Gadis bercelana abu selutut itu keluar dari mobil mewah warna putih. Kaos pendek warna hitam sudah menjadi ciri khas penampilan gadis itu di luar acara formal. Langkahnya anggun menuju pintu besar nan tinggi di depan sana. Tidak perlu pakaian mewah dengan segala glamornya untuk menunjukkan kecantikan, Velicia Navvirel Aulia sudah mempunyai aura cantik dari dirinya tanpa bantuan riasan atau pakaian yang wah.
Begitu pintu dibuka, selesar dengan lebar dua meter menuntunnya ke ruang utama rumah itu. Bentangan taman yang menyihir mata sudah tidak asing baginya, bambu air sebagai pembatas antara teras dan taman berjajar sepanjang delapan meter. Gadis itu berbelok, pintu kaca besar di depannya didorong pelan.
Seorang wanita yang tampak masih muda diusianya yang 38 tahun duduk di hadapan gadis berpakaian apa adanya, terlihat lusuh.
“Nah, itu putri kecil kebanggaan saya. Namanya Velicia, baru lulus SMP beberapa hari yang lalu. Sepertinya kalian seusia.”
Velicia menyalimi mamanya terlebih dahulu lalu tersenyum kepada gadis yang kini berdiri dengan kepala ditundukkan. Terlihat sekali gadis desanya.
Hanya sebatas penyambutan formal saja, Velicia mengulurkan tangan di hadapannya untuk berkenalan. Gadis itu ragu untuk menerima uluran tersebut. Dan ketika dua tangan itu sudah bersatu, Velicia menahan keterkejutannya karena tangan gadis itu kasar sekali. Pasti hidupnya sangat tersiksa.
“Sumi.”
Velicia tersenyum kaku. “Veli.”
Begitu tangan kedua remaja itu sudah tidak bersatu, Felyana menarik lembut putrinya untuk duduk di kursi. Velicia duduk di samping mamanya. “Kamu juga duduk,” suruhnya kepada Sumi dan langsung dituruti, meski duduknya berpisah kursi dengan Felyana dan Velicia.
“Ma, Veli mau ke lab Papa,” izinnya yang langsung dibalas gelengan kecil oleh Felyana.
“Nanti dulu, ya. Mama mau ngenalin Sumi dulu sama kamu.”
Velicia rasa, itu hanya buang\-buang waktu. Namun, itu perintah mamanya, mana mungkim dia bisa menentang.
“Sumi ini tetangganya Bibi. Dia merekomendasikan Sumi untuk kerja di sini semata\-mata untuk membantu keluarganya. Sumi baru saja lulus SMP, orang tuanya tidak sanggup membiayai jika Sumi melanjutkan sekolah.”
Velicia menggelengkan kepala sebagai tanda tidak setuju. “Dia masih dibawah umur.”
“Iya, Mama tahu. Namun, Mama kasihan dengan Sumi. Kata Bibi, Sumi ini disuruh jadi baby siter sama orang tuanya. Oleh karena itulah Mama tarik dia untuk kerja di sini. Mama mau sekolahkan dia, tapi sambil kerja. Nggak pa\-pa, kan?”
Sumi menunduk sambil memainkan jari tangannya. “I\-iya. Nggak pa\-pa. Abi seuneung pisan, Bu.”
Baik Felyana maupun Velicia, keduanya menyergit seraya saling lempar tatapan. Kalimat terakhir gadis itu terasa asing di telinganya.
Tidak lama kemudian, Sumi membekap mulutnya atas kesalahan kata yang diucapkan. Mereka mana tahu bahasa Sunda. “Ma\-maksud abi teh, aku bahagia banget, Bu. Tapi sebaiknya jangan, Bu. Sekolah teh kan mahal. Apalagi di kota. Di kampung aja SPP\-nya ratusan ribu. Abi jadi nggak enak.”
“Kalau memang dengan pendidikan dapat merubah kehidupan seseorang mejadi lebih baik, kami tidak akan berpikir dua kali untuk membantu. Dengan suksesnya kamu suatu saat nanti, itu sudah cukup menjadi imbalan yang harus kami terima karena telah membantumu.”
Felyana tersenyum bangga atas kalimat panjang yang membungkam Sumi. Dia memeluk putrinya dari samping. “Selain itu juga Sumi kan seumuran sama kamu, kalian bisa mudah menjadi teman dekat.” Wanita itu melirik putrinya. “Mama punya jadi punya pklihan yang pas untuk kamu. Antara kamu mau home schooling atau kalian harus sekolah di sekolah yang sama. Mama nggak mau loh kamu nggak punya teman lagi di sekolah. Cukup, cukup Mama sakit hati melihat kamu nggak punya teman selama setahun.”
“Biar aku sekolahnya di sekolah biasa saja, Bu. Soalnya aku nggak pinter\-pinter banget,” ujar Sumi sungkan.
“Veli udah daftar di SMA Pancasila. Lusa jadwal tesnya.”
Felyana tidak akan berpikir dua kali untuk mengambil keputusan. “Sumi harus daftar juga. Lusa, kalian tesnya harus bareng.”
🎗🎗🎗🎗
Gadis itu menempelkan jari telunjuknya di papan persegi panjang yang menempel di pintu besar kamarnya. Papan itu berulisan ‘PRIVATE’. “Kamu dan semua pelayan di sini tidak punya hak untuk memasuki ruangan ini. Jika ada kepentingan, di sini ada….” Velicia mundur satu langkah untuk menunjuk ke suatu benda kota tipis yang menempel di samping pintu. “Kamu bisa mengucapkan apa yang ingin kamu ucapkan di depan benda ini. Tanda kalau Veli ada di kamar, lampunya menyala hijau. Kalau Veli tidak ada, lampunya tidak akan menyala.”
Sumi mengangguk paham.
Velicia melangkah menuju sebuah pintu lagi. Kali ini dia langsung membuka pintu itu. Lorong yang mempunyai panjang sepuluh meter dan lebar satu meter membuat Sumi tertegun, terlebih lantainya menakutkan, batu runcing yang akan membuat kaki terluka.
Melihat raut wajah Sumi yang takut, Velicia terkekeh sambil geleng\-geleng kepala. “Ini hanya gambar tiga dimensi, bukan nyata.” Velicia mulai menelusuri lorong tersebut sambil menarik Sumi.
Dua tangga mereka lewati sebelum menginjak lantai yang serupa dengan samudera. Sumi menganga melihat pemadangan lantai tersebut, benar\-benar mirip laut. Pagar pembatas tertupi bambu air yang dijajarkan. Di sana juga ada kursi warna hitam putih melingkari meja kaca.
“Tempat apa ini?”
“Ruang imajinasi,” jawab Velicia. “Setelah seharian berkegiatan, Veli akan ke sini. Veli tidak pernah ikut makan malam bersama, karena Veli stanby di sini. Biasanya bibi mengantarkan makanan ke sini.”
“Apa aku juga harus mengantarkan makan malam untuk Veli ke sini?”
“Iya. Jangan sungkan untuk masuk ke sini, karena tidak ada larangan untuk memasukinya. Siapa pun boleh ke sini.”
Sumi tersenyum sumringah sambil lirik\-lirik benda sekitar. Langkahnya menuju benda hitam putih di dekat jendela kamar Velicia. “Ini apa, Vel?” tanyanya sambil mengelus benda tersebut.
“Teleskop. Bintang di sana terlalu kecil untuk di tatap dengan mata telanjang. Jika nanti Veli punya waktu, nanti Veli ajak kamu lihat bintang menggunakan teropong bintang itu.” Gadis itu melihat jam tangannya sudah menunjukkan pukul dua siang. “Kalau mau lihat\-lihat rumah ini lebih dalam lagi, ajak Bibi saja. Sekarang Veli mau ke lab Papa. Oh iya, untuk malam nanti, kemungkinan Veli akan begadang, tolong buatkan brownies dan secangkir kopi, pukul delapan harus sudah
ada di meja ini."
Velicia meninggalkan Sumi begitu saja. Dia melangkah cepat keluar. Sopirnya sudah berdiri di samping mobil, begitu Velicia datang, pria itu langsung membukakan pintu.
“Ke laboratorium Papa.”
Perjalanannya memakan waktu lima belas menit dengan kecepatan standar. Velicia membuka ponselnya untuk mengisi waktu luang. Rencananya ingin memposting puisi di instagram, hanya saja sebuah direct message dari akun @david.anjaya menarik perhatiannya. Bukan akunnya yang membuat penasaran, tapi isi DM itu, ada kalimat ‘Cerita tentang mimpi\-mimpi…’.
Gadis itu segera membukanya.
\*Cerita tentang mimpi\-mimpi selalu membuatku melayang dan berimajinasi. Aku punya banyak mimpi, tapi hanya angan\-angan. Aku berani bermimpi, tapi terlalu takut untuk mewujudkan. Aku ini payah! Velicia, aku butuh teman. Teman untuk mewujudkan mimpi itu. Coba dengarkan lagu A Million Dreams, sangat memabukkan, bukan? They can say, they can say it all sounds crazy. Aku ingin mengajakmu ikut projek cover lagu bersamaku. Ini bukan sembarang cover lagu, karena aku juga ingin membuat video clipnya.\*
Velicia tersenyum tipis. Awal yang basa\-basi, tapi lucu. Dia segera membalas.
\*Veli ingin bincangkan projek itu dengan serius, secara empat mata.\*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments