Gabrian sedang berada di restoran VVIP untuk meeting dengan klien. Hari itu, ia berpikir bahwa semua akan berjalan lancar seperti biasa—sampai ia bertemu Nona Adinia Mariam Antares, klien dengan energi yang sangat... spesial.
“Hallo, Tuan Atkinson,” sapa Dinia dengan suara menggoda yang seolah diambil langsung dari film telenovela. Ia melambai kecil, seakan-akan Gabrian adalah selebriti di red carpet.
Gabrian hanya menatapnya datar. “Baiklah, Nona Antares, mari kita mulai meeting-nya,” ucapnya, menekan nada formal dalam setiap kata.
Arav, sang asisten yang sudah hafal kebiasaan bosnya, langsung mengambil alih. “Nona Antares, tolong fokus pada poin-poin kerjasama, bukan... hal lainnya,” ujarnya halus tapi tegas, dengan sedikit batuk menahan tawa saat melihat wajah Gabrian yang mulai memerah—bukan karena malu, tapi karena jengkel.
Setelah dua jam penuh pembahasan (dan selingan komentar genit dari Dinia), meeting pun selesai. “Mau pesan apa, Tuan?” tanya Arav sambil melirik klien mereka yang tampaknya tidak ingin pergi dalam waktu dekat.
Gabrian menghela napas panjang. “Terserah.”
“Kalau begitu, saya juga sama seperti Tuan Gabrian,” jawab Dinia tanpa diminta.
Arav memesan minuman biasa untuk Gabrian—dan dengan berat hati, juga untuk Dinia. Tak butuh waktu lama, pesanan mereka tiba.
“Mari diminum, Tuan Gabrian,” ucap Dinia, kali ini dengan nada manja dan... tangannya entah kenapa sudah mendarat di paha Gabrian.
Gabrian langsung membeku. Matanya melotot seperti melihat tagihan kartu kredit dengan angka fantastis. “Nona Antares,” katanya dengan nada seram, “apa Anda sadar bahwa Anda sedang menyentuh sesuatu yang bukan milik Anda?”
Arav, yang sudah menyaksikan cukup banyak, langsung angkat bicara. “Nona, mungkin Anda lupa bahwa ini restoran, bukan serial drama romantis. Tangan Anda harap kembali ke kursi Anda, segera.”
Dinia tertawa kecil, menarik tangannya tanpa rasa bersalah. “Oh, maaf, Tuan Gabrian. Saya terlalu nyaman.” Ia lalu meneguk minumannya dengan santai, seolah tidak ada yang terjadi.
Gabrian memejamkan mata sejenak, berusaha keras mengendalikan amarah. “Arav, kita pulang. Sekarang.”
“Baik, Tuan.” Arav berdiri, lalu memberikan senyuman setengah simpati, setengah geli pada Dinia. “Terima kasih atas waktunya, Nona Antares.”
Saat mereka meninggalkan restoran, Dinia tersenyum misterius, membatin dengan gaya yang hampir seperti tokoh antagonis dalam sinetron. “Aku pasti akan mendapatkanmu, Gabrian Gamaliel Atkinson. Tunggu saja.”
Di dalam mobil, Gabrian menggosok pahanya dengan tisu antiseptik yang ia ambil dari dashboard. “Astaga, Arav. Aku merasa seperti baru saja disentuh racun.”
Arav tertawa kecil. “Tenang, Tuan. Kalau perlu, nanti saya pesan eksorsis untuk paha Anda.”
Gabrian mendesah, setengah kesal, setengah geli. “Lain kali, kalau ada klien seperti itu, aku minta kamu yang maju.”
“Dengan senang hati, Tuan. Tapi jangan salahkan saya kalau bisnis kita bubar.”
Keduanya tertawa kecil, sementara mobil melaju meninggalkan restoran dan sosok Dinia yang masih berdiri di depan pintu, tersenyum seperti penjahat yang baru menyusun rencana.
***
Arelea duduk di bangku taman kota, mencoba meredakan kekalutan di pikirannya. Tangannya sibuk menghapus air mata yang sesekali jatuh, sementara pikirannya melayang jauh. “Kenapa aku harus seperti ini? Di mana orang tuaku? Apa mereka... tidak menginginkan aku?” gumamnya, setengah meratap. Padahal, kenyataannya orang tua Arelea tidak pernah berhenti mencarinya. Delapan belas tahun berlalu sejak kepergiannya, dan mereka masih berharap bisa memeluknya kembali.
Di tempat lain, Gabrian baru saja pulang dari meeting yang nyaris merusak suasana hatinya. Ia membersihkan diri di mansion dengan cermat—bukan karena perfeksionis, tapi karena takut alergi dermatographia-nya kambuh. Setelah itu, ia memutuskan untuk mencari udara segar, berharap bisa mengusir kekesalan sisa hari.
Saat mobilnya melewati taman kota, ia melihat sosok Arelea duduk sendirian di bangku, dengan gerakan kecil yang terlihat seperti menghapus air mata. Gabrian mengerutkan dahi. “Ini dia lagi drama, atau ada yang benar-benar salah?” pikirnya. Dengan cepat, ia menepikan mobil dan turun.
“Arelea?” panggil Gabrian sambil berjalan mendekat.
Arelea mendongak, wajahnya masih basah oleh air mata. “B-bos? Apa yang bos lakukan di sini?” tanyanya, jelas gugup.
“Sedang memandangi kamu,” jawab Gabrian santai, menyelipkan senyum kecil.
“Eh, serius, kenapa kamu di sini? Dan kenapa menangis?” lanjutnya, kini dengan nada lebih lembut.
Arelea buru-buru menghapus air matanya, berusaha menutupi kesedihan. “Oh, tidak, bos. Saya nggak apa-apa kok,” katanya dengan senyum yang terlihat dipaksakan—sebuah senyum yang bahkan Gabrian tahu adalah kebohongan besar.
“Hm.” Gabrian mendesah, memutuskan untuk tidak menekan Arelea lebih jauh. “Baiklah, kalau kamu bilang nggak apa-apa...”
Mereka duduk diam sejenak. Gabrian melirik Arelea yang masih sesekali menghela napas berat. Lalu, sebuah ide muncul di benaknya.
“Oh ya, Arelea. Malam ini ada pesta pernikahan kolega bisnis perusahaan. Kamu mau ikut?” tawar Gabrian santai, meski sebenarnya ia sedikit gugup.
Arelea terkejut, matanya langsung berbinar. “Pernikahan? Serius, bos? Pasti bagus banget, ya?” tanyanya, terlihat antusias. Tapi seketika wajahnya kembali murung. “Tapi... aku nggak punya gaun. Kata teman-temanku, kalau mau ke pesta seperti itu, harus pakai gaun bagus.”
Gabrian tersenyum kecil, merasa geli tapi juga kasihan melihat kegundahan Arelea soal gaun. “Tenang saja. Nanti aku kirimkan orang untuk merias kamu. Kamu tinggal bersiap.”
Arelea menatap Gabrian, seolah tak percaya. “Beneran, bos? Terima kasih, ya!” katanya dengan senyum yang kali ini benar-benar tulus.
Gabrian mengangguk pendek, mencoba tetap terlihat tenang meski di dalam hatinya ia sudah merasa seperti pemenang lotre. “Yes! Ini pertama kalinya dia tersenyum seperti itu di depanku!” pikirnya.
“Baik, malam ini aku jemput. Jangan terlambat, ya,” katanya sambil bangkit berdiri. Sebelum meninggalkan Arelea, ia menoleh sekali lagi. “Oh, dan... jangan menangis lagi, ya. Kalau mau menangis, tagih aku untuk bayar tisu.”
Arelea tertawa kecil mendengar gurauan Gabrian, merasa sedikit lebih ringan daripada sebelumnya.
Sementara Gabrian berjalan kembali ke mobilnya, ia tersenyum tipis. “Bunga itu memang sedang layu. Tapi malam ini, aku akan membuatnya kembali mekar.”
Malam itu, Arelea sedang dalam proses dirias. Namun, kehadiran seorang laki-laki berpenampilan perempuan yang bernama Madam Nina—atau Nino, jika sedang ingin jadi dirinya yang asli—membuat suasana jadi sangat kocak.
Awalnya, Arelea menolak dengan keras saat pintu dibuka dan ia melihat Nina berdiri di sana, mengenakan blus pink mencolok, rok mini, dan sepatu hak tinggi. Wajahnya full make-up dengan eyeliner tebal yang nyaris seperti sayap elang.
“K-kak, itu laki-laki atau perempuan?” tanya Arelea dengan suara lirih tapi penuh rasa takut.
“Hai, sis! Aku ini Madam Nina, stylist profesional. Panggil saja Madam Nina, oke?” jawab Nina dengan nada lembut, sambil mengedipkan sebelah matanya dengan gaya dramatis.
Arelea masih bingung, tetapi sebelum ia bisa berkata apa-apa, Nina menambahkan dengan suara berat khas laki-laki, “Atau, kalau mau formal, panggil aku Nino.”
Arelea langsung mundur beberapa langkah sambil berteriak, “Aaa! Kenapa kakak jadi dua orang? Ini apa? Apakah kakak manusia berkepribadian ganda?!”
Jeritan Arelea membuat Gabrian, yang baru saja tiba di rumah kosannya, buru-buru masuk ke dalam. “Apa yang terjadi di sini?!” serunya panik. Ia sempat khawatir kalau Madam Nina melakukan sesuatu yang membuat Arelea trauma.
Arelea menatap Gabrian dengan mata penuh rasa curiga sambil menunjuk Nina. “Bos! Dia manusia aneh! Katanya dia Nina, tapi dia juga Nino! Apa-apaan ini?!”
Gabrian menghela napas panjang. “Arelea, dia itu stylist terkenal. Mamaku sering memanggil dia untuk urusan fashion. Nina di sini hanya mau meriasmu supaya kamu kelihatan cantik malam ini. Ngerti?”
Arelea diam sejenak, lalu menatap Nina dengan wajah bingung. “Jadi... dia bukan monster?”
“Monster apanya?! Ya ampun, sis. Aku ini seniman!” seru Nina sambil memutar bola matanya dengan dramatis.
Setelah Gabrian berhasil menenangkan Arelea, proses rias pun dimulai. Namun, Nina adalah tipe yang suka memberikan komentar tak henti-hentinya sepanjang proses.
“Duh, kulitmu ini flawless, sis! Kenapa nggak jadi model aja?”
“Tapi, please, alis ini harus diperbaiki, ya. Kok kayak peta buta?”
“Dan rambut ini, ya ampun... sudah berapa lama kamu nggak perawatan?”
Arelea hanya bisa pasrah sambil mengangguk-angguk, sesekali memicingkan mata ke arah Nina yang dengan lincah mondar-mandir.
Gabrian, di sisi lain, sudah menunggu di ruang tamu selama lebih dari satu jam. Ia bahkan hampir ketiduran di sofa karena bosan menunggu.
Tepat 1 jam 15 menit kemudian, Arelea akhirnya keluar dari kamar dengan mengenakan gaun berwarna mocca selutut dan tanpa lengan. Rambutnya ditata elegan, dan riasan di wajahnya benar-benar membuatnya terlihat sangat cantik. Gabrian, yang awalnya bermalas-malasan, langsung terduduk tegak.
Dia menatap Arelea tanpa berkedip. Mulutnya sempat terbuka, seperti hendak bicara, tapi tidak ada suara yang keluar. Kalau saja Nina tidak ada di situ, mungkin Gabrian sudah lupa caranya bernapas.
“Eh, Ian, sudahi lah memandang kekasihmu itu. Cepat pergi, kalian sudah terlambat lima menit!” ucap Nina, menyentil bahu Gabrian dengan tatapan menggoda.
Gabrian mendelik dengan wajah memerah. “Dia bukan kekasihku!” serunya defensif, tapi tidak ada yang percaya.
Nina hanya tertawa sambil mengibas-ngibaskan tangan. “Ah, cinta itu kadang denial, Ian. Sudahlah, jangan lupa undang aku kalau kalian menikah nanti!”
Sementara Gabrian hanya bisa menghela napas panjang, Arelea berdiri mematung dengan wajah memerah mendengar candaan Nina.
“Yasudah, ayo kita pergi,” kata Gabrian akhirnya, mengulurkan tangan ke arah Arelea. Gadis itu mengangguk pelan, dan mereka pun melangkah keluar bersama-sama, meninggalkan Nina yang tersenyum puas sambil melambai.
Di luar, Gabrian melirik Arelea sekilas, lalu tersenyum kecil. “Mungkin candaan Nina ada benarnya,” batinnya.
Gabrian, yang baru tersadar sudah terlambat lima menit, akhirnya berdiri sambil melirik Arelea yang masih terlihat bingung dan canggung dengan gaun barunya.
“Ayo, Arelea. Kita sudah terlambat,” katanya santai, sambil menarik lembut tangan gadis itu.
Arelea yang tidak siap disentuh, apalagi ditarik, langsung terpaku. “E-e... baiklah, bos,” jawabnya dengan nada gugup. Wajahnya mulai memerah, tapi ia berusaha menutupi rasa gugupnya dengan berjalan cepat mengikuti langkah Gabrian.
Sambil berjalan ke arah mobil, Gabrian berteriak santai kepada Arav, “Ayo, Arav, kita berangkat sekarang!”
Arav, yang sudah terbiasa menjadi sopir, hanya menjawab singkat, “Baik, Tuan.” Namun dalam hati ia mendesah pelan. “Padahal biasanya aku yang datang sendirian ke acara begini. Sekarang harus jadi pengiring pasangan majikan, ya?”
Gabrian sebenarnya tidak berniat hadir di pesta kolega ini. Ia merasa acara-acara semacam ini terlalu membosankan dan hanya datang jika benar-benar penting. Tetapi kali ini, demi menghibur Arelea, ia rela mengorbankan waktunya—meski sedikit mendongkol karena itu mengusik rutinitasnya.
Perjalanan menuju hotel berlangsung singkat, dengan Arav mengendarai mobil dalam kecepatan normal, meskipun sesekali ia melirik Gabrian dan Arelea dari kaca spion.
“Aku jadi babysitter atau bodyguard, sih?” gumam Arav pelan, nyaris tidak terdengar.
Sesampainya di depan pintu hotel, lampu-lampu sorot dari dalam ruangan langsung mengarah pada kedatangan mereka. Gabrian keluar dari mobil dengan langkah tenang, lalu memutar ke sisi pintu Arelea untuk membukakannya.
“Wah... benar-benar bos yang elegan,” gumam Arelea, meskipun hanya dalam hati.
Mereka masuk ke dalam pesta, dan semua mata langsung tertuju pada keduanya. Gabrian dengan setelan jas hitamnya yang sempurna tampak seperti seorang pangeran, sedangkan Arelea, meski dandanannya sedikit berlebihan (berkat Nina yang agak overachieving), tetap terlihat memukau.
Namun, perhatian yang datang tidak sepenuhnya membuat Arelea nyaman. Ia merasa seperti sedang berada di tengah panggung drama dengan semua lampu dan kamera tertuju padanya.
Melihat kegugupan gadis itu, Gabrian mendekat dan berbisik di telinganya, “Ayo, gandeng tanganku dengan mesra.”
Arelea hampir tersedak udara. “Hah?!”
“Tangan. Sekarang. Atau kita terlihat seperti dua orang asing yang terjebak di sini,” ucap Gabrian dengan nada datar tapi tegas.
Arelea akhirnya menurut, meski ia masih gemetar sedikit saat meraih lengan Gabrian. Mereka berjalan masuk lebih dalam ke ruangan pesta, diiringi pandangan kagum dari para tamu.
Arav, yang berjalan mengikuti mereka, menahan diri untuk tidak tertawa. Ia bisa melihat dengan jelas betapa gugupnya Arelea, sementara Gabrian tetap berusaha memasang wajah tenang seperti biasa.
Di antara kerumunan, ada beberapa bisikan dari para tamu.
“Wow, siapa wanita itu? Pasangan baru Gabrian?”
“Dia terlihat berbeda, tapi cantik sekali...”
“Pasti model atau semacamnya.”
Sementara itu, Gabrian diam-diam memperhatikan Arelea yang tampak sedikit canggung tetapi tetap berusaha tersenyum.
Dalam hati, Gabrian berpikir, “Baguslah Nina mendandani dia dengan cukup menor. Kalau dia terlihat terlalu imut, aku harus sibuk menjauhkan dia dari pria-pria ini.”
Namun, ia tidak menyangka, meskipun penampilan Arelea sudah diubah, pesonanya tetap sulit disembunyikan. Gabrian pun hanya bisa berharap pesta ini cepat selesai, karena sebenarnya ia sudah lelah berpura-pura menikmati suasana yang sebenarnya tidak disukainya.
Mereka berjalan ke arah pengantin baru dengan tangan Arelea yang "terperangkap" dalam genggaman Gabrian. Bahkan, Gabrian terlihat posesif, seolah Arelea adalah harta yang tidak boleh disentuh orang lain.
"Selamat, Tuan Sebastien, atas pernikahan. Semoga tetap utuh sampai ajal menjemput," ucap Gabrian dengan nada datar dan wajah khasnya yang dingin.
Pengantin pria dan wanita tersenyum, mencoba tidak terlalu memikirkan nada suara Gabrian yang mirip bos mafia memberi ucapan perpisahan. "Terima kasih, Tuan Muda Atkinson," jawab mereka bersamaan, mencoba tetap ramah.
Arelea, dengan kepolosannya, menambahkan, "Selamat ya! Semoga kalian tetap bersama sampai jadi kakek-nenek, ya!" ucapnya ceria sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman.
Pengantin wanita menyambut tangan Arelea dengan hangat. Namun, saat giliran pengantin pria ingin menjabat tangan Arelea, Gabrian dengan gerakan halus tapi penuh makna menarik Arelea ke dalam pelukannya. Pinggang Arelea dipeluk erat seakan memberi sinyal, "Hanya aku yang boleh mendekati gadis ini."
Pengantin pria tertawa canggung, mencoba menyembunyikan rasa kikuk. "Selamat menikmati pestanya, Tuan Muda dan Nona Muda Atkinson," katanya, mencoba mencairkan suasana.
"Terima kasih," jawab Arelea dengan sopan, tidak sadar bahwa pengantin pria baru saja selamat dari "pelajaran posesif level Gabrian".
Gabrian hanya mengangguk kecil, memegang Arelea lebih erat saat mereka melangkah pergi. Mereka berdua kemudian duduk di kursi yang tidak jauh dari pelaminan. Gabrian bahkan menarik kursi untuk Arelea dengan anggun, sesuatu yang Arelea belum terbiasa lihat darinya.
"Apakah kau menikmati pestanya, Lea?" tanya Gabrian sambil duduk.
Arelea, yang masih sedikit canggung, tersenyum kecil. "Iya, bos... Tapi, di sini banyak sekali orang yang aku tidak kenal. Jadi agak bosan, sih... Hehe," jawabnya polos.
Gabrian hanya tersenyum kecil, sesuatu yang cukup langka darinya. "Baiklah, kalau begitu. Tapi kau sudah cukup manis untuk menyelamatkan malam ini," katanya setengah bercanda, sesuatu yang membuat Arelea kaget dan wajahnya sedikit memerah.
Sementara itu, Arav, yang berdiri di kejauhan sambil mengamati mereka, hanya bisa menghela napas panjang. "Kenapa aku masih single? Padahal umurku sudah hampir kepala tiga. Bahkan Gabrian yang empat tahun lebih muda dariku sudah punya drama romantis macam ini. Rasanya tidak adil," pikirnya sambil menghabiskan minumannya dengan ekspresi campuran antara iri dan lelah.
Melihat tatapan iri Arav, salah satu pelayan mendekatinya. "Ada yang bisa saya bantu, Tuan?" tanya pelayan itu sopan.
Arav menggeleng sambil tersenyum kecil. "Tidak, aku hanya butuh waktu untuk merenungi kenapa aku ada di sini, menjadi bodyguard lovebirds itu."
Pelayan itu mengerjap bingung sebelum akhirnya pergi. Sementara Arav tetap berdiri di sana, mendukung "bos dan calon bos putri" dari kejauhan dengan hati yang remuk tapi tetap profesional.
Gabrian dan Arelea dikenal sebagai duo profesional di tempat kerja. Namun, saat berdua, semua formalitas itu bisa hilang entah ke mana. Kadang mereka bercerita satu sama lain, melupakan penatnya dunia kerja, dan justru saling menjadi tempat curhat yang aneh tapi nyaman.
Ketika MC acara meminta para tamu untuk berdansa, para tamu langsung antusias. Gabrian, yang biasanya dingin dan serius, tiba-tiba berlutut di depan Arelea, menggenggam tangannya dengan gaya bak pangeran dalam dongeng.
"Arelea, ayo kita berdansa," ucapnya dengan nada serius tapi lembut.
Arelea, yang kaget, langsung tergagap. "Tapi, bos... Aku nggak tahu cara berdansa!" jawabnya polos sambil mencoba menarik tangannya.
Gabrian tersenyum kecil, kali ini tidak terlihat dingin, malah agak hangat. "Tenang saja, aku akan mengajarimu," katanya penuh semangat seperti sedang memimpin rapat besar.
Dengan ragu-ragu, Arelea menerima uluran tangan Gabrian. "Baiklah, bos... Tapi jangan salahkan aku kalau aku injak kakimu, ya!" celetuknya, setengah serius.
Mereka mulai berdansa mengikuti alunan musik yang romantis. Awalnya, Arelea kikuk, tapi Gabrian memandu dengan sabar. Satu atau dua kali sepatu Gabrian menjadi korban, tapi ia tidak terlihat kesal.
"Kamu sudah mulai mahir, Lea," ucap Gabrian sambil tersenyum.
"Benarkah? Atau kakimu saja yang mulai mati rasa?" jawab Arelea, mencoba bercanda untuk menutupi rasa gugupnya.
Gabrian tertawa kecil. "Mungkin keduanya," katanya dengan nada menggoda, membuat Arelea tersenyum malu-malu.
Mereka terus berdansa sampai lagu berakhir. Ketika lampu-lampu kembali terang, Gabrian mengantar Arelea kembali ke kursi, lalu mereka memutuskan untuk berpamitan kepada tuan rumah.
"Pulang sekarang, bos? Ini kan masih seru," kata Arelea, yang mulai nyaman berada di pesta.
Gabrian menggeleng ringan. "Sudah pukul dua belas malam, dan besok kau bisa tidur lebih lama, Lea. Jangan lupa, kamu butuh istirahat," jawabnya dengan nada serius, tapi ada kelembutan yang jarang terlihat.
Setelah berpamitan, mereka berjalan menuju mobil. Gabrian membuka pintu untuk Arelea, dan saat Arelea masuk ke dalam mobil, Gabrian berdiri sejenak, menatap punggung gadis itu dengan pandangan lembut yang hanya dia yang tahu.
"Terima kasih sudah menemaniku seharian ini, Lea. Aku mencintaimu," batin Gabrian sambil tersenyum kecil, kemudian masuk ke mobil, membawa mereka pulang dengan perasaan yang lebih hangat dari biasanya.
Sementara itu, di kursi belakang, Arav hanya bisa mendesah panjang. "Jadi, aku cuma tukang ojek romantis kalian, ya?" gumamnya pelan.
"Arav, apa tadi kau bilang?" tanya Gabrian sambil melirik ke belakang dengan tatapan penuh selidik.
"Ah, tidak, Tuan. Saya hanya bilang, 'Malam ini udara sangat romantis,' begitu," jawab Arav, berusaha tetap profesional, meski dalam hatinya dia ingin cepat pulang dan curhat ke kasur.
Mobil itu pun melaju, membawa mereka pulang dengan kisah yang akan terus melekat dalam hati masing-masing.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
Chintya NCTZEN
baper bgttt😭😭
2021-10-19
3
Mommy Gyo
5 like hadir thor
2021-08-08
1
mbacahaya
anj baper 😭
2021-08-07
2