Naya berjalan ke arah Anya dengan wajah sedih, Anya hanya tersenyum miris melihatnya, jika sudah begini dirinya menjadi kasihan pada Naya.
"Udah jangan nangis, lo bisa dapet nilai bagus dengan cara lo giat belajar".
Pertanyaan beralih selanjutnya dan ini merupakan sesi terakhir, Anya kembali mendengarkan dengan serius berharap dirinya bisa menjawab dengan benar.
Jika perbedaan adalah rahmat mengapa perempuan ingin di samakan dengan laki-laki ?
Mata Anya memandang arah laki-laki di depan yang memberikan pertanyaan tersebut, ia lihat sekeliling tidak ada mahasiswa yang berdiri maupun yang ingin menjawab.
Menurut dirinya banyak orang yang tidak memahami arti setara, apalagi konsep kesetaraan gender. Menurut Anya setara bukan berarti sama.
Anya angkat tangan ia merasa ada sesuatu yang perlu di luruskan, masalah seperti ini tidak bisa ia biarkan begitu saja.
Naya yang masih menangis pun kaget melihat Anya yang mengacungkan tangannya "Nya lo mau jawab ?". Anya menoleh dan mengangguk.
"Bisa ke depan yang mengacungkan tangannya". Anya berdiri dan berjalan ke depan lapangan, ia juga melihat Devan, Ryan dan irana yang berdiri memandang dirinya.
Saat di beri waktu mic untuk menjawab Devan hanya menaikkan satu alisnya, banyak orang saling berbisik seperti meragukan jawaban dirinya, tapi Anya tidak gentar ia menoleh ke depan.
"Memperjuangkan kesetaraan gender bukan berarti menuntut perempuan untuk menjadi sama dengan lelaki, tetapi mendukung perempuan dan lelaki agar mendapat kesempatan untuk ada dalam posisi yang sejajar".
Memandang ke depan membuat Anya menjadi percaya diri, ia melihat semua orang diam dan hanya melihat dirinya yang sedang menyuarakan suaranya.
"Ini abad ke-21. Perempuan dan lelaki bisa sama-sama jadi pemimpin, bisa berbagi pendapat dan beban, bisa berada dalam spektrum feminitas-maskulinitas, harus pula bisa saling melindungi". Anya menoleh pada Malvin
Malvin, cowok tadi yang memberikan pertanyaan merasa tersinggung dengan jawaban Anya "Bukannya sebagai cowok sudah dari sananya di beri kelebihan sehingga hanya laki-laki yang layak menjadi pemimpin ?".
Semua orang beralih pada Anya, dirinya hanya mengangguk lalu menghadap lagi ke depan "Dan ini memberi laki-laki stigma dan beban juga. Harus selalu memimpin, enggak boleh nangis, harus maskulin, dan harus melindungi perempuan".
"Jujur bagi aku". Anya menambahkan gerakan tangan agar dapat menambah kesan menyakinkan "Sebagai seorang yang berpendidikan atau lebih tepatnya sebagai seseorang yang paham akan gender harus lebih membenarkan hal ini karena menurut aku ini bukan hal yang biasa".
"Gue paham, dan ga semua hal harus di suarakan di sini, gue yakin banyak orang yang akan menghargai kesetaraan walaupun selebihnya selalu mempermainkan dan menganggap itu adalah hal biasa".
Devan menyuarakan pendapatnya, membuat suasana semakin panas, setiap orang saling melirik mereka merasa ada sesuatu pada Anya "Dan lo adalah maba pertama yang ngomong panjang lebar dari panitia di sini".
"Aku ga ngomong panjang lebar, aku cuma ngomong apa yang memang harus di bicarakan".
"Terus dengan lo menyuarakan opini lo di depan sini membuat lo menjadi terkenal satu kampus, dan lo menjadi ahli debat yang handal !".
Anya menggeleng "Gue ga berharap untuk terkenal bahkan untuk di akui pun gue ga pernah berharap itu". Ucap Anya sarkas
Semua orang kaget terlebih Naya yang menyaksikan perdebatan itu hanya melongo, Anya bisa berbicara gue lo di hadapan Devan, Naya merasa Anya mencari masalah di hidupnya sudah di pastikan Devan akan naik pitam dengan perkataan Anya.
Keadaan mulai tidak terkendali, Ryan kembali memegang kendali atas ospek ini "Terimakasih untuk opini yang telah di berikan, untuk ospek hari ini sudah selesai kita bisa lanjutkan untuk hari kedua besok".
...***...
Setelah dari kampus Anya langsung pergi ke kafe tempat dirinya bekerja, saat akan pulang temannya memanggil untuk segera ke ruangan bosnya.
Anya mengetuk pintu dari dalam ruangan seseorang yakni bosnya menyuruhnya duduk.
"Maaf pa ada apa memanggil saya".
"Begini Anya cafe ini sedang ada masalah jadi saya akan melakukan pengurangan karyawan, tenang saja pesangon kamu sudah saya siapkan". Amplop berwarna coklat di arahkan kepadanya.
Memandang amplop itu ada rasa kecewa dalam dirinya tapi ia memilih untuk tersenyum "Baik pa terimakasih sudah bersedia memperkerjakan saya selama ini". Anya menerima amplop dan di balas anggukan oleh bosnya.
Keluar dari cafe ternyata malam telah menampakkan gelapnya, menyusuri jalanan sambil melihat kendaran berlalu lalang malah menambah perasaan kecewa dalam dirinya, Anya duduk di kursi pinggir jalan merenungi kehidupannya.
Sebenarnya ia bisa saja pulang pada kedua orang tuanya meminta uang lalu bermain seperti banyaknya orang lain lakukan, tapi ia ingin berdiri pada kedua kakinya sendiri, mandiri tanpa hanya meminta, Anya memandang ke sekeliling ternyata jalanan cukup sepi.
Ia tidak boleh mengeluh, menyemangati diri sendiri sudah biasa ia lakukan, keadaan tidak boleh membuat dirinya terpuruk, Anya harus sadar bahwa ada yang lebih susah keadaannya dari pada dirinya.
Anya berniat bangkit tapi kendaraan dari arah kanan berlaju dengan kecepatan penuh, dan di ujung jalan truk besar sedang menuju ke arahnya, Anya hanya bisa melihat bagaimana truk itu menyeret mobil dan menimbulkan suara decitan yang sangat keras.
Saat mendekat ke arah mobil, Anya sangat terkejut kalau yang berada di dalamnya adalah Devan, dirinya berniat pergi tapi niat itu ia urungkan karena bapak-bapak yang berteriak ke arahnya.
"Neng tolong ikut sama ambulan ya, soalnya bapak engga bisa". Ucap bapak tersebut sambil membawa anak kecil yang di bawanya.
"Maaf pa, tapi saya juga engga bisa soalnya saya harus buru-buru pulang".
"Tapi neng di sini eneng doang yang anak muda yang lain pada enggak bisa, kasian atuh neng di liat bapak anak itu seumuran sama eneng !". Anya bingung tapi keadaan terlalu mendesak membuat dirinya hanya mengangguk melihat Devan yang di masukkan ke dalam ambulance.
Dalam perjalanan membuat dirinya juga ikut merasa khawatir, darah mengalir banyak dari kepala Devan, jika begini Anya menjadi ragu masuk ke dalam fakultas kedokteran.
Ia melihat hp Devan yang berada di sakunya, Anya merasa ia harus memberitahu seseorang tentang keadaannya, saat memencet tombol handphone Anya sedikit terpaku dengan wallpaper hp tersebut di sana ia melihat Devan yang sedang bersama perempuan sambil berpegangan tangan.
Kesadarannya kembali saat tangan Devan memegang tangan dirinya, Anya melihat bagaimana tangan lembut Devan menyentuh kulitnya, dirinya kembali melihat handphone untungnya layar tidak di kunci langsung ia mencari nomor yang menurutnya layak untuk di hubungi.
Kata Bunda membuat Anya berhenti mencari lalu mulai memencet tombol telpon, sebenarnya ia cukup canggung harus menghubungi orang tua dari seorang cowok sudah mendapat sahutan dari sebrang sana membuat Anya tersadar.
"Maaf tante, saya Anya saya ingin mengabarkan kalau anak tante mengalami kecelakaan mobil dan sedang di bawa ke rumah sakit". Orang di sabrang sana berteriak kaget, Anya yakin kalau ibunya Devan pingsan karena mendengar kabar ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments