Do you deserve to be called a mother?

Do you deserve to be called a mother?

(Pantaskah disebut seorang ibu?)

Gibran

Ia melangkahkan kakinya, menaiki tangga satu persatu dengan sedikit berlari. Tubuhnya terasa lelah, ditambah kabar tak mengenakkan di sore harinya. Bagimana tidak, putra kesayangannya jatuh sakit. Putranya yang selalu kuat dalam hal apapun akhirnya tumbang juga.

Ia memang selalu tegas dalam mendidik putranya, tapi tak bisa dipungkiri bahwa ia juga orang nomor satu yang paling sedih dan panik ketika putranya jatuh sakit. Seperti saat ini.

"Nathan" ia membuka pintu kamar Nathan perlahan, dilihatnya Nathan sedang meringkuk diatas kasur dengan berbalut selimut.

"Ayah" lirih Nathan, seketika itupun hatinya mencelos. Khawatir, sedih, semua bercampur jadi satu.

Ia berjalan menghampiri ranjang, duduk ditepi ranjang dan mengecek suhu tubuh Nathan melalui punggung tangannya.

"Kerumah sakit?" Tanya nya benar-benar khawatir.

Nathan menggeleng, semakin meringkuk diatas ranjang. Bahkan ketika ia menoleh kearah nakas, obat dan teh yang sudah dingin pun masih utuh.

"Kau masih menggunakan pakaian kantor" ia mendengus saat melihat pakaian Nathan yang masih lengkap seperti saat di kantor.

"Lepas dulu, kau itu demam. Bagaimana uap panasnya bisa keluar kalau pakaianmu setebal ini." ia menggerutu, membantu Nathan mendudukkan diri dan melepas jas Nathan.

"Sayang" pintu terbuka, ia menatap istrinya yang baru saja masuk kedalam kamar setelah tadi berpamitan mengangkat ponsel terlebih dahulu.

"Badannya panas sekali, kerumah sakit ya Nathan" lagi-lagi ucapan istrinya ditolak oleh Nathan. Memang putranya sangat keras kepala.

"Aku hanya butuh istirahat bunda" jawab Nathan menanggapi ucapan Jasmine.

"Sayang" istrinya menatap padanya, berusaha meminta bantuan untuk membujuk Nathan.

"Husstt, jangan dipaksa. Nanti kalau demamnya makin tinggi baru kita bawa kerumah sakit" ucapnya mencoba membujuk istrinya agar tidak memaksa putranya.

"Sekarang kita biarkan Nathan istirahat, nanti biar bibi yang mengantar makanan dan obat untuknya. Dan kita juga harus membersihkan diri bukan?" Ucapnya pada sang istri seraya bangkit dari duduknya.

"Cepet sembuh ya sayang" Jasmine merapikan selimut Nathan, dan langsung menyusul dirinya untuk keluar dari kamar putranya agar putranya bisa beristirahat.

 ----

Hari sudah gelap, cahaya matahari pun sudah digantikan dengan cahaya bulan. Langit malam ditaburi bintang. Angin sepoi berhembus menerpa jendela kamar.

 ------

Oliv

Ia baru saja turun untuk makan malam. Menuruni tangga dengan santai dan senyum berkembang. Bahkan bibir cantiknya terlihat bersenandung merdu.

"Buat kak Nathan bunda?" Tanyanya pada bunda Jasmine yang hendak naik keatas membawa nampan berisi makanan dan obat.

"Iya sayang" jawab bunda tersenyum padanya.

"Biar Oliv saja bunda" ucapnya seraya mengambil alih nampan dari tangan bunda Jasmine.

"Terima kasih ya sayang, kalau begitu bunda panggil ayah dulu" ia mengangguki ucapan bunda. Segera membalikkan badan dan kembali naik keatas untuk mengantar makanan.

"Kakk" ia membuka pintu perlahan, mengintip sebelum akhirnya melangkahkan kakinya kedalam.

"Kakk makan dulu setelah itu minum obat. Jangan bekerja dulu" gerutunya saat ia melihat Nathan duduk bersamdar ranjang dengan laptop dipangkuannya.

"Taruh disitu saja Oliv" ucap Nathan tanpa mengalihkan pandangannya dari laptop.

"Aihhh, kakak makan dulu." Ia pun merampas laptop dati Nathan.

"Kembalikan Oliv" lirih Nathan sedikit geram.

"Noo, makan dulu. Laptopnya Oliv bawa" tanpa memperdulikan tatapan tajam dari sang kakak, ia pun langsung melenggang pergi begitu saja.

Nathan.

Setelah tidur selama kurang lebih tiga jam akhirnya ia sedikit merasa lebih baik. Segera bangkit dan memijat pelipisnya yang masih saja pusing. Menyibak selimut dan berdiri dengan pelan untuk menuju kamar mandi.

"Oh shit" ia tak pernah seperti ini sebelumnya karena ia tipe orang yang sangat menjaga kesehatan. Tapi karena beberapa hari terakhir ia harus bolak-balik luar kota untuk mengecek pembangunan beberapa resort. Ia akhirnya tumbang juga.

Ia berjalan dengan pelan menuju kamar mandi. Hanya mencuci wajah dan menggosok gigi karena tubuhnya belum kuat jika berlama-lama menyentuh air.

Setelah selesai, ia kembali keranjang. Setelah mencuci wajah, tubuhnya terasa lebih segar. Bahkan ia bisa mengecek ponsel yang sedari siang tadi sudah ia letakkan di nakas. Terlihat beberapa pesan dan panggilan tak terjawab. Mengecek dan membaca pesan yang dikirim oleh asistennya.

Kepalanya terasa berdenyut kembali mendengar kabar jika ada beberapa masalah resort di desa.

Terpaksa ia pun mengambil laptop untuk mengatasi masalah tersebut.

"Kakk" ia mendengar suara dan pintu terbuka.

Menoleh sebentar, lalu kembali fokus dengan laptop didepannya.

"Kakk makan dulu setelah itu minum obat, jangan bekerja dulu" ia hanya menggelengkan kepalanya pelan, tanpa menjawab atau merespon ucapan adik sepupunya itu.

"Taruh disitu saja Oliv" ucapnya ketika ia melihat Oliv masih berdiri disampingnya.

"Aihh kakak makan dulu" ia mendengus saat Oliv merampas laptoonya lalu melenggang pergi begitu saja.

"Oliv kembalikan laptop kakak" ucapnya dan berdiri dari ranjang dan berniat mengejar Oliv.

"Oliv kem-" ucapannya terpotong begitu saja saat ia membuka pintu dan melihat Oliv sedang berbincang dengan ayah didepan pintu kamarnya.

"Nathan?" Heran ayah saat melihat ia berdiri didepan pintu dengan wajah pucat.

"Iya ayah. Nathan masuk dulu" ucapnya dan langsung menutup pintu.

Aurelia.

Ia menuntun satu-satunya sosok orang tua yang sangat menyayanginya. Bahkan setelah papa dan mama nya cerai, memutuskan hidup terpisah. Mencampakkan dirinya, meninggalkannya berdua saja dengan mbah (ibu dari sang mama). Hidupnya berubah, harus berjuang menghidupi mbah yang semakin tua renta. Dan juga berjuang untuk kehidupannya selanjutnya.

"Lia sudah bilang kalau mbah dirumah saja, biar Lia yang mencari uang" ia menangis, menyalahkan dirinya sendiri. Bagaimana bisa ia sampai lengah, dan tidak tahu jika mbah berjualan kopi sachet dipinggir lampu merah.

Ia merasa gagal, merasa berdosa atas apa yang mbah lakukan hari ini. Nenek tua yang seharusnya istirahat harus membantunya mencari penghasilan. Baik untuk kebutuhan sehari-hari maupun untuk membayar sewa kontrak rumah yang ditempati mereka.

"Mbah gakpopo nduk (Mbah nggak papa nak)" seloroh mbah mengusap air matanya yang menggenang.

"Yen awakmu ketemu wong lanang mau, ojo lali ngucap matur suwun yo nduk (kalau kamu ketemu pria tadi, jangan lupa ucapkan terima kasih ya nak)" ia hanya mampu menjawab ucapan mbah dengan anggukan kepala.

"Lia bakal golek kerjoan seng gajine luweh gede mbah, ben mbah iso ayem ng omah (Lia akan nencari pekerjaan dengan gaji yang lebih besar mbah, biar mbah bisa tenang dirumah)" ucapnya seraya memeluk mbah.

"Mugo-mugo karepmu di ijabah nduk, mbah gur iso ngewangi ndungo (semoga keinginanmu dikabulkan nak, mbah cuma bisa bantu do'a)"

 ----

Pagi harinya, ia merasa tidurnya terusik dengan suara teriakan mbah dan mama nya bersama seorang pria. Apa? Mbah? Ia langsung bangkit dengan cepat dan keluar dari kamarnya.

"Berhenti" teriaknya saat melihat mama bersama seorang pri mengobrak-abrik lemari mbah.

"Hei, beri mama uang" ia terlonjak, dengan reflek memundurkan tubuhnya saat mamanya berteriak padanya.

"Apa uang yang Lia transfer setiap bulan kurang untuk mama? Kenapa mama selalu mengganggu ketenangan kami" teriaknya begitu frustasi, bahkan air matanya sudah menggenang membanjiri pipi mulusnya.

"Banyak omong, cepat beri mama uang"

"Ahhh lepaskan maa, sakitt" ia merintih, jambakan dirambut panjangnya membuat ia  mengerang.

"Tolong, tolong" mbah berusaha mencari bantuan, meski kemungkinan kecil jika tetangga akan mendengar teriakan mbah.

"Diamm, cepat mana uangmu"

"Lia tidak punya uang ma, belum gajian" ia mencoba lepas, tapi sayang. Tenaganya kalah jauh.

"Cepatt"

"Ahhh" ia semakin merintih, memegang rambutnya yang semakin ditarik oleh sang mama.

"Iki duet, iki nduk. Culno anakmu (ini uang, ini nak. Lepaskan anakmu)" teriak mbah meraih tangan mama dan meletakkan sejumlah uang ditelapak tangan mama.

"Nah gitu dong, lain kali lebih banyak" ia hanya mampu menangis, tidak menyangka jika ibunya, malaikat tak bersayapnya berlaku tega kepadanya.

"Mbahh" lirihnya memeluk mbah setelah kepergian mama.

"Wes gak popo nduk (sudah tidak apa-apa nak)"

"Pantaskan disebut seorang ibu?" lirihnya merasa sangat kecewa pada wanita yang melahirkannya.

"Hustt, apik elek e mama iku tetep mama Lia. Wong wadon seng nglahirno Lia (Husstt, baik buruknya mama itu tetap mama Lia. Wanita yang melahirkan Lia)" tegur mbah, menasehati dirinya. Jika seburuk apapun sifat mama, beliau tetap mamanya. Perempuan yang melahirkannya, perempuan yang mempunyai surga ditelapak kakinya.

Terpopuler

Comments

hiatus

hiatus

aku lanjut mampir thor 🥰

2021-09-03

1

@ᚐᚗɠ૨εεɳᚐᚐ 💚²⁷

@ᚐᚗɠ૨εεɳᚐᚐ 💚²⁷

jd naik tensi baca part mamanya Lia 😒😒

2021-07-24

1

☣️🍿☀️ˢᵘⁿTᥱtᥱh🪄

☣️🍿☀️ˢᵘⁿTᥱtᥱh🪄

endingnya kenapa banyak bawang 🥺🥺🥺 bikin mewek 🤧🤧🤧

2021-07-24

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!