Aluna memasuki ruangan penerimaan tamu. Layaknya ruang tamu biasa, di sebelah kanan pintu terdapat sofa panjang berwarna merah juga meja yang terbuat dari papan. Sepertinya dibuat sendiri. Di dinding banyak tergantung foto-foto anak-anak panti asuhan dalam berbagai acara.
"Duduk dulu, sebentar ibu panggilkan bude dulu," katanya. Tak lama ia kembali duduk di hadapan dua gadis muda itu.
"Ada apa Lea kemari? Gimana kabarnya?" tanyanya
"Maafkan Lea yang udah lama nggak ke sini bu, Lea sehat-sehat. Lea mau menitipkan sesuatu untuk ibu dan anak-anak," Lea berkata.
"Titipan apa?" tanya bu Asih.
"Titipan dari bunda sama Aluna" kata Lea menyerahkan dua amplop pada bu Asih. Ternyata hasil penjualan barang tadi diberikan untuk anak-anak panti asuhan. Aluna merasa senang dengan pemikiran Lea.
"Ya Allah, alhamdulillah nak, terimakasih banyak. Sampaikan salam ibu pada bunda dan ayah, ya. Semoga selalu diberi kesehatan dan kebahagiaan." kata bu Asih.
"Aamiin" Lea dan Aluna mengamini pelan.
"Loh? Lea?" tanya seorang wanita berperawakan gemuk menggunakan jilbab panjang dan sedikit berantakan.
"Budeeeee..." panggil Lea dan menghambur ke pelukannya.
"Loh, bude bau asem ini. Tadi lagi masak," katanya setelah meletakkan minuman dihadapan kedua tamunya.
"Kangen bude," kata Lea manja.
"Tapi ndak pernah kesini, pinter bohong nih," goda si bude.
"Lea kan kerja De, bude duduk sini dong," Lea menarik tangan bude.
"Wis ndak usah, bude masuk dulu mau masak. Lanjut ngobrol lagi. Nanti kamu ke dapur yah, bude bikin mendoan," bisiknya. Lea mengacungkan jempolnya.
"Kamu itu nggak berubah," kata bu Asih, Lea hanya tersenyum malu lalu duduk di samping Aluna.
"Anak-anak apa kabar, Bu?"
"Sehat-sehat semua. Sana kamu liat adik-adikmu" kata bu Asih.
Lea berdiri diikuti Aluna. Mereka melewati jalan samping. Bu Asih menjelaskan sekarang anak panti semakin bertambah, pengeluaran juga bertambah. Akhir-akhir ini donatur juga tidak sebanyak dulu.
Mereka melewati sisi sebelah kanan dimana terdapat tiga pintu. Itu adalah kamar anak perempuan. Di dalam setiap kamar terdapat enam ranjang juga lemari pakaian. Semua tertata rapi. Sedangkan di sisi kiri adalah kamar untuk anak laki-laki dengan luas yang sama. Diantara kamar anak laki-laki dan perempuan terdapat halaman untuk bermain. Sebagian besar anak-anak sedang bermain tak peduli dengan matahari yang semakin terik. Begitu melihat bu Asih dan Lea semua berhamburan menyalami Lea juga Aluna yang tersenyum lebar melihat tingkah anak-anak.
"Ibu mau cek anak piket dulu ya, kalian disini dulu," pesan bu Asih. Mereka mengangguk.
Lea mengajak Aluna duduk di teras persis di depan kamar anak perempuan.
"Kamu tahu tempat ini dari bunda?" tanya Aluna yang menyebut ibu Lea dengan sebutan yang sama.
"Justru bunda tahu aku dari tempat ini" jawab Lea.
"Maksudnya?" Aluna mengernyitkan dahinya.
"Aku berasal dari panti ini Lun dan bunda mengadopsiku waktu umurku masih 4 tahun," jawab Aluna. Sekian lama Aluna berteman dengan Lea ternyata Lea menyimpan rahasia besar.
"Serius?" tanya Aluna.
"Ya, dan aku sangat paham kondisi di sini. Kondisi di saat donatur sedikit, anak-anak harus berbagi dalam segala hal," kata Lea.
"Maaf aku nggak tahu kalau kamu dari sini, ku pikir bunda..."
"Bunda nggak bisa punya anak lagi setelah melahirkan kak Vino, rahim bunda harus diangkat. Bunda ingin anak perempuan. Kamu tahu sendiri anak bunda tuh cowok semua, jadilah bunda kesini dan ketemu aku" Lea menjelaskan.
"Kamu nggak pernah cari ibu kandung kamu?" tanya Aluna
"Nggak, buat apa? Toh aku dulu dibuang di sini. Aku sudah menemukan kebahagiaanku di sini dan di rumah bunda. Aku harus cari apa lagi? Seharusnya aku bersyukur karena aku lebih beruntung, bukan?" katanya sambil tersenyum.
"Iya juga ya," kata Aluna pelan.
"Dan kamu, kamu harus bahagia Lun. Kamu beruntung punya orangtua kandung, punya segalanya dan kamu harus bersyukur karena itu,"
"Tapi aku gagal soal percintaan" kata Aluna
"Gagal itu proses pendewasaan diri, nggak seharusnya kamu meratapi diri sendiri, meratapi nasib karena seorang laki-laki. Bukankah semua harus kita pasrahkan pada Tuhan?"
"Iya, tapi kenapa harus melalui sakit ini?" kata Aluna.
"Supaya kamu bisa berdiri kokoh nantinya, percayalah kamu bakal dapat yang lebih baik lagi. Buat apa berharap pada sesuatu yang sudah menjadi milik orang lain," kata Lea.
"Kata siapa aku berharap?" tanya Aluna.
"Ituuuu... Masih nangis, mata bengkak, mata panda. Emang aku nggak tahu kamu nangis semalaman?" kata Lea menunjuk kedua mata Aluna. Aluna hanya tersenyum malu.
"Aku kan juga butuh proses" kata Aluna
"Iya, aku percaya kamu bisa lewatin ini semua. Kamu pasti bisa," kata Lea memberi semangat. Aluna tersenyum dan mengangguk.
"Oh ya, terimakasih sudah bantu aku menghapus jejak Dirga" kata Aluna tulus. Lea tersenyum dan mengangguk
"Maaf, uangnya tanpa persetujuan kamu udah aku kasih ke bu Asih,"
"Nggak apa-apa. Makasih ya" kata Aluna.
Mereka menghabiskan siang itu di panti. Melihat anak-anak melaksanakan ibadah solat zuhur diikuti oleh Aluna dan Lea. Lalu anak-anak makan siang diikuti oleh Lea yang makan tempe mendoan dengan lahap. Aluna hanya memakan sepotong. Dan disaat anak-anak akan tidur siang barulah Aluna dan Lea pamit.
Mereka kembali ke apartemen Aluna, Lea ikut beristirahat di sana. Katanya lelah tapi Aluna tahu itu hanya alasannya saja untuk menemani Aluna. Lea segera menghempaskan dirinya di kasur empuk milik Aluna dan langsung tertidur.
Aluna geleng-geleng kepala melihatnya. Ia malah membuka siaran televisi dan mencoba bersantai. Dering ponsel membuatnya mengalihkan perhatiannya sejenak.
Dirga calling...
Aluna menghembuskan napas dan mengabaikan dering ponselnya. Meskipun ini mengganggu pikirannya. Ia tak lagi berkonsentrasi pada tayangan televisi. Kepalanya malah memutar memori tentang mereka.
"Astagfirullah... Lupakan aku Ga," bisiknya pelan sambil mengusap wajahnya lalu mematikan ponselnya.
Entah untuk apa lagi Dirga mengganggu hidupnya. Bukankah dia sudah bahagia dengan istri barunya dan mengkhianati janjinya? Membuat Aluna kini membencinya. Seharusnya ia tak memendam rasa benci di hati tapi ketika dirinya merasa lemah dan sakit, ia tak tahu harus melampiaskan pada siapa? Apakah pada Tuhan? Apakah pada wanita yang merebut kekasihnya? Atau pada Dirga? Ataukah kesalahan ada pada dirinya? Sehingga Tuhan menegurnya dan memberinya rasa sakit agar ia sadar bahwa dalam agamanya berpacaran bukanlah hal yang dianjurkan. Aluna memejamkan matanya, mungkin memang salahnya, juga salah Dirga. Tak seharusnya mereka berpacaran.
Aluna kembali berpikir, mungkin jika Dirga ditakdirkan untuknya maka Dirga akan melamarnya. Toh Dirga sudah bekerja. Setidaknya Dirga bisa mengikat janji dengannya. Bukan malah mengkhianatinya. Sepertinya Aluna harus membatasi diri mulai kini. Ia tak ingin lagi di khianati oleh siapapun. Ia memantapkan diri untuk tidak lagi berpacaran.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments
bundanya Fa
niat yg bagus tuh. aluna akan lebih kuat, berubah jd lebih baik kemudian bahagia. dirga akan menyesal melihat aluna yg lebih baik lagi.
2022-10-11
0
Dania esem
bravo ...aku dukung aluna kuh ...
2021-12-29
1
Nur hikmah
bgus aluna....q dukung
2021-12-26
0