"Mau mampir dulu?" tanya Jenna pada Raka saat mereka sampai di rumah.
"Boleh," jawab Raka lalu membuka pintu mobilnya.
Memasuki rumah yang sepi menjelang malam, Raka duduk di sofa ruang tamu. Rasanya sudah satu bulan dia tak menyambangi rumah ini, hubungannya semakin lama semakin jauh dari kata harmonis karena kesibukan yang ia lakukan.
"Mama pergi ternyata, Abang belom pulang ... kamu mau minum apa?" tanya Jenna.
"Gak usah," ujar Raka, ia menyandarkan kepalanya di sandaran sofa, menepuk sisi sofa agar Jenna mendekat.
"Apa?" tanya Jenna yang ikut menyandarkan kepalanya di sofa.
"Sudah lama kita gak berduaan begini ya," ucap Raka.
Jenna menoleh, "kesibukan kamu yang bikin kita udah gak pernah lagi berduaan."
Mereka terdiam, Raka meraih tangan gadis itu mengecupinya seakan menyalurkan rasa rindu di hatinya. Jenna terlalu baik untuk di sakiti, mungkin bukan kata menyakiti karena orang ketiga tapi menyakitinya karena mereka tak mempunyai waktu bersama.
"Aku gak bisa ninggalin kerjaan aku Jenna, kamu tau sendiri perusahaan ini baru saja berkembang, aku banyak memeras keringat untuk mencari investor dan sesama pengembang." Raka menyematkan rambut Jenna, "aku takut lama-kelamaan kamu bakal ninggalin aku," lirih Raka.
Pagutan itu begitu lembut, Jenna merindukannya. Raka kekasih yang baik, namun saja terkadang ego dan ambisinya terlalu berlebihan. Meski dari keluarga berada, pria 28 tahun itu punya mimpi sendiri untuk usahanya. Dia berharap Jenna mengerti, sayangnya saat Jenna mengerti tentang diri dan kesibukannya, Raka ragu akan hatinya, ia takut akan menyia-nyiakan Jenna. Gadis itu terlalu baik untuk dilukai.
"Aku kangen," ujar Jenna.
Raka mengangguk,ia mengusap bibir Jenna. "Aku tau, tapi aku harus apa? aku gak mau ninggalin kamu ... tunggu aku sedikit lagi, aku ingin cita-cita aku ini tercapai," ujar Raka lalu menyesap kembali bibir gadis itu.
"Aku pulang ya ... sebelum berangkat besok, aku pastiin ketemu kamu dulu ... aku sayang kamu," ujar Raka membawa Jenna ke dalam dekapannya.
"Cepat pulang, aku tunggu kamu." Jenna mendekap erat kekasihnya.
...----------------...
Dua minggu berlalu semenjak terakhir kali Jenna bertemu dengan Raka, selebihnya hanya sekedar telpon atau pun chat, itupun satu hari hanya sekali atau sama sekali tidak. Terkadang Jenna bertanya pada hatinya, apakah dia yang terlalu cuek atau Raka yang memang sudah tak lagi memikirkan hubungan ini.
Sore itu, Jenna berada di sebuah coffe shop dia menunggu Raka yang berjanji akan datang setelah dirinya sampai di bandara hari itu.
Satu jam berlalu, Raka belum juga mengabarinya sedangkan gawai lelaki itu masih tak dapat di hubungi. Sementara, sang Mama sudah beberapa kali menghubunginya menanyakan kapan pulang.
"Halo," ujar Jenna saat nama yang ditunggu-tunggu akhirnya nampak di layar gawainya.
"Kok diem?" tanya Jenna.
Hembusan nafas Raka terdengar kasar. "Kamu udah di rumah?"
"Aku masih nungguin kamu di sini." Jenna seakan mengerti akan seperti apa nasibnya sore itu.
"Aku minta maaf, hari ini aku gak jadi pulang ... meeting dadakan tadi, ini baru selesai."
"Jadi kamu masih di Jakarta? Dan aku nunggu kamu di sini sudah satu jam lebih tanpa kabar!"
"Jenna ... aku minta maaf," kata Raka sungguh-sungguh.
"Aku bisa apa? aku mau marah ... percuma, ya kan? aku kecewa sama kamu ...." Jenna menutup sepihak pembicaraan mereka.
Kesal sudah rasa hati, sudah tak mampu lagi ia menahan rasa sakit hatinya. Hubungan jarak jauh ini benar-benar membuat Jenna jenuh. Jenna memijat keningnya, Raka tak berhenti menghubunginya namun, Jenna memilih untuk tidak mengangkat telpon itu.
Mengaduk-aduk secangkir kopi, pandangannya menatap keluar jendela. Coffe shop itu mengarah langsung ke alun-alun kota yang ramai dengan pasar malamnya di sana. Jenna menggulir layar gawainya, mencari nama Akbar sang kakak agar menjemputnya.
Satu sosok yang tak asing memperhatikannya dari kejauhan, pemilik coffee shop yang memakai appron itu ikut melayani pembeli. Matanya tak lepas dari Jenna, ada garis kecewa di wajah gadis itu. Raut wajah kesepian seolah membutuhkan teman hanya untuk berbagi segala resah.
Dimana lelaki yang saat itu menemaninya? pikir Radit.
"Udah samperin ... kasian sendirian," kata Ellen mengagetkan Radit.
"Cantik tapi kesepian, kasian ya."
"Gue juga kesepian Bos," ujar Ellen cemberut.
"Kalo itu lo yang buat sendiri, salah siapa malah lo tinggalin," jawab Radit melepaskan appron yang melekat di tubuhnya.
"Mo kemana?" tanya Ellen saat Radit membawa secangkir kopi latte melangkah menjauh dari dirinya.
"Tadi lo bilang suruh samperin," ujar Radit menoleh ke belakang tanpa melihat ke arah depan.
"Awas itu ... nabr---" seru Ellen saat melihat Radit berbalik dan kopi di cangkir yang ia pegang membasahi seragam kerja Jenna saat tubuh mereka saling bertabrakan.
"Astaga ... ya ampun, sorry," ujar Radit meletakkan cangkir tadi, lalu segera mencari tisue. "Maaf ... maaf, aku gak sengaja ... sebentar," ujar Radit melangkah cepat menuju meja bar dan membesarkan bola matanya pada Ellen.
"Udah gue bilang tadi Bos, awas ... lo main tabrak aja," kata Ellen menahan tawanya.
"Tisue ... gue butuh tisue, cepet!" Radit setengah berbisik.
Lalu dia kembali lagi ke arah Jenna yang sedang membersihkan sendiri tumpahan latte di bajunya.
"Butuh tisue?" Radit menyodorkan tisue pada Jenna.
Jenna meraih tisue itu dan menepuk-nepukkan perlahan pada bajunya. "Gak papa kok, nanti di cuci juga hilang," ujarnya.
"Kita ketemu lagi," kata Jenna mengukir senyum di wajahnya.
"Masih inget?"
Jenna mengangguk.
"Na," seru seorang lelaki di depan pintu masuk.
"Abang ... tunggu sebentar." Jenna menyerahkan sisa tisue pada Radit. "Ini, makasih ya ... kapan-kapan ketemu lagi," ujar Jenna lalu melangkah meninggalkan Radit yang terpaku dengan cara gadis itu yang selalu tergesa-gesa pergi meninggalkannya.
"Keduluan lagi dah," seru Ellen cekikikan.
"Bawel lo, bukannya bantuin," kesal Radit.
"Ada saatnya gue turun tangan nanti Bos," kata Ellen menarik turunkan alisnya.
"Asli ... gue penasaran Len, itu cewek di wajahnya itu kayak tertekan gitu ya padahal kalo senyum manis, matanya bagus ... cantik, tapi gue ngerasa dia kayak gak bebas gitu ... iya gak sih?" Radit menoleh pada Ellen.
"Mana gue tau Bos, kan gue belom kenal, gue juga gak bisa baca mimik wajah orang kayak lo yang bisa baca wajah ataupun sifat orang tetapi akhirnya ...."
"Dah lah ... susah ngomong sama lo mah, itu pelanggan makin banyak yang dateng ... urusin kasih tau anak-anak yang maksimal kerjanya, kan kita masih dalam masa promo ... oh ya gue tunggu laporan lo satu bulan ini." Radit berlalu dari hadapan Ellen, Ellen yang notabenenya sepupu jauh itu pun hanya bisa menuruti titah atasannya dan saat dia sudah masuk ke dalam ranah pribadi sang atasan maka yang ada Radit akan selalu berlalu.
**enjoy reading 😘
buat temen-teman yang sudah ngikutin Chida dari karya pertama hingga akhir pasti udah ngerti banget alurnya akan terkesan santai... semoga dapet feel nya sembari mencari chemistry diantara kita 😂**
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
Erni Fitriana
slur cerita chida asik...serasa nyata
2023-03-15
0
EndRu
enak banget dibaca kak Chida
2023-02-24
1
Anggraini Gita ✔
mas radit makin penasaran 😁😁😁
2022-04-16
1