Bahkan wajah gadis itu selain berubah bentuk juga sangat menyeramkan sekali.
Secepatnya Wijaya berusaha menghindari sergapan tangan gadis yang telah berubah mnjadi makhluk mengerikan itu.
Tetapi usahanya mengalami kegagalan karena sebelah kakinya terjepit erat di sela-sela betis sosok mengerikan itu.
"Jika kau tidak mau memandang kami. Kamu akan mati Wijaya.... akan mati....!" dengus gadis menyeramkan itu sambil menyerigai memperlihatkan taring-taringnya yang sangat tajam.
"Jangan!! tolong....!! tolong.....!" teriak Wijaya sambil menggapai apa saja.
Tetapi wujud mengerikan itu seolah-olah tidak mau melepaskan Wijaya.
Bahkan kedua tangannya yang di tumbuhi kuku-kuku panjang bergerak lambat ke atas bagian lehernya.
Dengan suara lebih keras lagi Wijaya berteriak-teriak minta tolong. Hingga kemudian....
"TOK TOK TOK....!" terdengar pintu kamar Wijaya di ketuk dari luar.
"Wijaya...ada apa? buka pintunya Wi!!" Teriak mama Wijaya dari luar
Wijaya langsung terjaga dari tidurnya terbuka, ia melihat papa dan mamanya telah berdiri di depannya dengan sinar mata yang penuh kecemasan.
"Apa yang terjadi, Wi?!" tanya mamanya dengan perasaan was-was.
Wijaya tertegun, ia seperti orang linglung. Wajahnya nampak pucat, bahkan piyama yang dipakainya juga telah basah oleh keringat.
"Aku tidak apa-apa, ma. Hanya mimpi buruk saja." jawabnya, lalu melangkah meninggalkan mama dan papanya yang merasa terheran-heran.
Namun kedua orang tua itu kemudian segera meninggalkan anaknya dan kembali ke kamar masing-masing.
Rupanya kedua orang tuanya sangat memanjakan anaknya itu dan tidak ingin mengungkit-ungkit persoalan mimpi yang di alami oleh anaknya.
Sungguh keingin-tahuan yang mendalam, tapi biarlah toh masih banyak kesempatan menanyakan persialan itu esok.
Seminggu setelah Wijaya diganggu oleh mimpi-mimpi menakutkan, rumah tua itu akhirnya jadi di bongkar juga.
Bahan-bahan bangunan segera didatangkan. Bahkan Wijaya sudah mendatangkan pemborong serta tukang yang sangat ahli dalam bidangnya.
Hanya dalam waktu tidak sampai sebulan,sebuah bangunan bertingkat dua telah berdiri dengan megahnya.
Sebuah Cafe yang cukup dan berdampingan denga bangunan-bangunan lain di sekitarnya dengan megah.
Bahkan bila di bandingkan dengan yang lainnya Cafe Wijaya terlihat begitu jauh berbeda.
Jika bangunan yang terletak disekitarnya didirikan dengan rancangan dengan cita rasa modern, tetapi Cafe yang dimiliki Wijaya di padu dengan cita rasa seni yang tinggi.
Bahkan beberapa undangan yang sempat menghadiri acara peresmian tempat usaha Wijaya mangacungkan jempol.
Mereka merasa salut dengan gagasan Wijaya yang luas serta memiliki pandangan jauh ke depan.
Jika dalam peresmian tempat usaha yang di buat Wijaya, kedua orang tuanya serta pemiliknya sendiri merasa bangga atas keberhasilan karya mereka.
Lain lagi halnya dengan Pak Rudi, laki-laki tua itu merasa kesal sekali dengan di bongkarnya bangunan tua yang dulu merupakan rumah kebanggan Tuan Widura.
Masih untung pembangunan Cafe itu letaknya agak kedepan, sehingga Pak Rudi sedikit banyaknya agak berlega hati karena dengan begitu ia masih dapat mengawasi patung yang terletak di ruang bawah tanah.
Malam itu seusai acara peresmian Cafe, Pak Rudi pulang ke rumah kediaman keluarga Subardi lebih awal.
Sesampainya di rumah Pak Rudi langsung mengunci pintu kamarnya yang terletak di sayap kiri bangunan induk.
Laki-laki ini memang sejak awal pembangunan tempat usaha Wijaya sudah menunjukkan sikap ketidak sukaannya.
Terlebih-lebih ketika orang-orang bangunan itu mulai membongkar bangunan tua yang dulu merupakan rumah kebanggaan Tuan Widura majikannya.
Pedih hatinya menyaksikan bangunan tua di porak-porandakan begitu saja.
Tetapi dia masih sadar tidak memiliki kekuatan apa-apa untuk mengajukan protes.
Ia hanya tulang kebun yang harus selalu menuruti apa saja yang di inginkan oleh sang majikan.
Walaupun mungkin pekerjaan yang diperintahkannya itu sangat berten-tangan dengan kehendak hati kecilnya.
"Ah, Wijaya. Saat ini kau boleh saja merasa senang dengan segala sanjungan yang kau terima. Tapi kau juga harus ingat, orang-orang yang yang berada di dalam ruangan bawah tanah itu juga tidak akan tingg diam dengan segala usahamu. Kau telah mengobrak-abrik tempat bernaung orang-orang yang sangat kuhormati. Dan kau juga telah membuat orang-orang yang berada di bawah tanah sana menjadi marah." desia Pak Rudi seperti bicara pada dirinya seniri.
Dari tempat duduknya, laki-laki tua ini kemudian berjalan mondar-mandir mengitari kamarnya.
Selanjutnya dengan langkah tenang ia menghampiri lemari tua yang terletak di sudut kamarnya.
Agak lama ia berdiri di depan lemari itu, namun tangannya segera memutar anak kunci yang tergantung di tempatnya.
Terdengar suara berderit kecil ketika Pak Rudi menarik pintu lemari itu.
Griieeettt
Saat membukanya dengan lebar ia kemudian mengaduk-aduk isi lemari pakaiannya sendiri.
Gllootak
tersengar benda keras terjatuh dari lipatan pakaian miliknya.
Benda yang berbentuk patung kayu dan berukuran kecil tidak lebih dari botol fanta itu segera dipungutnya.
Tanpa menghiraukan isi lemari yang acak-acakan, ia membawa patung gadis berukuran mini di tangannya ke tempat duduknya semula.
Setelah menghempaskan punggungnya pada sofa yang telah usang dan pudar warnanya.
Pak Rudi menarik nafasnya dengan panjang, sekali lagi dipandangnya patung mini di tangannya.
Spontan sinar matanya berbinar aneh, namun perhatiannya tidak pernah lepas dari tubuh patung itu.
"Kamu merupakan duplikat 'Dewi Rasa' yang sangat sempurna. Aku merasa sayang pada kalian semua. Tapi...." Sejenak suara Pak Rudi terhenti.
Ia merasa sulit sekali untuk mengutarakan isi hatinya, agak lama ia tercenung. Hingga beberapa saat kemudian ia berkata.
"Aku masih belum mengerti bagaimana caranya agar kamu dapat membalaskan segala sakit hati kamu dan patung-patung di ruang bawah tanah itu pada Den Wijaya." Pak Rudi mendesis geram.
Sekali lagi dipandangnya patunug kecil yang berada dalam pangkuannya. Lututnya yang kecil dan agak gemetar.
Entah apa yang membuatnya begitu takut, yang jelas jari tangannya mengelus lekuk tubuh gadis patung itu ia merasa bergetar aneh menjalari seluruh tubuhnya.
Seolah apa yang di lakukannya mendapat sambutan yang lebih hangat dari sebuahkekuatan yang tak dapat dilihatnya.
Pak Rudi dapat merasakan semua itu, meskipun ia tidak pernah melihat seorang perempuan ataupun gadis menyambutnya secara nyata.
Pak Rudi terlena, bibirnya mengucapkan kata-kata yang tidak jelas.
Bahkan sepasang matanya terpejam sebentar namun ia membukanya kembali.
Entah mengapa Pak Rudi menghentikan gerakan tangannya.
Ia tertegun di atas tempat duduknya, wajahnya berubah merah dan terasa panas.
Sedangkan sepasang matanya memandang dinding ke arah patung gadis telanjang yang telah di letakkannya di atas meja.
Mulut Pak Rudi berkomat kamit, tetapi tidak sepatah katalun yang terucap.
Dalam hatinya berteriak-teriak menuntut sebuah pembelaan dan perhatian, tetapi siapa yang sudi mendengar keluhan seorang tukang kebun yang berusia menentang senja.
Tidak seorang pun yang peduli dengan segala protesnya. Keluarga Subardi apa lagi? Mereka terlalu lemah bahkan merasa tidak berdaya menghadapi putra tunggalnya.
"Gila! Semuanya benar-benar telah menjadi gila...!" dengus Pak Rudi dalam kemarahannya yang sudah tidak terkendali.
Sinar matanya memancarkan kegelisahan dan dendam yang menggumpal dalam hatinya.
Secara tiba-tiba dan spontan pula. Entah kekuatan apa yang telah merasuk di dalam jiwanya.
Padahal pada hari-hari sebelumnya apa yang di rasakan Pak Rudi tidak pernah ada, seumur hidupnya ia jarang sekali marah.
Bahkan di lingkungan keluarga Subardi. Ia dikenal dengan orang tua teladan, walaupun Pak Rudi hanya tukang kebun keluarga itu.
makasih yang udah baca..jangan lupa jaga kesehatan ya..!
~tinggalin jejak like dan vote nya...makasih~
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments
Yunita
dua in
2021-08-07
47
Bang Prompompom
pak rudi licik
2021-08-07
46