Kawin Lari
Sinar matahari menyeruak masuk melalui celah tirai jendela pagi itu. Gadis itu baru saja selesai membersihkan dirinya dan bersiap untuk memulai aktivitasnya hari ini. Meraih setelan seragam sebuah bank swasta ternama di Indonesia, tak lupa stoking berwarna hitam menghiasi kaki jenjangnya.
Gadis itu melangkah keluar kamar saat dirasa sudah cukup dirinya berlama-lama menghadap kaca besar di kamarnya. Turun ke lantai satu rumah yang tidak terlalu besar, menuju ruang makan dimana sudah terdapat sepasang suami istri dan seorang lelaki tampan yang sudah menunggunya di sana.
"Pagi Ma, Pa ... Pagi Bang," ujarnya menarik kursi untuk bergabung dengan ketiga anggota keluarganya.
"Pagi Na ... kemarin kenapa pulang setelah magrib?" tanya sang mama seraya mengambilkan sepiring nasi goreng dan telur mata sapi untuknya.
"Ada meeting mendadak menjelang pulang ... aku juga lupa kasih kabar," jawabnya.
Ya, keluarga ini sangat kaku menurutnya. Terlahir dari keluarga yang terbiasa dengan berbagai macam aturan. Semua harus terencana, dari hal kecil maupun besar. Seorang anak dari ayah yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil dengan jabatan yang bukan main-main mengharuskannya untuk menjaga nama baik keluarga. Mempunyai seorang ibu yang mengagungkan nama keluarga besar yang masih keturunan ningrat mengharuskan dirinya untuk bertingkah laku dan bertutur kata yang baik. Dan seorang kakak satu-satunya yang seharusnya menjadi tempat ia berlindung dan menjadi teman saat ia membutuhkan, namun itu harus dia kubur dalam-dalam.
"Mau bareng gak ke kantor?" tanya Akbar saat dia sudah menyelesaikan sarapan paginya.
"Aku di jemput Raka, Bang ... Abang duluan aja."
"Tumben Raka jemput kamu, lagi ada di sini dia?" tanya Raka lalu berdiri.
"Baru pulang dari Jakarta kemarin."
"Oh, oke ... Akbar berangkat Ma, Pa," ujar lelaki berumur 32 tahun yang masih sendiri itu.
"Kalo pulang sampai magrib, biasakan untuk kabari Mama atau kakak kamu, Na ... jadi kita di rumah juga gak khawatir."
"Mama sama Papa tenang aja, Jenna bisa jaga diri." Jenna lalu beranjak, meraih tas dan gawainya saat klakson mobil Raka sudah berbunyi di luar sana. Mengulurkan tangannya memberi salam dan berpamitan pada kedua orangtuanya.
"Jenna selalu bisa menjaga nama baik keluarga kita Ma, kamu jangan terlalu mengekang dia ... empat tahun dia menuntut ilmu di Jakarta dulu, dia berhasil menjadi seperti yang kamu mau," ujar Pak Sofyan lalu meletakkan gelas yang baru saja ia habiskan isinya.
Ibu Kartina hanya terdiam, selama ini ia selalu menentukan kehidupan putrinya, termasuk hubungan Jenna dan Raka adalah hasil dari proses perkenalan yang di atur olehnya. Nasib baik keduanya sama-sama jatuh cinta saat itu mungkin hingga sekarang.
"Hai," sapa Jenna saat masuk ke dalam mobil Raka.
"Hai," jawab Raka mencium pipi kekasihnya.
"Seneng banget liatnya?" tanya Jenna meletakkan tasnya ke jok belakang.
"Seneng dong, liat pacar aku tambah hari tambah cantik," ujar Raka menarik hidung mancung gadis itu. "Nanti sore ke coffee shop yuk, ada coffee shop baru dekat alun-alun," kata Raka lagi.
"Ijin Mama dulu," ujar Jenna mengusap layar gawainya.
"Gak ijin juga gak papa aku rasa, mama kamu udah tau kan aku ada di sini?" Jenna mengangguk. "Nanti sore aku jemput, kita langsung kesana." Raka menghentikan mobilnya tepat di depan lobi kantor Jenna.
"Aku kerja dulu," ujarnya tersenyum pada Raka.
...----------------...
Tepat pukul empat sore, lelaki dengan postur tubuh tegap, dengan tinggi badan 187cm itu baru saja menjejakkan kakinya di Bandar Udara Depati Amir, rencananya sore ini adalah grand opening salah satu coffee shop yang ia miliki.
"Mau langsung ke coffee shop atau mau lihat rumah dulu, Mas Radit?" tanya pak Supri yang di tunjuk untuk menjadi supir pribadinya.
"Saya mau lihat rumahnya dulu Pak ... sesuai yang saya minta kan?" tanyanya.
"Sesuai yang Mas Radit minta, mbak Ellen sudah memberikan kuncinya pada saya."
"Ok ... kita liat dulu, setelahnya mungkin Pak Supri bisa temani saya mencari perabotan," ujar Radit lagi.
"Perabotan sudah di isi semua oleh mbak Ellen, Mas ... jadi Mas Radit tinggal masuk saja, semua sudah lengkap," ujar lelaki setengah baya itu.
"Oh baguslah ... berarti Ellen memang bisa andalkan," gumamnya.
Mobil melaju ke salah satu cluster minimalis di daerah Bangka. Kota itu tidak terlalu besar, namun di pilih Radit untuk menjadi tempat tinggalnya setelah Jakarta, sekaligus memperluas cabang usahanya.
"Silahkan Mas," ujar pak Supri mempersilahkan majikannya untuk masuk.
Terlihat bersih, sentuhan scandinavian seperti yang ia minta terlihat di sana. Hanya terdiri dari tiga kamar, satu kamar utama di lantai satu dan dua kamar di lantai dua. Lantai yang terbuat dari bahan finil dan ornamen kayu yang identik dengan scandinavian dari ruang tamu hingga ke dapur serta beberapa tanaman hijau menghiasi di sudut-sudut ruangan. Menuju kamar tidur utama, semua sudah tertata rapih, ia hanya tinggal merapikan baju-bajunya nanti di lemari.
"Di lantai dua, satu kamar dijadikan ruang kerja Mas Radit," ujar Pak Supri lagi.
Radit melangkahkan kakinya menaiki anak tangga ke lantai dua, membuka satu kamar yang sudah rapih dengan perabotan yang sudah lengkap. Lalu beralih ke kamar yang dikhususkan untuk menjadi ruang kerjanya.
"Perfect," gumamnya. Ellen benar-benar tau seleranya.
"Kita ke coffee shop sekarang Pak Supri, jarak dari sini ke sana berapa lama?" tanya pada pak Supri.
"Sekitar setengah jam kurang lebih, tapi jangan takut di sini gak ada macet Mas ... lancar jaya." Pak Supri menyatukan jari telunjuk dan jempolnya membentuk huruf O.
Coffe shop itu sudah ramai pengunjung, ini adalah coffee shop ke enam milik Radit yang tersebar di Indonesia, salah satu coffee shop yang menjadi tempat nongkrong anak muda jaman sekarang.
"Apa kabar Ellen?" ujarnya saat Ellen menautkan pipinya pada Radit.
"Baik Mas Radit ... gimana, suka rumahnya?" tanya Ellen sang assisten pribadi.
"Pinter kamu ... tumben pas dengan yang aku minta."
"Kerja sama Mas Radit dua tahun masa gak ngerti mau bosnya kayak apa," kekeh Ellen, wanita bertubuh bongsor itu memang pintar dalam segala hal.
Mata Radit tertuju pada pasangan kekasih yang duduk di ujung ruangan. Gadis dengan mata seperti kucing, berkulit putih, dengan rambut yang di cepol masih tertata rapih, kaki jenjangnya berbalut stoking hitam, dengan stiletto 5cm berwarna senada, seragam salah satu bank swasta terbesar itu masih ia kenakan. Sedangkan pasangannya, asik menggulir gawainya tersenyum sendiri mengacuhkan gadis cantik yang ada disisinya.
"Aku ke toilet dulu," ujar Jenna berdiri dari duduknya.
"Aku temenin?" tanya Raka.
"Gak usah ... kamu terusin aja chating nya," kata Jenna datar menampakkan wajah tak suka.
Jenna melangkah ke arah toilet, sedangkan Radit secara kebetulan juga melangkah ke arah yang sama.
"Oh sorry," ujar Radit ketika dia menghalangi Jenna untuk masuk ke woman's room.
"Gak papa, aku yang gak liat ... maaf, salah kamar," ujar gadis itu tersenyum.
Mata yang indah itu seketika membuat Radit seakan tertembak di tempat.
"Silahkan," ujar Radit memberi jalan pada Jenna.
"Makasih." Lagi-lagi gadis itu tersenyum, sepertinya memang gadis yang murah senyum.
Jenna kembali ke tempat duduknya, matanya tak sengaja bertemu pandang dengan Radit, lagi-lagi gadis itu melempar senyum.
"Siapa?" tanya Raka, namun Jenna hanya mengangkat kedua bahunya. "Kamu kenapa sih dari tadi diem aja?"
"Harusnya aku yang ngomong gitu sama kamu," ucap Jenna dengan wajah yang dingin.
"Kenapa aku?"
Jenna menggeleng, "kamu yang ngajak aku kesini, tapi kamu juga yang nyuekin aku, sibuk sama hp kamu, asik banget kayaknya ... lebih asik dari aku kan, yang kamu ajak chat itu? iya?"
Jenna beranjak, melangkah menuju pintu keluar meninggalkan kekasih yang dua minggu sekali menemuinya itu selebihnya hanya telpon, chat dan video call, dan rasa bosan pun selalu melanda. Kalo bukan karena sang mama mungkin sudah lama ia pergi dari Raka.
"Jenna ...." seru Raka, menyelipkan tiga lembar uang seratus ribu di bawah gelas minuman mereka, Raka mengejar gadis itu.
Radit mengamati sepasang kekasih di luar sana, menyunggingkan sedikit senyum.
"Cantik ya," ujar Ellen.
"Iya, senyumnya manis ... tapi sayang," ujar Radit.
"Kok sayang?" tanya Ellen menyodorkan satu cangkir kopi hitam tanpa gula pada Radit.
"Iya sayang ... sayang udah punya pacar," ujarnya menyesap kopi yang Ellen berikan namun matanya tak lepas dengan pemandangan di luar sana.
Haiii... ketemu lagi di karya aku yang ke ... ke sekian 🤣 semoga kalian suka... ikuti terus kisah cinta mereka ya.
Jangan lupa dukung terus Chida dengan like dan komen dari teman-teman semua 😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
sherly
novel yg ke 4 aku baca dan selalu buat candu...
2023-09-04
0
Oh Dewi
Mampir ah...
Sekalian rekomen buat yang kesusahan nyari novel yang seru dan bagus, mending coba baca yang judulnya Caraku Menemukanmu
2023-04-15
0
Erni Fitriana
i.love u novel chida....😘😘😘😘😘
2023-03-15
0