Aku melangkah pelan di lorong panjang menuju parkiran, menyusuri jejak cahaya dari lampu-lampu gantung yang menggantung lesu di atas kepala.
Hampir semua karyawan telah naik ke dalam bus jemputan masing-masing, menyisakan ruang lengang yang hanya dipenuhi bayangan tubuhku sendiri yang terpantul panjang di aspal.
Aku menatap jam tangan. “Ketinggalan bus lagi,” gumamku lirih. Padahal, aku cuma mampir sebentar ke toilet. Tapi, rupanya waktu tak sudi menunggu.
Aku menghela napas, lalu menoleh ke sekitar. Tak ada deru mesin, tak ada suara klakson. Hening. Ojol? Jangan harap. Ini kawasan industri.
Jalan raya besar masih jauh di ujung sana—hampir satu kilometer kalau kutempuh dengan kaki. Sepi. Gelap. Dan aku sendiri. “Kalau dipaksakan jalan kaki ke sana, itu sama aja nyari perkara,” desisku.
Kupaksakan senyum getir. “Ya sudahlah, emang harus pesan ojol sepertinya.”
Baru kutarik ponsel dari tas, suara langkah dari arah samping membuatku menoleh reflek. Langkah itu tak tergesa, tapi pasti.
Pak Bagas.
Ia berjalan santai seolah dunia belum hendak buru-buru berakhir malam ini. Tentu saja, dia punya mobil sendiri. Tak ada alasan panik. Tak seperti aku yang nasibnya hari ini sudah digantung jemputan.
Aku memutar bola mata kecil, lalu cepat-cepat menormalkan ekspresi.
“Gak naik jemputan?” tanyanya, suaranya tenang. Dalam, tapi tidak menyudutkan.
Aku tercekat. Sedetik. Dua detik. “I-iya, Pak. Ketinggalan,” jawabku akhirnya, setengah kikuk.
Ia mengangguk, satu kali. Wajahnya samar oleh cahaya lampu parkiran, tapi aku bisa melihat alisnya yang sedikit naik.
“Pulangnya naik apa?”
Aku mengangkat ponsel. “Mau pesan ojol.”
Ia diam sesaat, lalu kalimat itu meluncur dari bibirnya. Pelan, datar, tapi entah kenapa terasa hangat.
“Mau saya antar?”
Detak jantungku seperti terpeleset dari irama. Aku menoleh, perlahan. “Gak usah, Pak. Eh, maksudnya—”
“Daripada jalan kaki sampai depan, sendirian, malam-malam? Nanti kalau terjadi apa-apa, siapa yang tanggung jawab?” Nada suaranya ringan, tapi kalimatnya membuatku menunduk.
Sejenak aku tak tahu harus berkata apa. Ada hening kecil yang dibiarkannya menggantung. Ia tak memaksa. Tapi, justru karena itu, dadaku makin sempit.
“Motor saya di sana. Nggak jauh. Saya antar sampai gang depan rumah kamu aja, gimana?”
Aku menunduk. Pipiku terasa hangat meski angin malam mulai menyelinap dingin ke sela-sela blouse pendek yang aku pakai. Entah karena udara, atau karena sorot matanya yang tadi sekilas kutangkap di bawah cahaya lampu parkiran.
"Beneran nggak ganggu, Pak?”
“Nindy.” Suaranya lembut. Nyaris seperti bisik angin. “Kalau ganggu, saya nggak akan nawarin dari tadi.”
Aku menggigit bibir bawah. Lalu, akhirnya, mengangguk pelan. “Yaudah, saya ikut, Pak. Maaf, jika sudah merepotkan Anda.”
Dia tersenyum. Bukan senyum selebar bulan, melainkan cukup untuk menghangatkan malam. Senyum yang membuatku merasa bukan sekadar nama di absensi.
Kami lalu berjalan beriringan menuju parkiran. Langkahnya tenang, aku justru sedikit kikuk. Malam terasa makin dalam. Suara serangga menyanyikan kecanggungan kami dan dalam hati, aku masih bertanya-tanya—dari sekian malam, kenapa malam ini aku ketinggalan bus?
Dan dari sekian wajah di pabrik itu, kenapa harus dia yang muncul?
Helm itu terasa longgar saat kupakai, tapi aku menahan diri untuk tak bilang. Apalagi, saat tangannya menyentuh ujung poniku waktu membantu mengaitkan tali. Gerakannya pelan. Hati-hati. Seperti menyentuh kertas tipis yang takut robek.
Kini, aku duduk di jok belakang motornya. Kaku. Diam. Jarak kami hanya sejengkal, tapi rasanya seperti samudra.
Aku ragu. Pegangan? Nanti dibilang kecentilan, apalagi fans Bagas Suseno pasti akan marah besar jika tahu idolanya memberikan tebengan. Tapi, kalau tidak pegangan? Bisa-bisa aku terbang sendiri.
"Kenapa Nggak pegangan? Nanti kamu melorot, loh.” Dia menoleh sedikit, dari balik bahunya.
Aku menegang. “Eh—saya… saya pegang jaketnya aja ya, Pak?”
“Ya. Pegang yang kenceng, jangan tanggung.”
Deg.
Perlahan, tanganku meraih bagian belakang jaketnya. Jari-jariku menyentuh kulit dingin, tapi telapak tanganku berkeringat. Nasib jadi perempuan yang jarang kencan beginilah. Sekalinya dibonceng sama cowok populer, bawaannya perut mules.
Astaga, memalukan!
Motor melaju pelan, menembus sepi jalanan kawasan industri. Angin malam menampar pipi, tapi aromanya justru hangat. Ada wangi samar—kayu manis dan kopi. Tidak tajam, tapi mengendap. Seperti kenangan yang datang diam-diam.
“Rumah kamu di mana?"
"Di jalan Mekar, Pak," jawabku sedikit berteriak karena kami sedang di jalan.
"Jauh juga, yah. Dan, kamu naik jemputan terus?"
"Iya, Pak. Sekali lagi maaf, ya, Pak?"
"Santai aja. Sebelum pulang, mau mampir makan dulu gak?"
"Eh? Gak usah, Pak!"
"Tapi, aku lapar."
Aku menggigit bibir. "Baiklah, Pak." Aku mengalah.
Aku pikir dia akan berhenti di warung pinggir jalan, atau setidaknya beli nasi goreng bungkus. Tapi ternyata, motor kami malah belok ke arah sebuah food court kecil dekat pom bensin, yang cukup terang dan bersih. Di antara lampu-lampu kuning yang menggantung, aroma sate dan mi goreng saling bersaing.
Bagas mematikan mesin motor, lalu menoleh sambil membuka helmnya. “Kita makan sebentar di sini, ya. Kamu kelaparan juga, kan?”
Aku buru-buru menggeleng. “Nggak, Pak. Saya masih kenyang, kok.”
Dia menaikkan alisnya. “Yakin? Perut kamu barusan bunyi, lho.”
Astaga! Wajahku langsung panas. “A-aduh, ketahuan, ya?”
Dia tertawa kecil. Bukan tawa yang keras, tapi cukup untuk membuatku tambah gugup.
“Udah, sini. Aku traktir. Anggap aja sebagai ucapan terima kasih karena kamu udah bantu evaluasi tadi siang.” Dia berjalan duluan, meninggalkanku yang masih kikuk melepas helm pinjaman itu.
Aku menyusul dengan langkah canggung, mencoba merapikan rambut yang kusut diterpa angin. Kami memilih duduk di pojok, agak jauh dari gerobak penjual. Suasananya cukup sepi, hanya ada dua pasangan lain yang juga sedang makan.
Bagas membuka menu dan langsung menunjuk dua makanan. “Satu buat aku, satu buat kamu. Biar cepet.”
Aku hanya bisa mengangguk, duduk diam sambil menunduk. Tapi, jantungku berisik sekali. Kenapa rasanya seperti kencan?
“Eh, kamu selalu pulang sendiri kalau ketinggalan jemputan?” tanyanya sambil membuka botol air mineral.
“Nggak pernah, sih. Baru kali ini ketinggalan. Biasanya saya ngepas banget waktunya.”
Dia menatapku, lama. “Kalau butuh tumpangan lagi, bilang aja. Nomorku udah kamu simpan, kan?”
Aku tercekat.
Nomor.
Nomor yang tadi aku temukan di saku celana kerja, yang ternyata tulisan tangannya. Saat itu aku bingung. Kupikir siapa yang iseng naro. Aku menunduk lebih dalam. “Jadi, itu memang sengaja dikasih, ya?”
Dia menyender santai. “Iya. Kupikir kamu bakal butuh. Tapi, kayaknya kamu lupa buka kertasnya, ya?”
Aku menggigit bibir, malu setengah mati. “Maaf, kertasnya baru ketemu tadi di saku celana.”
Bagas tersenyum. “Nggak apa-apa. Untung tadi kita ketemu di lorong. Kalau enggak, kamu pasti udah pegal nunggu ojol yang gak datang-datang.”
Aku tertawa kecil, akhirnya bisa sedikit rileks. “Maaf, Pak."
Dia mengangkat satu alis. “Kenapa minta maaf?"
Aku buru-buru geleng. “Anu--"
Bagas mendekatkan tubuh sedikit ke meja. Suaranya pelan, tapi jelas. “Kamu itu bukan urusan remeh, Nindy.”
Aku membeku, lama. Sampai akhirnya pesanan datang dan menyelamatkan kami dari keheningan yang terlalu cepat jadi deg-degan. Namun, entah kenapa aku jadi nggak terlalu lapar. Perasaan ini malah lebih kenyang dari apa pun.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
Indah Sari
seru ceritanya 🥰
2022-02-17
0
Mommy Gyo
3 like hadir thor mampir di karyaku cantik tapi berbahaya
2021-08-23
2
Dinda Kharisma
senyum2 sendiri aku bacanya...
2021-08-13
2