Sore harinya Mas Andre ingin pergi ke rumah wanita itu untuk bersilaturahmi dengan ayahnya. Ia memohon untuk diijinkan ke sana karena ini lebaran.
Hatiku kembali sakit setelah beberapa hari merasakan ketenangan. Aku ingat tadi siang setelah acara sungkeman, biasanya ia akan video call dengan ibuku yang ada di kampung karena sama seperti tahun kemarin, kami tidak bisa pulang disebabkan pandemi ini. Namun tadi siang Mas Andre harus aku ingatkan dulu baru ia menghubungi ibuku. Itupun ia hanya bicara dengan ibuku, tidak mau bicara dengan saudaraku yang lain.
Dan sekarang, ia memaksa agar diijinkan ke rumah wanita itu dengan alasan lebaran mau sungkem ke ayah mertuanya. Mas Andre sudah sepenuhnya dikuasi perasaannya kepada wanita itu. Jika seperti ini, masihkah aku harus bertahan. Hatinya sudah tidak adil.
"Pergilah!" akhirnya terucap juga kata itu dari bibirku. Percuma aku melarang dan menahannya di rumah jika hati dan pikirannya terus ke sana. Aku harus belajar menerima jika aku sudah terhapus dalam hati dan pikiran Mas Andre.
"Terima kasih, Ra. Kau memang istri yang baik. Aku janji, aku tidak akan lama." Mas Andre mengecup keningku sebelum ia berangkat.
Pujianmu palsu Mas. Jika aku istri yang baik, kenapa kau masih butuh wanita lain untuk kau jadikan istri.
"Bunda, ayah kemana?" suara riang Ryan mengagetkanku.
"Ayah ada perlu. Ryan kenapa mencari ayah?" tanyaku lembut sambil mengelus kepalanya.
"Bunda, Ryan ingin ke rumah tante. Mau bertemu Nisa dan Kafi." jawab Ryan sambil menatapku dengan sorot mata penuh permohonan. Mata melas kalau Ruan bilang.
"Ayo, kita ke sana." jawabku.
"Ayah?" tanya Ryan lagi.
"Ya... ayah tidak ikut. Kita berdua saja" Aku berdiri dari duduk ku. Mengambil helm dan kunci motor.
Lima belas menit kemudian kami sampai di rumah adikku. Setalah ritual lebaran seperti biasa, saling bermaafan, aku dan adikku duduk mengobrol sambil melihat Ryan yang bermain dengan gembira bersama Nisa dan Kafi. Sebenarnya aku ingin curhat ke adikku, tapi enggan. Adikku sama sekali tidak menyinggung masalah keluargaku. Mungkin ia menjaga perasaanku agar tidak bersedih. Padahal aku ingin ia bertanya agar aku ada jalan untuk mulai bercerita.
"Bagaimana pekerjaanmu, Mbak?" tanya adikku. Alih-alih ia menanyakan rumah tangga ku, ia malah bertanya tentang pekerjaanku.
"Baik."
"Apa mas Alan masih menjadi atasanmu?"
"Untuk saat ini iya. Belum tahu nanti. Kau tahu, abdi negara seperti kami harus siap dipindah ke manapun. Itu sudah janji kami saat pertama diangkat dulu."
"Dan dia masih belum menikah?"
"Iya, masih betah saja tuh orang hidup sendiri. Eh.. tapi kenapa tiba-tiba kamu menanyakan Alan?"
"Nggak papa. Tadi pagi kami bertemu saat sholat Ied di lapangan."
"Ooo." aku hanya ber o ria menanggapi jawaban adikku.
"Mbak!"
"Ya."
"Mbak tahu tidak kalau dulu Mas Alan menyukai Mbak?"
Aku diam. Alan memang pernah menyampaikan isi hatinya dulu saat kami SMA. Tapi aku tidak pernah menanggapinya. Sebenarnya saat itu aku juga memiliki perasaan yang sama, tapi rasa tidak percaya diriku yang membuatku menggantung pernyataan cinta Alan. Aku tidak menerima juga tidak menolaknya.
"Mbak, maaf. Aku hanya takut mbak melakukan hal yang salah. Saat ini mbak sangat membutuhkan perhatian dan dukungan dari orang lain. Aku takut, mbak akan goyah saat mendapatkan perhatian lagi dari Mas Alan. Karena tadi ia sempat menutup pesan agar aku menjaga dan memperhatikan Mbak. Sepertinya ia tahu masalah keluarga mbak." Adikku menjelaskan.
"Ya, dia memang tahu." jawabku sambil tersenyum masam.
"Mbak yang bercerita padanya?" mata adikku mengamati wajahku.
"Enggaklah dik. Dia tahu dari temannya. Temannya itu teman Mas Andre dan Mas Andre sendiri yang cerita ke orang itu." jawabku.
"Mbak, aku harap mbak tidak mengimbangi apa yang Mas Andre lakukan."
"Maksudmu?"
"Dari yang aku lihat tadi, Mas Alan masih menyimpan rasa yang sama padamu. Mbak, bukannya aku tidak menyukai Mas Alan. Tapi untuk saat ini, ... "
"Aku tahu dik." potongku dengan cepat, "Aku tahu. Kau takut aku terpikat oleh perhatian Alan karena aku sudah kehilangan perhatian suamiku kan?"
Adikku mengangguk, "Maaf mbak. Aku hanya mengingatkan. Karena mbak masih istri Mas Andre."
"Iya dik. Terima kasih. Tapi kau tenang saja. Aku tidak akan melakukan hal yang sama. Meski begini-begini, aku masih takut dosa." kataku lalu aku tertawa. Adikku juga tertawa. Ucapan syukur keluar dari bibirnya.
Waktu terus beranjak malam. Aku pamit pulang setelah Ryan bilang ia mengantuk.
"Mbak apa nggak sebaiknya diantar Mas Arif. Biar Ryan dibonceng Mas Arif. Anaknya mengantuk tuh. Lebih aman dibonceng di depan." Adikku memberi saran melihat mata Ryan yang memang sudah redup karena kantuk. Melihat keadaan Ryan yang seperti itu, aku menyetujui usul adikku.
Akhirnya aku pulang dengan diantar suami adikku.
"Makasih Rif." kataku saat kami sampai di rumahku. Arif, adik iparku itu, mengangguk lalu pamit pulang.
Ryan langsung menuju kamarnya begitu kami masuk rumah. Tak berapa lama kemudian Mas Andre tiba. Ku pandang wajahnya dan aku merasa heran melihat raut mukanya yang sepertinya gusar dan tidak bahagia.
Aku diam tidak berani bertanya karena takut jawabannya akan membuat luka di hatiku kembali berdarah. Biarlah dia dengan segala apa yang ia rasa, aku berusaha tidak peduli.
"Ra!" panggilnya sedikit kasar.
"Ya, Mas." jawabku pendek.
"Ilmu apa yang kau gunakan?" tanyanya membuatku bingung.
"Ilmu? Ilmu apa maksudmu Mas."
"Ra, kau jangan pura-pura. Aku tahu saat ini kau sedang datang bulan. Tapi aku melihatmu tiap waktu sholat, duduk dengan memakai mukenamu di kamar Ryan. Ilmu apa yang kau gunakan untuk menyakitinya. Kau tahu, dia sakit. Dia juga bilang kalau aku kena sihir karena sikapku padanya berubah. Jawab aku, ilmu apa yang kau gunakan." Mas Andre berkata dengan keras sambil mencengkeram lenganku.
Aku memandangnya. Aku tidak percaya. Benarkah pria di hadapanku ini suamiku yang dulu. Apakah dia masih Mas Andre yang sholeh itu? Mataku mulai berkaca-kaca. Mas Andre melepaskan cengkramannya di lenganku. Mungkin karena melihatku akan menangis.
"Dia sakit. Dia bilang habis dari orang pintar, dan orang itu bilang kalau aku kena ilmu hitam." Mas Andre menjelaskan tanpa aku minta. Aku masih diam menata rasa yang ada di hatiku.
"Mas, dia yang pergi ke orang pintar, kenapa Mas tanyanya ke aku? Kenapa Mas nggak tanya ke dia, ilmu apa yang dia gunakan?" jawabku sinis.
"Dia ke orang pinter untuk mecari obat agar dirinya bisa melupakan aku. Karena beberapa hari ia sakit sebab tertekan."
Aku tertawa. Tawa sedih dan sedikit geli.
"Aku yang dikhianati, aku yang diselingkuhi kenapa dia yang tertekan. Apa nggak kebalik?" ejekku. "Asal Mas tahu. Aku memang sedang halangan. Tapi aku butuh Allah saat ini. Untuk itulah aku terus berdzikir dan berdoa di tiap waktu sholat. Begitupun saat sholat malam. Bukan untuk merapal ilmu atau ajian atau apalah yang tujuannya untuk menyakiti atau menyerang orang lain. Aku hanya ingin mendekat ke Rabb-ku. Kalau dia sakit, bukan aku yang membuatnya sakit."
"Kalau bukan kau lalu siapa?"
"Astaghfirullah, Mas. Ingat! Hanya Allah yang bisa membuat manusia sakit."
Mas Andre diam. Melihat dia diam, aku meninggalkannya. Aku membersihkan wajah dan kakiku, lalu ke kamar untuk tidur. Beberapa saat kemudian, aku merasakan Mas Andre merebahkan tubuhnya di belakangku. Ku rasakan ia semakin mendekat dan tangannya memelukku erat. Kugerakan tubuhku menolak pelukannya.
"Jangan tolak aku. Dosa. Aku hanya ingin memelukmu." bisik Mas Andre di telingaku. Mendengar kata dosa, aku diam. Ya.. dia masih suamiku. Dan dia masih punya hak atas diriku. Apapun yang telah ia perbuat, tidak membuat haknya hilang. Kecuali ia menalakku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
Cut Nyak Dien
ya ALLAH ndre sadar g,kata2mu itu lo,kamu bilang ilmu agamanya tinggi wong sakit lkog perginya ke orang pintar seharusnya yo ke dokter mbk2. waduh mbk selingkuhan ki emng lucu
2022-01-01
1
Fenny
katanya Sholeh, tapi ko ngono ...otak SM iman nya kalah SM omongan bualan perempuan yg suka berkunjung ke dukun ...ck..ck..ck..
2021-11-01
1
Lilis Lestari
katanya bagus agamanya kok ke org pintar.
2021-10-30
1