Aku memutuskan untuk untuk mengunjungi rumah adikku. Mimpi semalam kuanggap pertanda agar aku curhat ke adikku.
"Assalamu'alaikum!" aku mengetuk pintu rumah adikku dan mengucap salam.
"Waalaikumsalam!" sosok adikku muncul dari balik pintu. Wajahnya mengurai senyum. Hatiku seketika teduh melihat senyuman itu. Dia adikku namun ia selalu bersikap dewasa melebihi aku. Segera aku menghambur dan memeluk nya. Aku tak kuasa menyembunyikan kesedihan ku. Tangisku pecah begitu saja.
"Ada apa mbak?Istighfar!" gumam adikku sambil mengelus punggungku. "Masuk dan duduk yuk!" ajaknya kemudian.
Aku membiarkan dia membimbingku menuju sofa. Setelah kami duduk aku mulai menceritakan masalahku. Adikku mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali tangannya menggenggam erat tanganku. Aku bisa merasakan ia turut sedih melihat nasibku.
"Sekarang apa yang akan mbak lakukan?" tanya adikku dengan suara serak. Aku tahu ia menahan tangis. Ia tidak mau menunjukkan kesedihannya melihat ku terpuruk begini.
"Mbak bingung dik. Jika mbak memutuskan berpisah, mbak akan kehilangan Ryan. Apalagi mas Andre bilang meski mbak mengurus cerai, ia tidak akan mengucapkan talaknya."
"Mbak.. ada sebuah cerita. Mbak mau dengar nggak?"
Aku mengangguk.
"Ada seorang wanita datang ke seorang ulama. Wanita itu menceritakan bagaimana keseharian suaminya yang membuatnya kesal dan memutuskan akan bercerai. Suaminya itu sehari-hati kerjaannya hanya bermain ponsel dan sama sekali tidak mau membantunya mengurus baik rumah maupun anak anaknya. Wanita itu tidak tahan dan memutuskan akan menggugat cerai. Mbak tahu apa yang dikatakan sang ulama?"
Aku menggeleng dan menatap penasaran menuntut adikku menyelesaikan ceritanya.
"Ulama tersebut bertanya pada si wanita tentang apa fungsi primer seorang suami? Wanita itu menjawab bahwa suami itu pemimpin keluarga, jadi harus bertanggung jawab terhadap keluarga. Tapi ternyata jawaban wanita itu salah, menurut sang ulama fungsi utama dan pokok dari seorang suami adalah ia akan menjadi tameng kita dari api neraka. Apapun yang suami lakukan jangan mengeluh, asalkan ia ridlo pada apa yang kita lakukan, maka surgalah tempat kita. Memang kedengarannya tidak adil. Suami boleh berbuat semaunya sedang kita wanita harus berjuang keras meraih ridlo suami kita. Tapi mbak jangan lupakan satu hal, kita ini amanah yang dititipkan Allah pada suami kita. Yang namanya amanah kelak pasti akan dimintai pertanggung jawaban. Jadi intinya, kita lakukan saja tugas kita sebagai istri sebaik-baiknya, raih ridlo suami. Perkara suami, biar Allah yang mengurusnya."
Aku diam mencerna semua ucapan adikku. "Jadi menurutmu aku harus menerima keputusan Mas Andre dan menjalani hidup poligami ini?"
"Mbak, keputusan ada di tangan Mbak. Aku akan mendukung apapun keputusan Mbak. Jika mbak bisa dan kuat menjalaninya, silahkan. Tapi jika mbak tidak sanggup, aku tetap akan mendukung mbak. Aku tidak bisa memutuskan apa yang baik dan tidak baik buat mbak. Tanyakan pada Allah dan diri mbak sendiri." Adikku kembali menggenggam tanganku.
"Lagipula Allah tidak akan memberi mbak cobaan ini jika mbak tidak mampu. Saat ini mungkin berat bagi mbak, karena mbak masih terkejut dan tidak menyangka kalau mas Andre yang taat beribadah itu mampu berselingkuh. Tapi dia juga manusia biasa mbak. Apalagi lingkungan mendukung untuk itu. Ini bukan hanya cobaan mbak, tapi sebenarnya ujian buat mas Andre. Dan ia gagal menjaga kesetiaannya. Poligami memang disyariahkan dan islam mbak. Tapi tidak dengan cara yang batil. Menurut mas Andre, yang ia lakukan adalah proses menuju poligami. Tapi siapapun akan bilang kalau dia sudah selingkuh sebelum memutuskan menikahi wanita itu. Jadi biarkan Allah yang meminta pertanggungjawabannya kelak. Mbak nggak usah memikirkan itu."
Mendengar nasehat adikku hatiku sedikit tenang. Adikku benar, apakah arti tuntutan dan balasanku dibanding tuntutan dan balasan dari Allah.
"Mbak puasa?" pertanyaan adikku mengagetkan ku.
"Belum." jawabku jujur.
"Kalau begitu ayo kita sarapan. Tadi aku juga belum sempat sarapan.Aku juga lagi libur"
"Suamimu sudah berangkat kerja?"
Adikku mengangguk. "Hari ini banyak barang datang. Ia sengaja berangkat pagi-pagi sekali."
Aku tersenyum. Suami adikku ini bekerja sebagai tukang panggul barang. Ia akan mengangkat dan menurunkan barang. Sedangkan adikku punya usaha loundry di rumah. Kehidupan mereka sederhana. Tapi tentram.
"Aku bangga padamu dik. Kamu bisa mewujudkan rumah tangga yang tentram." kataku sambil duduk di meja makan. Adikku tersenyum
"Kami tidak punya banyak keinginan mbak. Kami selalu memohon agar keinginan Allahlah yang menjadi keinginan kami."
Aku mengangguk beberapa kali. "Kamu beruntung memiliki suami seperti Arif."
"Alhamdulillah, mbak. Mbak juga akan mendapatkan keberuntungan yang sama. Aamiin."
Aku tersenyum kecut. Aku ingat dulu orang tua dan saudara saudaraku sangat memuji suamiku. Suamiku tampan, baik dan sholeh. Keluarga ku adalah keluarga sederhana. Mereka tidak memandang dan menilai orang dari pekerjaan dan hartanya, melainkan dari ahklak dan karakternya. Itulah kenapa saat aku memutuskan untuk memilih Mas Andre untuk menjadi pendamping hidupku, mereka tidak protes sama sekali. Status Mas Andre yang sudah menduda saat itu tidak membuat penilaian mereka berkurang. Yang mereka lihat adalah ketaatan Mas Andre. Apa yang akan ibuku katakan saat tahu Mas Andre menduakan aku dengan jalan dan cara semenyakitkan ini.
"Sudah, makan saja. Jangan terlalu dipikir. Dunia memang begini. Tempat susah, sedih, gembira, capek. Tapi nggak ada yang kekal di dunia ini. Kesedihan mbak juga. Kelak pasti akan hilang. Sabar."
Aku kali tersenyum dan mencoba menyuap makanan ke mulutku. Masakan sederhana adikku terasa nikmat di lidahku. Mungkin ini yang dinamakan berkah. Adikku yang selalu pandai mensyukuri apapun yang ia terima dan menjalaninya dengan penuh kesabaran.
"Mbak!"
"Ya."
"Apa mbak berencana menceritakan masalah mbak pada ibu dan keluarga kita yang lain?"
"Aku tidak tahu. Tapi untuk sekarang ini, aku akan merahasiakannya dulu. Ibu sedang sakit. Aku tidak mau membuatnya lebih sakit."
"Betul itu mbak. Sebaiknya dirahasiakan dulu. Ceritanya nanti kalau memang haria dan perlu."
Setelah berbincang dengan adikku, aku merasa sedikit plong. Ada secercah cahaya yang menyinari hatiku.
Jika Allah menganggap aku mampu menjalani ini semua, maka aku akan bersabar dan terus meminta kekuatan padanya.
Aku melangkah menuju kantor tempatku bekerja dengan wajah cerah. Aku tidak akan membiarkan kesedihan terus mengungkungku.
"Hai Bray!!" suara cempreng khas Dewi temanku mengagetkanku begitu aku memasuki ruangan tempat kerjaku.
"Kebiasaan deh. Ngagetin." omelku. Dewi nyengir.
"Di cari pak bos tuh!" katanya.
Aku mengerutkan alisku, "Ada apa?" tanyaku penasaran.
Dewi mengangkat bahunya, "Tau.. kangen mungkin." jawabnya asal.
Kulempar bolpen kearahnya untuk menanggapi jawaban konyolnya itu. Dewi ngangkak melihatku kesal.
Aku menarik nafas sebelum mengetuk pintu ruangan bosku.
"Masuk!" suara bosku dari dalam ruangannya.
"Assalamu'alaikum, pak!" salamku.
"Wa'alaikumussalam." jawabnya. "Duduklah!" tutau bosku.
Aku duduk di sofa yang ada di ruangan bosku itu. Bosku berdiri lalu melangkah dan duduk di depanku. Matanya menatap tajam ke arahku membuatku salah tingkah.
"Ada apa ya pak?" tanyaku.
"Kamu yang ada apa?" jawabnya masih dengan meneliti wajahku.
"Maksud bapak?" aku justru bingung.
Bosku yang juga mantan teman sekolahku itu mengulurkan tangannya ke wajahku. Aku menarik wajahku menjauh.
"Pak, tolong jaga sikap bapak." hardikku.
"Matamu kenapa sembab? Terus kamu sakit mendadak. Kamu kenapa?Ada apa dengan kehidupan rumahan tanggamu?"
Aku kaget saat dia menanyakan rumah tangga ku. Ku beranikan diri menatapnya. Dia tersenyum.
"Aku tahu. Aku tahu semuanya." katanya masih dengan wajah tersenyum. Senyum sedih dan iba.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
Cut Nyak Dien
apakah sibos itu syuka?
2022-01-01
0
Botte Chizzy
ceritanya bagus tapi up nya yg gak bagus terlalu lama
2021-08-25
2
☘️ gιмϐυℓ ☘️
Kalo ga salah,itu nasehat dari Alm.KH.Maimun Zubair ( Mbah Mun) bener nggak thor?
2021-08-25
3