan di dalam sana.
----------------
Setelah memutus panggilan dari Arav, Gabrian kembali menghampiri Arelea. Langkahnya mantap namun ada sedikit keraguan di matanya, seperti tengah memikirkan apa yang sebenarnya ingin ia katakan.
“Arelea,” panggilnya lembut, membuat gadis itu menoleh dari rak buku yang sedang ia rapikan. “Aku akan pergi sebentar untuk meeting dengan klien,” lanjutnya dengan nada yang lebih santai, meskipun dalam hatinya ia menyadari betapa anehnya memberi tahu hal ini. Kenapa aku harus memberitahunya? Dia bahkan mungkin tidak peduli, pikir Gabrian, namun tetap berdiri di sana menunggu respons.
“Baiklah, Bos,” jawab Arelea dengan nada netral, disertai anggukan kecil. Ia tidak terlalu memikirkannya, meskipun matanya sempat memandang Gabrian sekilas, lalu kembali ke pekerjaannya.
Gabrian tersenyum tipis, kemudian mendekat. Tangannya terulur dengan lembut, mengelus rambut Arelea. Sentuhan itu mengejutkan gadis itu, tetapi ia tetap diam, hanya menatap Gabrian dengan sedikit bingung.
“Sampai jumpa nanti, sayang,” ucap Gabrian setengah berbisik, suaranya begitu pelan hingga Arelea hampir tak mendengarnya. Gadis itu hanya mengangguk kecil, namun rona merah muncul di pipinya, tak mampu disembunyikan.
Gabrian menatapnya sebentar lagi sebelum akhirnya berbalik dan berjalan keluar dari perpustakaan.
Di luar, di parkiran mobil, Arav sudah menunggu dengan wajah yang jelas menunjukkan rasa kesal. Melihat tuannya akhirnya muncul, ia segera menghampiri, namun ekspresi kesalnya tak sepenuhnya hilang.
“Kau kenapa, Arav? Wajahmu seperti belum disetrika saja,” kata Gabrian, menatap asistennya dengan nada yang setengah mengejek. Nada suaranya terkesan santai, namun ekspresinya tetap datar—gabungan yang membuat pernyataannya terasa ambigu.
Arav menghela napas panjang, mencoba menahan diri untuk tidak membalas. “Saya hanya menunggu agak lama, Tuan,” jawabnya dengan sopan, meskipun ada sedikit nada sindiran yang nyaris tak terdengar.
Gabrian hanya mengangkat alisnya, lalu membuka pintu mobil dan masuk. “Ayo cepat. Aku tidak suka klien menunggu, tapi kau membuatku terlihat seperti aku yang terlambat,” katanya dengan nada datar namun penuh tekanan, membuat Arav hanya bisa menuruti tanpa membantah.
-------------------
Setelah Gabrian pergi, Arelea kembali ke rutinitasnya di perpustakaan. Ia berjalan ke bagian tengah ruangan, memeriksa rak demi rak untuk memastikan semuanya sudah rapi. Namun, langkahnya terhenti ketika ia melihat sebuah rak yang berantakan, dengan buku-buku tersusun acak dan beberapa bahkan tergeletak di lantai.
“Huh... apa mereka pikir buku ini bisa merapikan dirinya sendiri?” keluh Arelea, melipat tangannya dengan ekspresi kesal. Ia memungut sebuah buku dari lantai, menatapnya sejenak, lalu berkata dengan nada pura-pura serius, “Kamu baik-baik saja di sini? Jangan khawatir, aku akan mengembalikanmu ke tempatmu.”
Keluhannya terdengar oleh rekannya, Tita, yang baru saja datang dari bagian depan perpustakaan. Gadis itu tertawa kecil, berusaha menahan diri agar tidak mengganggu fokus Arelea.
“Aku juga baru selesai mengecek bagian depan sana, Lea,” kata Tita sambil tersenyum geli. “Tapi kalau kamu bisa ngobrol sama buku, kayaknya kamu sudah butuh libur.”
Arelea menoleh cepat dengan mata menyipit. “Aku nggak butuh libur. Aku butuh pengunjung yang tahu cara mengembalikan buku dengan benar!” katanya dengan nada bercanda namun tegas.
Tita tertawa lebih keras kali ini. “Iya, iya. Tapi kalau pengunjungnya rapi semua, kita nggak punya kerjaan, dong?”
Arelea menghela napas sambil memutar matanya. “Kalau begitu, aku bakal minta bonus untuk kerjaan ekstra ini. Eh, Kak Tita, jangan-jangan ini bagian dari rencana rahasia perpustakaan supaya kita nggak bisa santai?”
“Kemungkinan besar,” sahut Tita dengan nada pura-pura serius. “Bisa jadi rak ini ada kontrak khusus dengan bos besar.”
Keduanya akhirnya tertawa bersama. “Sudahlah, Kak, mari kita bereskan sebelum buku-buku ini benar-benar minta dirapikan lewat aplikasi chat,” ujar Arelea dengan nada menggoda.
“Baiklah, ayo kita selesaikan sebelum mereka bikin grup WhatsApp!” jawab Tita dengan semangat, melibatkan humor untuk membuat suasana lebih ringan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
Alpha Arietis
Masih aku pantau
2021-12-06
1
Sapana_23
eh eh, gabrian main gandeng-gandengan😱
2021-10-24
1
Mien Mey
masih nyimak...
2021-10-18
1