"Hallo, Riris?" Aku tersentak kaget mendengar suara dari seberang panggilan. Apakah aku tidak salah mendengar? Karena aku cukup mengenali suara ini.
"Siapa?" Tanyaku, sebenarnya aku ingin memastikan jika dugaanku salah.
"Andre, Ris." Ucapnya dari seberang sana. Dugaanku ternyata benar, itu suara Andre yang sangat ku kenali.
"Ada apa, Ndre?" Tanyaku mencoba berpikir positif karena aku selalu begitu dan tak mau hidup dengan kerumitan.
"Bisa kita bertemu?" Suara lembut yang selalu menggetarkan hatiku bahkan hingga detik ini. Aku tidak tahu alasan Andre mengajakku bertemu, kami sudah berpisah cukup lama. Lima tahun. Dan pertemuan di kedai martabak siang tadi adalah pertemuan kembali sejak statusku sebagai istri dari Yuda Adiputra. Aku tahu Andre juga sudah mengetahui jika aku sekarang seorang istri tapi aku tidak yakin dia menyadari jika aku sedang mengandung. Entah apa maksudnya dia mengajakku bertemu lagi sekarang.
Aku menggeleng walau ku tahu Andre tak akan melihatnya. "Aku nggak bisa. Jika ada yang penting bilang sekarang aja." Ucapku mengelak. Terdengar Andre menghembuskan nafas panjang dari seberang sana.
"Baiklah, Ris. Aku hargai keputusanmu. Sebenarnya tidak ada yang penting, hanya saja... Ah sudahlah." Ucapnya tak ingin membahas lagi.
"Ya udah, aku putus panggilannya." Ucapku dengan berat hati. Bagaimanapun aku sudah memiliki suami sekarang, aku harus menghargai Yuda untuk sekian banyak alasan yang ku buat-buat.
"Ah ya, kamu dapat nomorku darimana?" Pertanyaan yang seharusnya tak perlu ku lontarkan karena Andre akan mengetahui nomorku dengan mudah hanya dengan menjentikkan jari.
"Aku memang sengaja mencarinya." Jawab lelaki itu disertai kekehan kecil diujung kalimatnya. "Ya sudah, tutup teleponnya." Pintanya, walau sebenarnya bisa saja ia yang lebih dulu menutup panggilan itu.
"Emm, Ndre...?" Aku memanggilnya lagi.
"Iya, Ris?" Entah kenapa aku mendengar nada riang dari sahutannya itu.
"Jangan hubungi nomorku lagi. Aku minta maaf, ini untuk menjaga perasaan suamiku." Ucapku dengan tegas.
"Baiklah." Andre mengiyakan dengan nada lesu di kalimatnya dan aku pun menekan icon merah di layar ponsel. Ku perhatikan lagi nomor yang masih tertera dilayar ponselku itu, semenit berfikir aku memutuskan menghapus nomor itu daripada menyimpannya.
Itu adalah saat terakhir aku mendengar suara Andre, karena sejak saat itu aku fokus untuk bisa melupakan dia dan memilih untuk menjalani hari tenangku bersama suami dan calon anak yang ada dalam kandunganku ini.
____
Empat bulan kemudian.
Hari yang mendebarkan untukku telah tiba. Aku menuju detik-detik paling menakutkan dalam hidupku. Aku akan melahirkan anak pertamaku. Takut adalah hal pertama yang kurasakan. Tapi inilah hal yang mau tak mau harus ku jalani. Aku ikhlas dan ada rasa bahagia tak terbendung didalam sukmaku, karena sebentar lagi aku akan melahirkan anak untuk suamiku, Yuda.
Aku bersyukur, seiring berjalannya waktu. Sifat suamiku itu berangsur-angsur mulai kembali membaik. Ia mulai mempedulikan kehamilanku dan ia mulai menerima kehamilanku. Aku tidak tahu apa yang membuatnya seantusias ini menyambut kelahiran bayi kami. Tapi aku bahagia jika dia akan menyayangi anak yang ku lahirkan. Bagaimanapun juga memang anak ini adalah darah dagingnya.
Setelah melalui drama panjang proses melahirkan, akhirnya bayi kami lahir. Seorang bayi kecil berjenis kelaminn perempuan. Kami sepakat memberinya nama Aurora. Aurora bayi mungil yang ku lahirkan secara normal dan penuh kesakitan. Tapi melihat wajahnya yang cantik semua kesakitan yang kurasakan seakan hilang dan lenyap entah kemana.
Perasaan lega menjalar dihatiku setelah melahirkan Aurora. Setelah menjalani perawatan beberapa hari dan terus ditemani oleh Yuda, aku memutuskan untuk pulang kerumah kami.
Dirumah, Yuda melayaniku dengan baik. Semua kebutuhanku dan Aurora dia penuhi dan dia melakukan banyak hal yang biasanya menjadi kebiasaanku seperti memasak dan mencuci. Perlahan-lahan aku mulai merasakan kebahagiaan kecil melingkupi keluarga kami. Aku mulai melupakan masa lalu yang sulit ku lupakan dan aku mulai menerima semua yang sudah digariskan Tuhan untuk hidupku.
___
"Nda, Ola mam.. Ola mam.." Ucap Putriku, Aurora yang sudah mulai pandai berbicara. Umurnya hampir genap dua tahun.
"Sebentar ya, Bunda ambilkan nasinya dulu buat Ola." Ucapku sambil tersenyum ke arah gadis kecil berkulit putih itu. Aku mulai menyuapi Ola makan. Ya begitulah kami memanggil Aurora--Ola. Ola makan dengan lahap sambil menonton kartun favoritnya di televisi.
"Kamu mau berangkat lagi?" Tanyaku pada suamiku seraya tetap menyuapi Ola makan.
Yuda mengangguk. Aku tidak menaruh curiga sedikitpun padanya semenjak kelahiran Ola kurang lebih dua tahun silam. Tak ada tanda-tanda mencurigakan dan aku tak mau mengisi perasaanku dengan tuduhan-tuduhan yang akan melukai diriku sendiri walaupun terkadang Yuda bersikap dingin dan sulit untuk ku tebak. Yuda memang selalu terlihat misterius dan aku tak bisa menjangkau apa yang ia sembunyikan dari diriku. Entahlah.
"Aku pulang bulan depan." Ucapnya tanpa ku tanya. Aku menatapnya heran. Sudah lama ia tak pergi selama itu. Biasanya ia hanya pergi dua atau tiga hari saja. Paling lama juga sepuluh hari, itupun sudah lama sekali sebelum Ola lahir.
"Ini masih awal bulan, kalau kamu pulang bulan depan berarti kamu pergi sebulan penuh dong." Ucapku dan suamiku Yuda mengangguk lagi.
"Kenapa lama sekali? Tumben." Ucapku datar sekaligus protes.
"Ya mana aku tahu, aku kan cuma ngikut prosedur kerja." Ucapnya membela diri. Aku berdecak dan memutuskan diam karena tak mau ada perdebatan terlebih didepan anak kami.
Tak menunggu lama, Yuda menyelesaikan semua urusannya dengan barang-barangnya lalu beranjak pergi. Ia mengulurkan tangan untuk ku salami dan tak minta ku antar ke Bandara seperti biasanya. Biasanya, jika keluar kota ia meminta aku untuk ikut mengantar walau dia pergi sehari atau dua hari. Tapi sudah hampir sebulan belakangan ini tidak pernah lagi. Aku menanyakan tapi dia beralasan takut aku lelah.
"Kamu tidak mau kami antar?"
"Tidak usah."
"Kenapa?"
"Nanti kamu lelah. Jaga saja Ola dirumah."
Aku merasa sikapnya kembali berubah dingin dan karena malas berdebat, aku mengiyakan saja dan Yuda pun berangkat pergi.
Aku kembali melakukan aktifitasku seperti biasa, Ola bermain boneka di ruang tv. Ketika aku hendak berberes rumah, aku melihat laptop milik suamiku tertinggal. Dengan rasa penasaran, aku mencoba mengecek isi laptop itu.
Baru saja aku membuka laptop milik suamiku, aku melihat fotonya dengan seorang wanita yang menjadi wallpaper laptop. Perasaanku berkecamuk, aku terlalu naif selama ini karena mengira rumah tangga kami baik-baik saja. Semenit terpaku didepan laptop, pintu rumahku yang tertutup tiba-tiba terbuka dari luar dan Yuda menatapku dan laptop ditanganku secara bergantian. Ia menatapku dengan tatapan murka.
...Bersambung......
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments