Perpisahan

"Sini laptopnya!" Ucap Yuda padaku. Sudah ku duga ia kembali secara tergesa untuk mengambil laptop yang tertinggal dirumah. Dia menatapku tajam, sementara aku tak kuasa menahan laju airmataku yang mengalir begitu saja.

"Sini laptopnya, Ris!" Ucapnya penuh emosi, tanpa berniat menanyakan kenapa aku menangis. Ia jelas melihat airmata di pipiku saat ini tapi ia seolah tak melihat.

Dia datang menghampiriku dan merampas laptop itu dari pangkuanku karena aku tak kunjung menyerahkan kepadanya.

"Apa selama ini aku terlalu bodoh? Kalaupun aku bodoh kamu gak seharusnya membodohiku terus menerus, Yuda!" Ucapku penuh amarah sekaligus pilu. Aku menahan sesak yang menjalar dihatiku.

Yuda melengos pergi tanpa menghiraukan ucapanku. Aku setengah berlari untuk mencegatnya sebelum ia benar-benar pergi meninggalkan aku dirumah ini.

"Tunggu, Yud. Apa karena perempuan itu kamu berubah? Apa artinya aku buatmu, Yuda?" Tanyaku sambil menarik lengan kokoh suamiku itu. Yuda melirik sekilas jemariku yang melingkari tangannya. Kemudian ia menatapku dengan seringaian.

"Ris, asal kamu tahu kamu sangat berarti untuk aku." Ia menatapku dengan seringaian yang sama tapi aku merinding melihat senyumnya yang penuh maksud itu.

"Lalu, siapa perempuan itu?" Tanyaku lagi. Yuda mendesahh berat, sebelum akhirnya menjawab pertanyaanku itu. "Dia istri pertamaku, Ris." Ucapnya tanpa ragu. Aku terperangah mendengar penjelasannya. Apa maksudnya ini? Wanita itu adalah istri pertama Yuda? Lalu aku siapa? Bukankah aku yang dinikahi Yuda secara sah dimata hukum dan Agama?

"Apa maksud kamu, Yuda? Kamu bilang aku berarti untuk kamu tapi kamu punya wanita lain yang katamu dia istri pertama? Lalu aku ini siapa dan istri ke berapa?" Suaraku meninggi. Aku marah sekaligus kecewa mendengar pernyataan Yuda.

"Panjang ceritanya, aku tidak ada waktu untuk menjelaskan. Karena kamu sudah tau inti dari semua ini, ya sudah." Jawabnya enteng dan menekan handle pintu.

"Tunggu, Yud!" Cegahku. "Aku tidak mau punya hubungan yang tidak jelas. Aku minta penjelasan dan keadilan untuk statusku!" Sambungku lagi.

"Aku kan sudah bilang jika dia adalah istri pertamaku. Kamu adalah yang kedua. Awalnya aku tidak berniat menikahi Salma tapi aku jatuh cinta padanya disaat kita juga masih berpacaran!" Yuda berkata panjang lebar dan aku terduduk mendengar kenyataan bahwa lelaki dihadapanku ini telah lama menghianatiku bahkan sebelum kami menikah.

"Aku lebih dulu menikah siri dengan Salma tapi aku juga tak bisa meninggalkanmu waktu itu, karena aku terjebak rasa tanggung jawab yang secara tak langsung diberikan orangtuamu padaku. Mau tak mau aku juga menikahimu, Riris!" Sambungnya lagi dengan nada penyesalan. Kini ia tertunduk tanpa adanya nada emosi. Ia terlihat lemah dihadapanku.

"Jadi kamu sudah tak mencintaiku sejak lama?" Tanyaku tanpa melihat wajah Yuda. Mataku menatap ubin yang ku duduki.

"Aku sudah tak mencintaimu sejak aku menikahi Salma. Tapi kau melahirkan anakku dan sejak saat itu aku membuka hati lagi untukmu! Makanya kau sangat berarti, Ris. Itu karena kau telah melahirkan darah dagingku!" Ucapnya. Entah kenapa jawabannya justru mencabik-cabik hatiku. Ia menganggapku lebih, hanya karena aku ibu dari anaknya bukan karena memiliki perasaan cinta layaknya suami ke istrinya.

"Apa wanita bernama Salma itu tahu tentang aku?"

"Ya, dia tahu dan dia menerima dengan ikhlas. Dia juga bersyukur dari rahimmu bisa memberikan keturunan untukku. Karena dia tidak mau hamil dan mengandung." Jelas Yuda dengan nada lemah.

Sekarang aku mengerti keadaan yang terjadi. Awal mulanya Yuda tak menginginkan janin yang ku kandung, makanya dulu ia cuek dan merasa marah saat tahu aku hamil. Tapi setelah tahu dan menyadari bahwa Salma tak mau mengandung dan melahirkan anaknya, ia berubah menjadi perhatian kembali padaku, pada saat aku mendekati masa melahirkan waktu itu. Dan efeknya hingga sekarang ia memang menyayangi Ola.

Tak bisa ku bayangkan jika Salma-nya mau mengandung dan melahirkan anak untuknya, pasti dia sudah sejak lama menghancurkan hidupku dan Ola karena lebih memilih hidup bersama Salma dan anak impiannya dari rahim wanita itu.

"Lalu kenapa kau menikahiku, Yud?" Tanyaku lagi disisa-sisa kekuatanku. Rasanya tubuhku hampir limbung ketika menyadari semua ini.

"Seperti yang tadi ku katakan, Ris. Aku terlanjur menjalin hubungan cukup lama denganmu dan orangtuamu sangat percaya padaku. Aku hanya menjaga amanah orangtuamu yang mempercayakan anak gadisnya untuk ku jaga." Ucapnya dengan nada tak bersalah.

"Tapi kau malah menyakiti, bukan menjagaku!" Sanggahku seraya mendengus tak suka.

Yuda tak menjawab, ia hanya mengangguk-angguk.

"Sudahlah Ris, aku tak punya banyak waktu. Intinya kau sudah tau apa yang terjadi. Sekarang terserah apa maumu!" Ucapnya. Dia berdiri tegak dihadapanku yang masih terduduk di lantai. Anakku yang sedari tadi terdiam melihat keributan yang sempat terjadi diantara kami, mulai merangsek untuk mendekati aku. Ku tatapi wajah polos putriku, dia tidak bersalah sama sekali disini dan aku harus mempunyai pertimbangan juga untuk kehidupan anakku kedepannya.

"Aku mau berpisah, Yud." Ucapku sambil memangku gadis kecilku.

"Baik, jika itu yang kau inginkan. Kita berpisah saja!" Ucapnya enteng dan detik itu juga Yuda pergi meninggalkan aku dan Ola. Aku terisak, tak menyangka jika semua pengabdianku beberapa tahun ini pada suamiku tak dihargai. Aku berharap ia kembali tapi jangankan kembali, menoleh ke arahku pun tidak ia lakukan. Ia pergi dengan mudahnya dan ia mengucap perpisahan tanpa beban, seolah ini memang momen yang ia tunggu dan persiapkan jauh-jauh hari.

Aku menatap Ola yang ikut menangis, ia tak mengerti apa yang terjadi. Aku mencoba menanyakan kenapa ia menangis, jawabannya karena ia melihatku yang juga tengah menangis. Hatiku miris semakin terasa sesak.

Aku bangkit dan berdiri. Ku seret langkahku dengan berat, kemudian aku membuka lemari pakaian. Ku ambil semua barang-barang dan pakaianku, mengemasnya dalam satu travel bag yang cukup besar. Aku tidak sudi lagi jika harus tinggal dirumah ini. Rumah yang penuh tipu daya dari suamiku.

Walaupun rumah ini dibeli menggunakan sebagian uang tabunganku, biarlah itu akan menjadi hak Ola nantinya. Aku tidak mau meributkan harta dulu sekarang, yang jelas aku harus pergi dari sini sebelum Yuda kembali, entah itu besok, lusa atau bulan depan seperti yang ia katakan diawal kepergiannya tadi. Aku tidak peduli lagi kapan ia akan kembali.

Berulang kali aku mengusap airmataku. Aku tak menyangka jika sekarang aku sudah dicampakkan. Bukankah ucapan perpisahan darinya merupakan talak yang sah untukku. Aku mencoba menguatkan diri diantara sakitnya hati yang sudah pecah berkeping-keping. Ku genggam jemari Ola dan mulai memimpinnya untuk ikut bersamaku meninggalkan rumah yang sudah aku tempati selama kurang lebih tiga tahun ini.

Hari mulai malam ketika aku meninggalkan rumah itu, suasana diluar rumah begitu sejuk, sepertinya hujan akan turun dan mengguyur bumi. Tapi aku tak peduli, tekad-ku harus segera beranjak meninggalkan rumah ini. Padahal sejujurnya, aku belum tahu tujuanku akan kemana. Kerumah orangtuaku? rasanya aku enggan untuk menyusahkan mereka. Tapi itu adalah satu-satunya tujuan yang ku punya saat ini.

Ku hirup nafas dalam-dalam seraya menghembuskannya, aku pun menggendong Ola di tangan kananku, serta tangan kiriku sibuk menjinjing travel bag.

Aku berhenti di sebuah halte bus pinggir jalan. Sanking tak percayanya aku dengan apa yang baru ku alami, aku sampai lupa memesan taxi online. Ku dudukkan Ola dikursi halte sembari aku melihat-lihat kendaraan umum yang bisa ku gunakan menuju rumah orangtuaku.

Hujan mulai turun, beberapa kali suara gemuruh terdengar. Petir dan kilat menggelegar. Aku memeluk Ola yang meringkuk ketakutan. Aku merasa bersalah pada putriku satu-satunya karena keegoisanku ia harus merasakan hal ini. Ini semua juga karena Yuda yang menjadi laki-laki pengecut. Andai ia berani mengatakan yang sebenarnya jauh sebelum kami menikah. Andai saja ia berani mengakui jika ia telah menikahi Salma saat masih berpacaran denganku. Aku terus berandai-andai jika saja Yuda begini, jika saja Yuda begitu. Sampai pada akhirnya suara mobil terdengar berhenti dihadapanku.

Awalnya mobil itu sudah melewati halte secara perlahan, tapi tiba-tiba mobil itu mundur kembali seolah menyadari keberadaanku dan Ola di halte ini. Aku mendengar suara klakson yang dibunyikan mobil itu tepat dihadapan kami. Keningku mengernyit, aku tidak punya kenalan siapapun dengan mobil mewah seperti ini. Atau barangkali aku lupa, entahlah.

Sejurus kemudian, seseorang turun dari balik kemudi mobil mewah itu. Ia membawa payung dan berjalan perlahan menghampiri aku dan Ola.

"Ris..." Suaranya mulai terdengar memanggil namaku dengan akrab.

Deg!

untuk kesekian kalinya hatiku berdegup mendengar suara familiar itu. Aku memejamkan mata sejenak untuk menetralkan hatiku yang mendadak semakin pilu menyadari kenyataan yang terpampang nyata dihadapanku.

"Andre.." Jawabku setengah terkejut mendapati sosok sang mantan menatapku dengan senyuman lembut dan menyerahkan sebuah payung ke arahku.

...Bersambung......

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!