Aku nggak tahu apa salahku. Yang jelas, ada sesuatu yang nggak beres.
Jam kerja sudah habis. Aku melangkah menuju area loker, siap ganti baju dan pulang. Namun, lorong menuju loker tampak sepi, hanya beberapa orang saja yang belum pulang, sama sepertiku.
Aku baru saja absen ketika melihat sosok yang familiar berdiri bersandar di dinding dekat loker.
"Pak Bagas. Ngapain dia masih di sini?" tanyaku pelan pada diri sendiri.
Aku refleks melirik kanan-kiri. Kosong. Hanya dia dan aku. Dan tatapan itu—seolah dia memang sedang menungguku.
Jangan-jangan aku? Tapi, buat apa? Masa iya?
“Nindy,” panggilnya.
Jantungku berhenti sepersekian detik. “Ya, saya, Pak,” jawabku cepat, agak gugup.
“Sudah kamu buka kertas yang saya kasih tadi siang?”
Aku mengerutkan kening. “Kertas?” ucapku pelan, mencoba mengingat-ingat. Tapi, otakku nge-blank. “Maksudnya, Pak?”
Ia tak langsung menjawab. Hanya memandangku lama. Ada sesuatu di balik sorot matanya, bukan marah kecewa. Tapi, entah kenapa itu jauh lebih menyiksa.
Dadaku terasa aneh. "Kertas apa, sih? Kok aku bisa nggak tahu? Aduh, Nin. Ayo dong, ingat!” desisku dalam hati, mulai panik sendiri. Tapi, otakku buntu. Kosong.
“Baiklah, kalau begitu, saya duluan.” Suaranya datar. Ia membalikkan badan, melangkah pergi.
“Loh, kok malah pergi?” gumamku, melangkah setengah maju. Tapi, langkah itu tertahan. Aku berdiri diam, hanya menatap punggungnya menjauh.
Ada yang menggantung di udara—seperti pintu yang tertutup sebelum sempat aku ketuk. "Ah, tapi busku sebentar lagi berangkat. Gak ada waktu buat mikirin yang lain," pikirku, buru-buru masuk ke dalam loker.
Aku ganti baju secepat kilat, memasukkan seragam ke dalam lemari, lalu berlari menuju parkiran. Langit sudah mulai gelap. Udara sore mengandung aroma besi dan lelah.
"Kirain lembur, Neng," ujar si sopir.
Aku tersenyum kecil. "Biasa, Pak."
Untungnya, bus belum jalan. Aku langsung duduk di kursi paling belakang. Napasku memburu, tapi setidaknya aku tak ketinggalan. Beberapa menit kemudian, bus mulai melaju pelan, meninggalkan parkiran pabrik.
Aku melirik keluar jendela bus, tanpa ekspektasi apa pun. Tapi, di jalur parkir khusus atasan, mataku menangkap sosok yang tak asing, Pak Bagas. Punggungku berubah tegak, melihatnya dengan beberapa pertanyaan.
"Kertas? Apa beliau pernah memberikan say kertas?" Aku bergumam sendiri, masih menatapnya. Lalu, tiba-tiba pandangan kami bertemu.
Jantungku terangkat ke tenggorokan. Matanya menatapku langsung. Sekilas saja, tapi cukup membuatku salah tingkah. Aku buru-buru menunduk, berpura-pura mencari sesuatu di dalam tas.
"Aish, kenapa gue malah kayak maling begini, sih?"
"Lo kenapa, Nin?" Suara Jalu, teman satu bangkuku terdengar dekat.
"Oh, gak, kok," kilahku, lalu kembali duduk dengan tenang.
Setelah itu, Jalu tak lagi bertanya. Namun, ingatan akan tatapan Pak Bagas masih menyusup ke dalam relung hati hingga membuatku terjaga.
Sesampainya di rumah, aku mencoba mengalihkan pikiran. Mandi air hangat, lalu memakai baju tidur, setelah itu menyeduh teh manis. Akan tetapi, rasa gelisah masih menggantung di tengkuk, seperti sesuatu yang belum selesai.
"Huhuhu, sebenarnya ada apa dengan otakku? Kenapa bisa-bisanya melupakan sesuatu hal yang penting?" Aku hampir menyerah sampai terdengar suara ketukan kecil dari arah jendela depan.
Tok… tok… tok.
Aku melirik jam dinding—delapan lebih sedikit. "Siapa, sih? Ganggu banget, deh!"
Langkahku terayun malas menuju pintu depan, saat kulongok dari jendela dan menemukan siapa tamu tak diundang, aku tak bisa menahan diri untuk tak mendengkus.
"Mau dia apa, sih?"
Bayu, bujangan yang baru beberapa bulan pindah ke rumah sebelah datang dengan kaus oblong lusuh dan celana bola. Dia berdiri sambil menenteng kantong plastik. "Jangan bilang dia datang cuma mau ngasih gorengan lagi? Ouh, please, deh!" keluhku.
Pada saat aku hendak menutup tirai jendela, ternyata Bayu sudah lebih dulu menangkap keberadaanku. Sial! Mau tidak mau, akhirnya aku membuka pintu, lalu basa-basi lagi.
"Mas Bayu, ada pa, yah?" tanyaku langsung.
“Malem, Nin. Ini aku tadi habis beli gorengan banyak. Kamu mau gak?"
Tidak! Tapi, kata itu hanya bisa tersimpan rapat di dalam tenggorokan. Sudut bibirku mengulas senyum kecil. "Maaf, Mas. Saya sudah makan. Mungkin bisa diberikan ke yang lain," jawabku sopan.
“Oh, ya? Yaudah, aku taruh sini aja, ya.” Dia mencantolkan kresek itu di pagar kecil yang membatasi rumah kami, masih tersenyum seperti biasa. Namun, aku bisa lihat, matanya mengandung harap.
Aku hanya membalas dengan anggukan kecil dan senyum sopan sebelum berniat masuk ke dalam rumah. Kupikir itu akhir dari semuanya malam ini. Tapi, rupanya belum.
Baru saja aku selesai menutup pintu, dan suara Bayu kembali terdengar memanggilku di depan. "Oh my God! Bisa gak, sih, jangan ganggu aku malam ini!" jeritku tertahan.
Kupandangi pintu selama beberapa detik sebelum akhirnya berdiri dan membukanya. “Ada apa lagi ya, Mas?” tanyaku pelan.
Dia menghela napas, seperti sudah menyiapkan kalimat ini dari jauh-jauh hari. “Nindy, maaf, kalau aku ganggu malam-malam. Tapi, aku nggak bisa terus kayak gini.”
Aku menggenggam sisi pintu, mencoba menenangkan diriku sendiri. “Kayak gini gimana maksudnya?”
Dia menatapku, lurus. “Aku suka kamu," katanya langsung. Tanpa pemanis. Tanpa kelokan.
Aku tercekat. Bukan karena kaget, melainkan karena akhirnya itu diucapkan. "Mas Bayu.”
“Aku tahu kamu mungkin belum mikir ke arah sana, atau malah nggak pernah. Tapi, tiap malam aku mikir, kenapa nggak jujur aja. Biar kamu tahu. Biar aku nggak perlu nebak-nebak.”
Aku menelan ludah. Udara malam tiba-tiba terasa lebih berat dari biasanya. “Mas, aku ngerti dan aku hargai Mas udah jujur. Tapi, aku belum bisa bales. Aku belum siap buat hubungan apa pun sekarang.”
Dia terdiam.
“Aku bukan nolak karena nggak baik. Tapi, karena, ya, memang belum ada ruang di hati aku buat siapa-siapa. Belum.”
Mas Bayu menunduk, lalu mengangguk kecil. “Oke. Aku ngerti.”
Aku menatapnya, mencoba menyampaikan ketulusan lewat mata. “Aku nggak pengin Mas nunggu sia-sia. Aku juga nggak mau Mas salah paham karena keramahan aku.”
“Terima kasih udah ngomong langsung, Nin. Selamat malam,” katanya pelan.
Aku hanya mengangguk.
Setelah itu, ia mundur satu langkah, lalu berbalik menuju rumahnya. Sementara aku memilih untuk masuk kamar, bergelung di bawa selimut untuk menjemput mimpi.
"Aku harap, tidak ada drama apa pun lagi esok," kataku sebelum akhirnya menutup mata.
***
Keesokan paginya, aku berangkat kerja naik bus seperti biasa. Mata masih berat, tapi aku berusaha fokus.
Begitu sampai pabrik, ganti baju di loker, aku masuk hall. Aroma nasi goreng dan telor dadar di kantin benar-benar menggoda iman. Aku ikut antre, berdiri di barisan belakang sambil melihat layar ponsel.
“Nindy.”
Suara itu membuatku menoleh.
Pak Bagas berdiri di belakangku. Matanya menatap datar, tapi ada sesuatu yang tak bisa kusebutkan di sana—semacam isyarat yang belum selesai. Aku diam. Jantungku langsung siaga.
“Apa kamu sudah menemukan kertasnya?” tanyanya, pelan.
Aku meringis, lalu menggeleng pelan. “Belum, Pak. Maaf."
Dia menatapku lama, lalu berkata pelan, nyaris seperti bisikan, “Kadang yang penting itu tersembunyi di tempat yang nggak kita kira. Jangan abaikan yang kecil!"
Sebelum aku sempat bertanya, dia sudah melangkah ke depan, mengambil piring nasi goreng, lalu duduk jauh di ujung.
Aku masih berdiri di antrean. Tapi, pikiranku sudah berkelana ke mana-mana. Kertas itu di mana, sih?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
~°•●Dee_K●•°~
hadir kk. semangat💪💪
2021-08-17
1
Dinda Kharisma
jadi ingat pas masih kerja d pabrik ... kehudupan yg keras d perantaun ...kerja apapun d lakonin yv oenting halal...kawasan ejip lippo cukarang jd saksi bisu perjuangan ljka liku hidupku...
nindy semangat
2021-08-13
2
kimtae
up
semangat yah kak buat lanjutin karyanya. aku akan memberikan like ...vote ....dan dukungan untuk kakak.
2021-08-01
3