"Stoppp ..." Mentari menahan bibir Dafa yang hanya berjarak beberapa centi saja di depannya dengan telapak tangannya.
Dafa membuka mata saat mendengar suara dan telapak tangan mentari yang menghentikannya.
"A..aku belum siap, kita belum sedekat itu walaupun kita udah jadian." Sanggah Mentari.
Dafa menyadari tindakannya yang terlalu terburu-buru. Dan sesuai dugaannya Mentari bukan wanita yang mudah dia luluhkan. Tapi tekatnya sudah bulat dia harus mendapatkan Mentari sepenuh hatinya.
"Sorry .. aku terlalu Lancang dan hanyut terbawa suasana." Ucapnya menyesal.
"Hemm."Mentari mengangguk dan menatap pria di depannya itu.
Drtttt....Drttt...
Getaran pada ponselnya memecah kegugupan di dalam mobil itu.
"Iya ... mang? aku udah di parkiran di dalem mobil temen. Mang Unang di tempat biasa kan? iya aku ke sana!" begitulah percakapan yang Dafa dengar dari Mentari.
"Aku harus pulang sekarang, jemputan ku dah di parkiran!" Mentari hendak membuka Kemeja Dafa yang memeluk tubuhnya menghalangi bayangan keindahan di dalam sana.
"Nggak usah, pake aja dingin!" Dafa menghentikan gerakan Mentari yang akan melepaskan Kemeja itu.
"Ok .. aku pinjem dulu ya, ntar aku balikkin ." Pintanya dengan mata bulat indah dan senyum manisnya ke arah Dafa
Dafa hanya menjawabnya dengan anggukan.
"Aku pulang ya.." Mentari membuka pintu mobil Dafa lalu keluar dan berlari di tengah hujan menuju mobil miliknya.
"iya.. hati-hati, nanti aku hubungi kamu ya?" Dafa setengah berteriak pada Mentari.
Mentari hanya mengacungkan jempol sambil berlari di tengah guyuran hujan.
"Gue harus dapetin lu sepenuhnya." Dafa berucap sambil menatap Mentari yg semakin menjauh.
*
"Ya Tuhan , jantungku. hampir aja my first kiss kuu," ucapnya sambil memegang dadanya mengatur nafas dan mengusap-usap wajahnya.
"Maaf neng tadi di jalan ban mobil pecah, mamang lupa nggak bawa ganti." sesalnya meminta maaf. Membuyarkan kegugupan yang dia rasakan.
"Iya , nggak apa-apa mang, lagian aku ada temen yang nemenin." jawabnya "Jadi aku bisa pacaran!" batinnya terkekeh,
"Saya cuma takut neng Chaca nunggu terus bapak khawatir." Ucapnya panik
Helaan nafas yang terasa sesak mentari hembuskan.
"Aku malah seneng mamang telat, aku juga butuh bergaul mang!" lirih Mentari.
"Wah .. nggak berani saya neng sama bapak sama Abang langit."
"Yang dulu aja saya ampir di pecat neng!" Mengingat kejadian beberapa tahun lalu ketika Mentari kabur saat SMA.
Mentari hanya memandang jenuh keluar jendela, berpikir kenapa dia di perlakukan begitu ketat oleh ayah dan abangnya.
Mang Unang melihat perubahan raut wajah dari anak majikannya itu.
"Bapak sama Abang sayang banget sama neng, takut terjadi hal buruk sama neng, dengan pergaulan jaman seperti sekarang. Kalo menurut mamang itu benteng perlindungan yang wajar." ujarnya mengutarakan pendapatnya
"Wajar apa mang? Aku kayak yang di rantai, apapun nggak boleh. Umur segini mereka memperlakukan aku kayak anak SD." Gerutunya
"Sabar neng.. demi kebaikan. Bapak pasti menginginkan yang terbaik." mang Unang tersenyum menatapnya di kaca spion.
*
"Neng Chaca kehujanan?"mbok Tini menyambutnya di pintu garasi.
Pandangan Mentari tertuju pada mobil Abang langitnya, yang jarang sekali pulang sebelum ayahnya tiba.
"Abang udah pulang mbok?" Tanya Mentari ketika melewati mobil abangnya.
"Udah neng , kayaknya Abang neng sakit udah pulang dari jam dua terus minta air anget , sampai sekarang belum keluar kamar!" Jelas Mbok Tini.
Mentari segera berlari ke arah kamarnya, bergegas mengganti baju nya yg sedikit basah dengan kaos rumahan.
"Klekk.." Dia membuka pintu kamar abangnya setelah mengetuk namun tak juga mendapat jawaban.
"Bang.. Chaca masuk ya?" Mentari masuk perlahan ke kamar sang Abang.
Terlihat langit meringkuk dengan masih mengenakan stelan kerja, wajahnya pucat keningnya mengkerut.
"Abang..?" panggilnya lagi.
Mentari mengulurkan telapak tangannya menyentuh kening langit.
"Nggak panas!" Gumamnya.
Langit merasakan pergerakan seseorang.
Dia membuka matanya perlahan. Dia meringis memegangi perutnya.
"Abang.. lambungnya kumat?" Tanya mentari melihat pergerakan Langit.
Hanya di jawab dengan anggukan.
"Mau makan? atau mau aku bikinin sesuatu?" tawarnya.
"Abang pengen buburnya bunda, bubur yang suka bunda buatin kalo kita lagi sakit!" Ucapnya lirih dengan posisi masih meringkuk.
Mentari mengembuskan nafasnya, dia sama sekali tidak tau seperti apa rupa dan rasanya bubur buatan bunda yang abangnya inginkan.
Mentari melangkahkan kakinya ke arah lemari mengambil satu buah kaos rumah dan celana joget untuk baju salin abangnya itu.
"Ganti baju dulu bang, nanti aku coba buatin!"
*
Mentari keluar dari kamar abangnya itu. Dia mengambil ponselnya dan menghubungi Bintang.
"Halo kak.. Abang sakit, dia minta di buatin bubur bunda , aku benar-benar nggak tau rasanya kayak gimana!" Mentari berbicara sambil langkahnya menuruni tangga menuju dapur.
"..
"Oh.. ya udah aku coba tanyain ke mbok Tini."
lalu panggilan pun berakhir.
"Mbok... mbok.." panggilnya.
Asisten rumah tangga yang sudah mengabdi puluhan tahun bahkan sebelum Mentari lahir, datang tergopoh-gopoh menghampiri neng cantik majikan kesayangannya .
"Iya neng?" tanya nya
"Abang sakit mbok, pengen bubur yang suka bunda buatin." Mentari mendudukkan tubuhnya di meja makan.
mbok Tini seperti berpikir keras, "yang mbok tau cuma campuran nasi sama suiran ayam di kasih telur rebus, tapi bibi nggak pernah bikin, selalu ibu yang bikin. kalo anak-anak sakit ibu nggak mau anak-anaknya di rawat orang lain selain beliau." Terangnya panjang lebar.
"Aku coba bikin mbok bantuin ya! Tau kan aku nggak bisa masak!" tawanya miris.
Setelah hampir satu jam bergelut di dapur bubur yang dia buat dengan petunjuk dari Bintang dan mbok Tini pun jadi.
"Semoga sesuai buatan bunda, aku nggak tau sama sekali rasa dan bentuknya kayak gimana!" Lirihnya menata bubur itu di atas nampan.
Mbok Tini mengelus punggung Mentari seraya menguatkan, anak majikannya ini.
*
"Bang.."
Mentari masuk ke kamar terlihat Langit keluar dari kamar mandi dengan mengusap bibirnya yang basah, badannya berjalan sedikit membungkuk menahan rasa sakit di perutnya.
Langit kembali merebahkan tubuh lemasnya di kasur , lalu mentari ikut duduk di pinggir Langit sambil mengangkat mangkuk berisi Bubur.
"Abang muntah?" tanyanya
Langit mengangguk pelan.
"Fix ini mah Abang lambung nya kumat." ujarnya.
Mentari membantu langit untuk duduk bersandar di kepala ranjang.
"Kayak gini bukan bubur bunda? asli kak aku nggak pernah tau rasa ama bentuknya. ini dengan petunjuk kak Bintang sama mbok Tini!"
"Aku kan yang paling minim kenangan dari Bunda!" Seketika matanya memanas hatinya sakit , seandainya bundanya masih tetap bersama mereka mungkin dirinya tidak akan di kekang se kencang ini.
Tangis pun pecah, Mentari ingin sekali merasakan kasih sayang bundanya itu, ingin punya teman curhat, teman berbagi kisah wanita. Dia teringat ketika dia mendapatkan haid pertamanya saat SMP dulu, mbok Tini lah yang mengajarkan dan memberi tahu apa saja yang harus Mentari lakukan.
"Aku juga pengen punya bunda kayak yang lain, ingin bercerita, ingin curhat, ingin belanja bareng, ingin nongkrong di cafe, itu impian Chaca." Mentari berkata sambil sesenggukan.
Langit seperti tertusuk jarum, hatinya sakit mendengar ungkapan adik kesayangannya.
Dia menarik Mentari ke dalam pelukannya.
"Kamu kesayangan kita semua, cerita apapun yang kamu rasakan, kita siap menggantikan peran bunda!" bisiknya mengelus punggung Mentari.
"Beda... aku ingin sosok Bunda, emang kalian bisa di ajak bahas masalah perempuan?" tanyanya.
"Kita nggak tau masalah ayah sama bunda apa? yang jelas bunda pernah beberapa kali mau menemui kita, tapi ayah marah besar dan mengusir bunda." terangnya sambil melepas pelukannya pada Mentari.
"Udah .. Abang laper!" Ucapnya mengalihkan kesedihan adik perempuannya itu.
Langit menerima suapan bubur dari Mentari, matanya melotot menatap Mentari.
"Nggak enak ya bang? maaf... ini kan pertama aku masak!" sesal mentari.
"Bukan...bukan nggak enak, justru ini mirip banget sama bubur buatan bunda!"
"Bener kamu yang masak?" tanyanya
"Iya , Chaca yang masak dengan instruksi mbok Tini, dan kak Bintang." Ucapnya penuh kebanggaan.
"Wahh... ada tangan bunda di sini!" Langit mengambil tangan mentari dan mengecup nya.
Air mata kembali jatuh di pipi Mentari.
"Bunda orang nya seperti apa bang? aku lupa , kayaknya aku nggak tau wajahnya kalo nggak liat foto bunda yang aku simpen di laci meja nakas ku. aku ambil di kamar ayah waktu itu!" Bisiknya sedikit tersenyum jail.
"Bunda sama kayak kamu, persis ampir kembar. cuma bunda lebih cantik." godanya.
Mentari mencebikkan bibirnya sebal.
"Asli serius bunda cantik banget, seneng masak, penyayang banget, dan ya gitu ayah nggak ngebolehin bunda beraktivitas kayak kamu, dan suatu hari ayah sama bunda berantem dari pagi sampai sore, hingga akhirnya bunda pergi. Asalnya bunda mau bawa kamu, Tapi ayah melarang dan bahkan menampar bunda." Terangnya panjang lebar sambil membayangkan kejadian dua puluh tahun yang lalu yang masih tertata rapih di memory nya bagaiman kejadian yang mengawali kehancuran orang tuanya.
"Pasti lah.. bunda pergi, aku juga sebenarnya pengen kabur!" Ucapnya spontan.
"Eh.. Mentari menyadari kesalahannya berucap.
"Apa kamu bilang dek?" Langit melototi nya.
"Becanda bang!" cengirnya.
"Dah lah aku mau ngerjain tugas dulu, minum obatnya bang, batu tidur!" Mentari bangkit dan berlalu ke bawah membawa nampan berisi mangkokll kosong ke dapur.
Terdengar suara bariton milik ayahnya di teras rumah.
Mentari langsung berhambur ke luar.
"Ayah... dah pulang?" Mentari menyalami pria paruh baya namun masih gagah tersebut.
"Kamu kenapa? Ayah liat happy sekali? biasanya mesti ayah panggil- panggil kalo pengen ketemu!" Di cium pucuk kepala putri satu-satunya itu sambil menggiring masuk.
Di ikuti di belakang Bintang yang juga baru pulang, melewati ayah dan adiknya yang berjalan saling bergandengan tangan.
"Misii.... duluan ya!" Godanya sambil menjitak kepala Mentari.
"Awww...ayahh kepala Chaca sakit." Adunya sambil mengusap Kepalanya.
"Kebiasaan kalo udah jail ke adik kamu!" bentak ayah memukul tangan Bintang yang dia kejar.
Mentari hanya tertawa puas melihat ayah yang membalas dan membelanya.
"Bener kata mereka , ayah emang sayang pake kebangetan sama aku, posesif nya emang ungkapan kasih sayang dan cara beliau melindungi aku!" Batinnya
Mentari kembali menggandeng ayahnya, sambil melewati Bintang yang sedang mengusap tangannya yang di pukul sang ayah.
"Sukuuurr." ledeknya
"Ayah kita makan yuk.. aku dah laper."
ucapnya manja.
"Ayah mandi dulu bentar ya, Abang dah pulang? panggil gih.. kita makan bareng."
"Abang sakit yah, biasa lambungnya kumat, udah aku buatin bubur kayaknya dah tidur deh!" jelasnya
"Kamu bisa masak sayang?"tanya ayah tak percaya.
"Iya...yah coba-coba , tapi kata Abang enak!" ucapnya bangga.
"hilihh... mana ada orang yg bangga bikin bubur doang?"
"Bin..."geram ayah karena bintang terus saja menggoda Mentari.
"Masih ada nggak buburnya dek?" ayah bertanya.
"Ada yah.. ayah mau nyoba?" tanya Mentari antusias
"Boleh.." jawabnya sembari masuk ke dalam kamarnya.
*
*
Kini mereka sudah berada di meja makan.
semangkuk bubur buatan mentari sudah di depan sang ayah, Ayah hanya terdiam menatap bubur yang memang tak asing baginya.
"Cobain yah.." pinta Mentari.
Satu suap berhasil masuk dalam mulut ayah.
Namun beliau langsung terdiam ,dan terus menyuapkan bubur tersebut hingga tandas tak tersisa.
Namun yang membuat Mentari dan Bintang merasa aneh , dengan diam nya ayah tanpa sedikitpun suara yang keluar.
Ayah beranjak dan berlalu begitu saja, masuk ke dalam kamar.
"Ayah kenapa?" Mentari merasa bingung.
"Gue minta buburnya!" ujar Bintang
Mentari pun beranjak ke dapur , mengambil bubur permintaan sang kakak.
Bintang makan sesuap, sesuap terus sampai habis.
"Dihh... dia doyan!" Cibirnya.
"Tau nggak ayah kenapa langsung diem?" tanyanya.
Mentari hanya menggeleng bingung.
"Bubur lu persis buatan bunda, sama banget malah, mungkin ayah inget bunda atau mungkin kangen!" bisiknya
Mentari mengangguk dia baru mengerti.
"Abang juga tadi bilang gitu, bilang ada tangan bunda di tangan aku." kedua tangannya menumpuk menahan kepalanya .
"Kita semua kangen bunda.." Bintang menyadarkan punggungnya ke kursi.
Mbok Tini masuk ke ruang makan dan melihat makanan masih tetep utuh.
" loh kok nggak ada yg makan?" tanya mbok Tini.
"Bubur aku laku mbok" cengir mentari bangga.
"Kaya buatan bunda ya den?" tanya nya pada Bintang.
"Cocok mbok..." Bintang mengacungkan kedua jempolnya.
Bibi pun membereskan semua makanan.
"mbok.. aku pengen Indomie aja pake bakso yang pedes ya!" Pinta Mentari.
"Siap neng Chaca!"
"Makasih mbok ku sayang." Mentari memeluk perut buncit mbok nya itu.
"Gue ke kamar ya.." ucap Bintang
"Tungguin aku makan kak.. nggak ada temen!" Rengek Mentari.
"Ngambil doang hp ntar gue ke sini lagi!" Seraya bangkit dan berlalu.
"Bunda... kita semua kangen, bunda di mana?"
lirih mentari berucap dengan menenggelamkan wajahnya pada kedua tangannya yang bertumpu.
Bersambung ❤️❤️❤️❤️
Terimakasih , hatur nuhun yang udah mau mampir baca coretan aku🙏🙏😘😘
tinggalkan jejak kalian ya like komen nya biar aku tau siapa aja yg mampir di daftar orang-orang baik🙈🥺🥺
eh kritik sarannya juga aku tampung nih
Terimakasih sekali lagi🙏🙏😘😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 163 Episodes
Comments
Emi Wash
knp bundanya pergi sih neng itti?
2022-01-30
1
Rostina Lamba
jadi penasaran dengan sosok bundanya
2021-11-23
1
safik🆘𝕱𝖘 ᶯᵗ⃝🐍
bunda kemana sih thorr... masa pergi gitu aja... pasti ada udang yg dis3mbunyiin bpk e tari deh... penasirin
2021-11-11
1